Jangan terburu-buru… ini perihal yang melibatkan konspirasi pasar ekonomi dunia, bukan perkara main-main. Flatulensi menjadi sebagian dari muara akhir dari sebentang aktivitas ekonomi manusia; rangkaian kegiatan yang melibatkan emosi, juga kerja; baik itu kerja keras, kerja cerdas hingga kerja yang bikin lemas. Sebagai insan yang menghargai proses, kita telusuri dahulu bagaimana flatulensi bermula. Kupikir, engkau akan memiliki pemahaman mendalam mengenainya.
Percayalah… untuk menggapai satu momentum flatulensi engkau mesti hidup terlebih dahulu. Jika engkau telah dewasa, engkau mesti bekerja, menghadapi perintah (jika engkau adalah anak-buah), memerintah (jika engkau seorang boss), dimarahi bukan cuma karena salah, tetapi karena cara yang kau lakukan tak sesuai kemauan boss; memarahi bukan sekedar karena anak-buahmu tak becus bekerja, tapi lebih pada soal pentingnya menunjukkan siapa yang berkuasa di antara kelindan hubungan yang membentang di antara kalian.
Setelah bekerja engkau mesti memahami juga bahwa untuk berflatulensi, engkau mesti mengikuti aturan main alamiah. Makan. Jenis makanan menentukan kualitas dan kuantitas flatulensi. Mengingat kita adalah insan yang tergolong omnivora, dampak flatulensi yang hadir juga akan Bhinneka Tunggal Ika. Flatulensi kaum herbivora dan carnivora akan menghadirkan efek lanjutan yang monoton. Percayalah… di ranah flatulensipun, keberagaman akan lebih unggul ketimbang keseragaman.
Setelah ada sesuatu yang engkau konsumsi, proses metabolisme akan menggunakan gaya peristaltik di lubuk diri sungguh perlu untuk menghadirkan daya dorong dan daya tekan. Selanjutnya kualitas dan kuantitas makanan. Sebentar… sebentar… sebentar… kita masuk dahulu ke aspek mazhab diet. Apakah engkau tergolong penganut food combining, diet berdasarkan golongan darah, atau golongan penganut mazhab hantam-kromo.
Tiap mazhab akan melahirkan efek-samping flatulensi yang berbeda. Sensasi herbal tentu akan hadir dari flatulensi para konsumen setia sayuran, kaum vegan. Demikian pula sensasi animal pada para pengunyah daging-dagingan yang akan menghasilkan flatulensi berdampak animal.
Sejak rongga mulut mengunyah makanan, peristiwa mekanis dan kimiawi telah bekerja. Gigi yang mengunyah seiring sejalan dengan hadirnya ptialin (amilase) yang berfungsi mengubah kandungan amilum dalam makanan. Engkau layak tahu, amilum adalah senyawa gula kompleks yang susah dicerna, lambung. Ptialin mengurai kerumitan amilum menjadi maltosa, senyawa gula yang lebih sederhana. Ia berperan seperti para guru yang menghubungkan antara buku dengan daya pemahaman para murid yang sedang duduk manis dan duduk ganteng di kelas.
Seperti halnya ruang kelas yang membutuhkan suasana batin tertentu agar mudah mencapai tujuan pemahaman, ptyalin memerlukan 2 hal; suhu 37°C dan pH 6,8-7. Jika engkau tergolong orang yang tekun, terapkanlah 32 kali kunyahan dalam tiap suap yang engkau selenggarakan. Jumlah ini bertujuan untuk memparipurnakan pengalihrupaan maltosa menjadi amilum. Semuanya bertujuan agar makanan yang kau mamah tak terbuang sia-sia, menghasilkan lebih banyak sampah saja.
Setelah itu, hasil persekutuan di rongga mulut beranjak menuju lambung setelah melintasi kerongkongan. Ini bukan perkara gampang, sebab untuk meluncur dalam sebuah rongga tubuh, mestilah terselenggarakan sebentuk kontraksi otot-otot di kerongkongan. Tiba di jenjang lambung, lagi-lagi makanan mengalami proses pencernaan mekanik, untuk lebih memperhalus serpih-serpih yang telah terkunyah di bagian atas sana.
Hadirlah peptin, yang menjalani peran mengubah protein manjadi pepton, Asam Klorida meramaikan aktivitas gotong-royong metabolisme. Ia mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin; bertugas mencegah infeksi dan merangsang kebangkitan hormon sekretin dan kelsistokinin di usus halus.
Lipase tak mau ketinggalan. Ia memegang peran mengurai lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Di dalam tubuh, jumlahnya sangat terbatas. Setelah 3-4 jam, makanan yang telah mengalami fase kimiawi bertolak menuju Usus 12 Jari. Wahana ini mempertemukan makanan yang telah terolah tersebut dengan amilum, lipase, trypsinogen dan empedu.
Aku yakin kalian telah mual membacanya. Jadi kuringkas saja cerita yang aku sendiri tak paham ini. Aktivitas kimiawi dan mekanik dalam tubuh tersebut menghasilkan Asam Sulfat, Oksigen dan Karbon. Sudah menjadi sifat bawaan para gas, mereka selalu mencari celah untuk keluar dari kungkungan ruang yang membosankan. Sebuah energi nakal kosmik dalam perut lantas mendesak keluar; mungkin meledakkan letusan, kadang pula ia mendesis licik-laknat penuh misteri yang mengundang kehadiran pertikaian dalam khazanah pergaulan dan peradaban manusia.
Persekutuan antara konsumsi proses mekanik saat ‘pemangsa’ mengunyah makanan dan proses kimiawi saat makanan telah memasuki rongga usus menghasilkan sebuah peristiwa pembusukan yang menghasilkan kehadiran H2S (Hidrogen Sulfat) beserta Karbon dan Oksigen. Kadar aromanyalah yang menentukan tingkat prasangka (bagi para korban) dan kewaspadaan bagi pencetusnya.
Sebetulnya aku cuma mau menulis, “Flatulensi adalah kentut!” itu saja! Tapi sekedar ingin menggunakan logika birokrasi Indonesia, “Kalau bisa dipersulit, ngapain dipermudah!”
“Boleh, ‘kan?!”
Bagian paling menginspirasi dari flatulensi adalah prilaku parapihak. Sikap korban yang merasa arogan dengan kebenaran berhadapan dengan sikap cool pelaku yang cenderung memasang mimik Tembok China. Atau mungkin wajah seorang bayi di poster lawas bertulis “No Problem!”
Debat dan hujat lantas susul-menyusul. Mekanisme pembuktian yang belum dimiliki oleh sistem hukum Anglo-Saxon maupun Europe-Continental ini jarang masuk ke ranah hukum. Cuma sanksi sosial berupa caci-maki dan penempelan lakab berflatulensi terekstrem saja yang bisa dialami seseorang dengan kadar kelembaban aromatik yang mampu mengganggu heningnya ketenangan nalar. Semesta pikir tiap orang akan terganggu dengan tusukan bau yang sungguh merobek batin, terutama saat pelaku nan durjana itu baru menyantap daging 24 jam sebelumnya.
Selamat mengalami flatulensi, entah sebagai pelaku atau korban!
Jangan lupa bernapas!