acehkita.com yang launching perdana pada 19 Juli 2003 atau dua bulan setelah penerapan status Darurat Militer (DM) di Aceh, saya pikir menjadi satu-satunya saluran/media independen untuk mengetahui betapa mengerikan dampak dari sebuah perang. Sejak Pemerintah Indonesia mengumumkan perang terhadap Gerakan Aceh Merdeka pada 19 Mei 2003, Aceh jadi santapan lezat nan seksi oleh media-media di Jakarta bahkan media asing. Beberapa media nasional bahkan menjadikan isu Aceh sebagai liputan utama dengan membuka rubrik khusus: Kompas turun dengan tajuk “Penyelamatan Aceh”, “Perang Aceh” (Koran Tempo), dan “Operasi Terpadu” (Republika).
Perhatian besar yang ditunjukkan media-media nasional kala itu bisa dipahami. Setelah Timor Leste merdeka pada tahun 1999, Aceh menjadi daerah berikutnya yang berpotensi besar untuk lepas dari Indonesia. Karenanya, semua pihak perlu diajak untuk bersama-sama menjaga Aceh tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini, misalnya, dilakukan oleh militer dengan mengundang dan melatih para wartawan yang akan meliput di Aceh di Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, jauh hari sebelum pemberlakuan status Darurat Militer.
Pihak TNI merasa perlu melakukan hal itu untuk memastikan bahwa pemberitaan soal Aceh nantinya sesuai dengan selera mereka, dan tidak ada berita yang bakal menyudutkan militer terkait dampak yang terjadi di lapangan. Karena kita tahu, setiap ada pergelaran operasi militer sudah pasti bakal jatuhnya korban, tak hanya dari kalangan GAM yang jadi buruan mereka, melainkan rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa. Apa yang dilakukan oleh TNI dan Pemerintah Indonesia dengan melibatkan wartawan meliput langsung dan kadang-kadang ikut dalam patroli tentara/polisi persis seperti dilakukan Amerika Serikat dalam Perang Teluk 1991, dan Perang Irak 2003. Model seperti ini kemudian hari dikenal dengan embedded journalism.
Tak hanya itu, para wartawan dan jurnalis yang meliput di Aceh juga diwanti-wanti untuk tidak menjadi corong propaganda GAM dan menyiarkan berita yang menguntungkan GAM atau Gerakan Separatis Aceh (GSA) dalam sebutan militer. Mereka diminta menjadi jurnalis patriotik dan nasionalis. Instruksi Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) kala itu sangat jelas: ikut kami atau bersama mereka. Sebuah ultimatum yang mengingatkan kita pada seruan Presiden George W. Bush saat memulai kampanye perang terhadap terorisme: bersama kami atau ikut teroris!, dan dalam konteks Aceh, pihak militer mengultimatun media: dukung operasi terpadu atau berpihak kepada GAM. Hampir tak ada yang berani melawan kebijakan tersebut, kala itu.
Nasib Aceh sedikit sial saat itu, dan seperti sendirian menghadapi kebijakan represif pemerintah. Pasalnya, Pemerintah Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Aceh saat perang terhadap terorisme yang dipelopori Amerika sedang memuncak. Praktis, perhatian internasional terhadap Aceh, seperti yang diinginkan oleh rakyat Aceh selama ini, menjadi berkurang. Akibatnya, Indonesia bisa melakukan apapun tanpa mendapatkan kecaman dan protes internasional. Saya pikir inilah kenapa jauh hari sebelum Pemerintah Indonesia mengumumkan status DM, media begitu bombastis memberitakan Aceh, dan menempatkan GAM dan TNI/Polri dalam posisi siap tempur di media. Saya ingat seorang praktisi media dalam sebuah diskusi di Jakarta, mengatakan, “perang sudah duluan terjadi di media bahkan jauh sebelum pemerintah mengumumkan perang secara resmi.”
