Harlan

GeRAK Minta APBK Aceh Barat Dibahas Kembali

Banda Aceh– Aktivis Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) meminta Pemkab Aceh Barat, Provinsi Aceh, membahas kembali APBK 2012 yang sudah diperbubkan, karena pengesahannya tanpa melibatkan legislatif, sehingga dikhawatirkan berpotensi korupsi.

Koordinator GeRAK Aceh Barat Mulyadi di Meulaboh, Jumat mengatakan, tanpa keterlibatan pihak legislatif dalam mengontrol pengeluaran keuangan negara dapat membuka peluang prilaku tindak pidana korupsi.

“Bisa saja peraraturan bupati tersebut membuka peluang tindak pidana korupsi karena setiap pengeluaran keuangan negara tanpa kesepakatan bersama pihak legislatif yang seharusnya menjadi pihak pengontrol,” tegasnya.

Pernyataan tersebut menanggapi realisasi APBK Aceh Barat tahun 2012 dialokasikan melalui Peraturan Bupati (Perbup) dan bahkan sudah ditanda tangani Bupati Aceh Barat H Ramli Ms, karena tidak terlaksananya pembahasan dikalangan DPRK.

Menurut Mulyadi, langkah diambil Bupati Ramli sedikit kemungkinan mengakomodir kepentingan publik, karena sesuai Pemendagri Nomor 59 tahun 2007, perbup hanya dibenarkan untuk gaji rutin pegawai, anggaran bersifat mendesak dan membayar pihak ketiga, karena urusan proyek tahun lalu.

Ia menyatakan, Pemkab Aceh Barat hampir setiap tahun mengesahkan APBK paling telat di bulan ke empat (April) dan diharapkan rentang waktu yang dimiliki saat masih dapat dipergunakan demi kepentingan rakyat.

“Kalau memang APBK 2012 diperbubkan, tentunya selama tahun 2012 ini tidak ada pembangunan infrastruktur untuk kepentingan publik, padahal saya lihat dana APBK tahun 2012 dengan 2011, itu hampir imbang besarannya,” imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakan, persoalan konflik internal di DPRK seharunya tidak menjadi alasan kuat eksekutif untuk memperbupkan APBK tahun 2012, karena menyangkut pembahasan itu dapat dilakukan dengan Badan Anggaran (Banggar) legislatif.

Ia menyebutkan, APBK Aceh Barat yang diperbupkan sebesar Rp500 milir lebih itu seharusnya 75 persen untuk belanja publik, sehingga dikhawatirkan munculnya peluang mark-up (penggandaan uang) pada suatu kepentingan publik secara mendadak.

Selain itu, penggunaan uang negara dengan cara demikian pastinya sangat mempersulit pada akuntabilitas pertangung jawaban dalam perbup itu sendiri, karena tidak ada satu pihakpun menyeleksi pengeluaran uang negara.

“Yang menjadi konflik internal DPRK adalah menyangkut alat kelengkapan dewan, apa urusannya dengan pembahasan APBK, saya fikir langkah terbaik adalah pemerintah daerah melakukan pembahasan kembali,” pungkasnya.[Ant]