Jalan Berliku Sebuah Kota HAM

Harlan

Kairo– Pergolakan di negara-negara Arab, yang dikenal dengan Arab Spring, telah menyediakan lahan subur bagi tumbuhnya benih kerangka kerja baru mengenai HAM yang bergerak melampaui pemantauan pelanggaran. Para penyokong HAM ingin mengintegrasikan HAM ke dalam struktur kehidupan sehari-hari dan bekerja pada tingkat masyarakat untuk mendirikan Kota HAM pertama di Timur Tengah.

Sebuah kota HAM adalah kota di mana semua penduduknya dan pemerintah lokal menerima HAM sebagai jalan hidup dan terlibat dalam perencanaan dan aksi positif untuk mencapai keadilan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat. Model itu bertujuan memastikan semua perangkat hukum, kebijakan, sumberdaya, dan hubungan di dalam kota bekerja untuk melindungi hak-hak dan kehormatan para anggotanya.

“Setiap orang di dalam kota berdiri pada pijakan yang sama dan –apakah walikota atau tukang sampah– mereka duduk di meja sederajat untuk bersama-sama mencari apa saja kebutuhan yang harus dipecahkan melalui perspektif HAM,” ujar Robert Kesten, direktur eksekutif People’s Movement for Human Rights Education (PDHRE), LSM berbasis di New York yang mengembangkan konsep tersebut.

Prinsip-prinsip panduan sebuah Kota HAM diabadikan dalam Deklarasi Universal HAM, sebuah kerangka kerja bagi hak-hak dan kebebasan individu yang diahkan Majelis Umum PBB pada 1948. Ia penting untuk diketahui semua warga dan pemerintah lokal, memiliki dan mampu bertindak atas nama hak-hak tersebut, dan mereka menerapkannya pada semua tingkatan pengambilan keputusan dan proses pemecahan masalah.

Pendekatan berbasis masyarakat itu membutuhkan sebuah perubahan paradigma. Jika lembaga nasional biasanya bertanggungjawab untuk mempromosikan dan melindungi hak dan kebebasan berdasarkan perjanjian internasional, Kota HAM menggeser tanggungjawab ini ke tingkat lokal. Pemerintah dan warga kota direkrut sebagai agen perubahan.

“Alih-alih fokus pada satu isu tertentu atau sekelompok orang, kami bekerja pada tingkat masyarakat, dengan menargetkan setiap lelaki, perempuan, dan anak-anak,” ujar Omar Aysha, seorang aktivis asal Kairo yang terlibat dalam prakarsa itu.

Rosario, Argentina, menjadi Kota HAM pertama pada 1997. Kini ada sekira 15 Kota HAM yang aktif di Eropa, Afrika, dan Amerika. PDHRE memprakarsai proyek tersebut, namun kini kebanyakan menentukan sendiri.

Sebelum Arab Spring, hanya ada sedikit harapan bahwa konsep itu bisa diterapkan di Timur Tengah dan kawasan Afrika Utara, di mana rezim otoriter mengingkari hak-hak politik, ekonomi, dan sosia warganya. Namun pemberontakan rakyat yang menggulingkan diktator di Tunisia, Mesir, dan Libya telah membuka sebuah jendela kesempatan.

“Arus tersembunyi dari revolusi itu dihubungkan ke dalam pencarian kebebasan dan demokrasi,” kata Kesten. “Hasrat akan kebebasan merupakan motivator kuat, sehingga ketika Tunisia jatuh, kita tahu negara-negara lain tak bisa menghindarinya.”

Satu tuntutan mendasar para pemrotes dalam pemberontakan itu adalah akuntabilitas pemerintah kepada warga negaranya. Secara tradisional, pemerintah berfungsi sebagai sebuah piramida dengan badan eksekutif menduduki tempat teratas. Tujuan Kota HAM, menurut Kesten, “adalah untuk membalikkan piramida itu dan meletakkan rakyat di puncak sehingga mereka benar-benar menjadi pemilik hak-hak mereka.”

Tepat jika kemudian PDHRE memutuskan Alexandria menjadi Kota HAM pertama di Timur Tengah. Ia adalah kota Mediterania dengan penduduk empat juta jiwa di mana jalan berliku bagi perjuangan untuk HAM dan keadilan sosial di Mesir telah menghasilkan sebuah perubahan amat penting.

Pada Juni 2010, dua polisi Alexandria menyeret Khaled Said, berusia 28 tahun, dari sebuah kafe internet dan diduga menghajarnya hingga tewas. Polisi mengklaim Said tewas karena tersedak sekantong ganja yang dia telan untuk menyembunyikannya dari polisi berpakaian preman. Namun ketika foto jenazah pemuda itu yang rusak parah muncul di internet, timbullah kemarahan publik dan serangkaian protes yang berperan dalam menggulingkan Mubarak tujuh bulan kemudian.

PDHRE berharap bisa membina semangat yang diwariskan Khaled Said untuk membangun Alexandria sebagai sebuah Kota HAM. Dibanding ibukota Mesir, Kairo, para pemimpin organisasi itu mengatakan Alexandria lebih kecil dan lebih mudah ditangani. Namun ia sangat dikenal, punya nilai sejarah penting, dan memiliki titik pusat internasional: perpustakaan Bibliotheca Alexandrina.

Tantangan untuk mengubah sebuah kota yang terkenal akan represi politik dan kebrutalan polisinya menjadi sebuah mercusuar HAM memerlukan seebuah pendekatan baru. Pada Agustus, PDHRE meluncurkan Korps HAM Mesir, sebuah kelompok yang terdiri dari pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat sipil yang bertugas menyampaikan pesan ke masyarakat.”

Para anggota korps mendapat pelatihan-pelatihan tentang bagaimana mewujudkan HAM dan memperkenalkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka kemudian didorong membawa proses integrasi ini ke rumah, tempat kerja, serta jaringan sosial dan kontak-kontak profesional.

“Sangat penting bahwa orang tak hanya tahu hak-haknya tapi juga menerapkannya ke dalam kehidupan mereka,” ujar Aysha, pemimpin korps. “Kami tahu bagaimana menambahkan atau menguranginya karena kami melakukannya setiap hari. Pelajaran apapun bakal terlupakan kecuali Anda membuatnya jadi bagian dari apapun yang Anda lakukan.”

Proses integrasi sangat penting untuk membangun sebuah Kota HAM di mana para warga dan pemerintah setempat secara proaktif mengenali dan membahasakan HAM ketimbang hanya mengidentifikasi pelanggaran. Dan sekalipun cita-cita tersebut belum punya bobot hukum, Kesten menekankan bahwa sebuah komunitas, di mana para konstituennya mengintegrasikan HAM ke dalam struktur kehidupan sehari-hari, punya potensi untuk mengubah kultur politik di balik banyak bentuk penindasan.

Ketika rezim-rezim otoriter terus berjatuhan di Timur Tengah dan Afrika Utara, PDHRE melihat kesempatan untuk memfasilitasi pemahaman baru tentang HAM yang bergerak “dari kebaikan hingga kehormatan.” Organisasi itu bekerja pada sebuah jalan yang sama di Tunisia, di mana para aktivis lokal telah meluncurkan sebuah korps HAM nasional dan berharap bisa membangun ibukota mereka sebagai Kota HAM.

Dan dengan dikalahkannya rezim brutal Qadafi, Libya mungkin menjadi jurusan berikutnya. [Cam McGrath]

 

Translated by Farohul Mukthi

Edited by Budi Setiyono

Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di Acehcorner.com atas izin Yayasan Pantau.

Leave a Comment