Euphoria pemberitaan tersebut kemudian berlanjut pada awal-awal penerapan status DM. Berita tentang Aceh, terutama kontak senjata dengan GAM, penangkapan anggota GAM atau kesuksesan operasi TNI selalu muncul di halaman depan koran nasional dan media online yang mulai muncul satu per satu. Malah, Aceh mendapat tempat khusus di media dengan menjadi tajuk khusus seperti sudah diulas di atas. Apa dampaknya?
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta tentang “Adakah Peran Media dalam Penyelesaian Konflik Aceh” di Hotel Sahid Jakarta (23/12/2003), terungkap bahwa massifnya pemberitaan tentang Aceh sebelum dan pada awal-awal pemberlakuan status Darurat Militer begitu menguras energi para wartawan. Belum lagi, pembatasan-pembatasan yan diterapkan oleh PDMD, praktis membuat wartawan tidak leluasa meliput di lapangan: tidak bisa masuk sembarangan ke wilayah hitam atau kemana-mana sering diinteli.
Agus Sudibyo dari ISAI, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan ISAI terhadap media massa nasional (cetak dan elektronik) menunjukkan, sejak Oktober 2003 berita-berita tentang Aceh sedikit menurun dan berkurang padahal perang masih berlangsung di Aceh. Menurut Agus, kondisi ini terjadi karena euphoria pemberitaan tentang Aceh pada awal-awal DM yang membuat media kehabisan energi saat DM berjalan beberapa bulan.
Beruntung, di tengah kondisi tersebut, situs berita acehkita.com yang kehadirannya untuk memberi ruang kepada kaum yang tak bisa bersuara di Aceh, terus saja hadir dengan berita-berita eksklusif dan sarat human interest. Acehkita lebih menitikkan pemberitaan dari sisi korban, pihak yang paling menderita karena kebijakan perang. Berbeda dengan media nasional yang tak lagi menjadikan Aceh sebagai isu seksi, Acehkita terus mengupdate dan meliput perkembangan Aceh. Hebatnya, Acehkita menggandeng para jurnalis yang notebene bekerja untuk media nasional, dengan menyamarkan identitas mereka. Para wartawan yang kerap mengeluh tak bisa menulis sesuai nurani karena berita kiriman mereka sering kali tidak dimuat di media tempat mereka bekerja, dan kalau pun dimuat sudah dicincang habis oleh editor, menemukan medium yang tepat untuk menulis berdasarkan fakta di lapangan.
Liputan-liputan acehkita.com dan majalah Acehkita mendapatkan banyak apresiasi dari pegiat HAM dan pihak-pihak yang melihat perang bukan solusi menyelesaikan konflik Aceh. Berita Acehkita pun sering menjadi rujukan dan referensi dari para peneliti yang ingin mengetahui kondisi mutakhir Aceh. Apalagi, meski membela para korban perang, Acehkita menjaga jarak dengan pelaku konflik: TNI/Polri dan GAM. Karenanya, cukup wajar jika banyak berita acehkita memperoleh derajat kepercayaan yang lebih baik dibanding berita media lain. Tak mudah mendapatkan apresiasi demikian, kala itu.
Saya pun merasa beruntung mengenal acehkita.com secara lebih dekat. Sejak masih berkantor di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, saya sudah sering menyambangi acehkita dan berdiskusi dengan para pengelolanya. Bahkan ketika acehkita.com pindah ke bilangan Diponegoro, Jakarta Pusat, saya pun mulai berani menawarkan tulisan saya untuk dimuat oleh satu-satunya media paling update soal Aceh ketika itu. Malah, saya pun sering menginap di sana, dan ‘merampok’ ranjang abang leting saya, Fakhrurradzie M Gade yang lebih sering menghabiskan waktu di ruang redaksi.
Kini, di usia acehkita.com yang sudah beranjak remaja; 13 tahun, saya ingin mengucapkan selamat ulan tahun yang ke-13. Semoga terus mewartakan Aceh dengan nurani, seperti motto awal media ini. Senang rasanya, pernah menulis beberapa kolom di situs perjuangan ini. Tabik!
2 thoughts on “Sebuah Ingatan tentang Situs acehkita.com”