Jalan Kaki Saja, cuma 2 Km!

“Jalan kaki saja, kan cuma 2 km!” kata temanku saat kami hendak mencari sebuah toko handphone. Saat itu saya baru tiba di Milan dan mau membeli sim card Italia untuk komunikasi. Saya ikut sarannya, jalan kaki bersama. Namun dalam hati saya bertanya, 2 km itu apakah “cuma”?

Namun begitulah adanya budaya orang Milan (dan kebanyakan Eropa) tentang jalan kaki. Aktifitas yang satu ini bukanlah pemandangan yang asing di semua jalan di Milan. Di mana-mana kita bisa lihat orang jalan kaki. Inong agam chik putik dara muda semuanya berjalan kaki. Tidak peduli pagi, siang, sore bahkan tengah malam sekalipun.

Jalan kakinyapun, bukan saja jalan santai seperti umumnya yang kita lakukan di Aceh. Mereka jalan bagaikan anak panah, cepat, lurus dan tidak peduli kiri kanan. Saya beberapa kali berpapasan dengan teman sekampus di jalan, seluruhnya saya yang menegur duluan. Kalau tidak, mereka tidak pernah melihat saya melalui jalan yang sama.

Kebiasaan jalan kaki ini dilakukan oleh semua kalangan di Milan. Di jalan-jalan kita bisa melihat beragam model orang berjalan kaki. Mereka melakukan ini bukan karena tidak ada kenderaan, namun karena memang itu menjadi budaya yang sudah ada sejak dulu. Orang merasa nyaman saja kalau berjalan kaki satu atau dua kolometer. Bukan hanya mahasiswa, pekerja kantoran, perusahaan, pabrik, politisi dan pegawai pemerintahpun berjalan kaki.

Aktifitas ini jadi lebih mudah karena desain jalan kota Milan yang  “memanjakan” pejalan kaki. Aturan lalu lintas mengharuskan orang yang membawa mobil memberikan jalan terlebih dahulu kepada pejalan kaki. Jadi kalau kita mau menyeberang jalan, dari jauh mobil-mobil langsung berhenti dan memberikan  jalan kepada pejalan kaki. Bahkan terkadang kita baru berdiri di pinggir jalan, ia tetap berhenti dan mempersilahkan kita lewat. Kenapa ia tidak lewat saja? Kan kita bisa berjalan di belakangnya? Budaya menghargai pejalan kaki membuat pengemudi mobil ini mempersilahkan kita lewat duluan.

Selain itu, desain bangunan juga membuat pejalan kaki merasa nyaman.  Bangunan di kota Milan kebanyakan bergaya abad pertengahan. Bahkan banyak bangunan yang memang sisa bangunan abad pertengahan lalu. Jadi sudah berusia ratusan tahun. Di depan bangunan selalu ada jalan yang lebar buat pejalan kaki. Jalan lebar ini menjadikan kita aman untuk berjalan kaki menuju tempat yang kita inginkan.

Saya yang di Aceh terbiasa dengan kenderaan roda dua, atau memumpang kenderaan umum jarak dekat seperti becak dan RBT, awalnya sedikit kewalahan dengan kondisi ini. Sebab di Milan, untuk jarak dekat kita hanya punya pilihan jalan kaki, tidak ada kenderaan lain. Kecuali kalau banyak uang bisa naik taksi. Namun sebagai anak kos, harga taksi di Milan sama dengan biaya makan saya seminggu, jelas tidak aman di kantong.

Namun setelah terbiasa, ternyata jalan kaki itu nikmat dan sehat. Awalnya pada malam hari tertidur pulas sejak maghrib karena capek. Namun seminggu dua minggu, jadi biasa saja. Jalan kaki bukan lagi menjadi masalah, sudah menjadi bagian dari kehidupan di Milan. Bahkan setiap hari saya mencoba meningkatkan kecepatan jalan kaki saya. Sebab sejauh ini saya selalu tertinggal kalau berjalan kaki dalam kerumunan orang banyak.

Selain jalan kaki dalam kehidupan sehari-hari, budaya ini juga bisa kita lihat pada akhir minggu; sabtu dan minggu pagi. Di dekat rumah saya di Piazzale Udine, Milan, ada sebuah taman kota yang bernama Parco Lambro. Taman ini sudah berusia seratusan tahun dan dipenuhi dengan pepohonan yang besar-besar. Di tengahnya ada sebuah sungai yang mengalirkan air yang sangat jernih. Di bawah pepohonan di sana banyak orang berjalan kaki dengan nyaman, baik sendiri-sendiri, berpasangan atau keluarga yang membawa anak mereka.

Selain yang berjalan kaki, banyak juga yang berlari marathon. Anehnya, yang berlari ini nampaknya tidaklah anak muda saja. Kakek-kakekpun banyak yang lari marathon. Mungkin bisa saya pahami kalau hanya berjalan cepat saja, namun kalau kakek-kakek marathon?  Luar biasa!

Bagi orang Italia, menjaga kesehatan memang masalah esensial, sangat penting. Budaya makan mereka hampir sama dengan kita, banyak dan sering. Namun budaya menjaga kesehatan ini saya belum temukan di tempat kita. Kita masih lebih suka naik kenderaan meskipun hanya pergi ke toilet umum atau membeli rokok.

Bukankah jalan kaki lebih sehat? Mungkin kita semua tahu, namun tidak semua kita mau melakukanya. Apalagi desain kota di Aceh yang tidak memberikan kenyaanan kepada pejalan kaki. Ditambah dengan debu dan asap kenderaan yang terbang ke mana-mana. Niatnya mau sehat dengan jalan kaki, malah kita dapat penyakit. Mudah-mudahan pemimpin kita memperhatikan ini, membudayakan jalan kaki untuk kesehatan. []

Sehat Ihsan Shadiqin, Mahasiswa Universita degli Studi di Milano-Bicocca, Milan Italia