Matahari enggan bersinar, menyisakan mendung yang menggelayut. Kubuka jendela kamar, udara dingin segera saja menyergap. Walaupun sudah memakai baju berlapis-lapis namun dinginnya masih tetap terasa, menembus hingga ke pori-pori. Hari ini libur, aku dan suami, M. Ridha, berencana hendak ke luar.
Kalau boleh memilih, enggan rasanya keluar rumah, inginnya tetap tinggal di kamar kami yang hangat dan nyaman. Tapi hari ini bukanlah hari yang biasa. Pada hari ini, 2 Januari 1998, Kaisar Akihito mengadakan ‘open house’, di istananya, Imperial Palace..
Kesempatan yang sungguh langka. Hanya dua kali dalam setahun ImperialPalaceatau Istana Kekaisaran dibuka untuk umum. Yaitu pada tanggal 23 Desember saat ulang tahun Kaisar Akihito atau Tenno Tanjobi, dan pada tanggal 2 Januari, saat rakyat Jepang merayakan Tahun Baru. Sebetulnya kami sudah merencanakan untuk pergi pada saat Tenno Tanjobi yang lalu. Saat itu merupakan hari libur nasional, jadi kampus suami juga libur. Namun karena guyuran hujan yang menerpa sedari pagi, membuat kami terpaksa mengurungkan niat tersebut.
Dan pada 2 Januari adalah kesempatan kedua bagi kami. Akankah kami menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Tidak, tentu saja tidak. Terpaan udara dingin yang menggigit sampai ke sumsum tulang tidak boleh membatalkan niat kami kali ini.
***
Sebetulnya jarak dari apartemen sederhana kami di Miyamaedaira, Kawasakike Tokyotidaklah terlalu jauh. Sekitar satu jam perjalanan dengan kereta api listrik. Dari Stasiun Miyamaedaira ke Stasiun Shibuya melalui Den entoshi line Lalu naik Yamanote line ke Stasiun Otemachi. Namun karena hari itu bertepatan dengan hari Jumat, suami berencana untuk menunaikan sholat Jumat terlebih dulu. Perjalanan kami akan bertambah lama jadinya. Beliau memilih aula SRIT, yaitu Sekolah Rakyat Indonesia Tokyo di Meguro. Selain karena lokasinya yang dekat, juga agar bisa berjumpa dengan masyarakatIndonesia yang ada di Kanto (Tokyo dan sekitarnya). Suami yang saat itu tengah melanjutkan studi di Tokyo Institute of Technology sehari-harinya disibukkan dengan kegiatan perkuliahan. Jadi jarang bertemu dengan orangIndonesia. Selesai sholat Jumat, barulah kami bertolak menuju Stasiun Otemachi, salah satu stasiun yang dekat denganImperialPalace.
***
Keluar dari Stasiun Otemachi, mata dimanjakan dengan kehadiran gedung-gedung pencakar langit nan megah. Aku merasa seperti anak ayam yang baru saja melihat dunia, terpana memandangi belantara beton di hadapanku.
Setelah berjalan melintasi lapangan luas, tibalah kami di pintu gerbangImperialPalaceatau Kokyo dalam bahasa Jepang. Sebelum masuk, pengunjung beserta barang bawaan diperiksa secara manual. Petugas polisi dan keamanan ada di mana-mana. Ratusan, bahkan mungkin ribuan petugas dikerahkan guna mengamankan lokasi. Ketat. Sangat ketat. Kesan itulah yang ada dalam benakku saat menjalani pemeriksaan. Aku sempat merasa kuatir dan tegang ketika tasku digeledah. Sebaliknya suamiku nampak tenang-tenang saja. Selama tidak membawa benda tajam maupun benda terlarang, untuk apa takut, mungkin begitu pikiran beliau. Memang tasku hanya berisi makanan, minuman, sarung, mukena, bedak dan lisptik. Tak ada yang ‘aneh-aneh’, jadi tenang sajalah, kucoba menenangkan diri.
Akhirnya pemeriksaan yang ketat itu selesai dan kami diperbolehkan masuk. Hatiku sungguh lega. Tinggal selangkah lagi jalan untuk bertemu Kaisar Akihito. Sebelum masuk kami dipersilakan mengisi buku tamu. Terhormat sekali rasanya. Serasa menjadi tamu penting kenegaraan. Sebagai informasi, kaisar tidak bisa ditemui oleh sembarang orang pada sembarang waktu Hanya tamu-tamu penting kenegaraan saja. Aku yang notabene hanya rakyat jelata, diundang menjadi tamu kaisar adalah merupakan suatu kehormatan yang tak terhingga nilainya.
Petugas di pintu gerbang mengatakan bahwa pintu gerbang menuju kediaman kaisar akan ditutup pada pukul tiga sore. Pintu gerbang? Pintu gerbang mana lagi? Bukankah ini gerbang masuknya? Memang setahuku, pintu gerbang atau ‘mon’ dalam bahasa Jepang yang merupakan pintu masuk jumlahnya banyak. Stasiun Otemachi bukanlah satu-satunya stasiun pemberhentian menuju Imperial Palace, namun masih banyak lagi yang lainnya, seperti Stasiun Tokyo, Stasiun Nijubashi, dan lain-lain. Begitu pula gerbang masuknya. Ada Kikyo-Mon, Sakashita-Mon, Sakurada-Mon, dan lain-lain. Dengan melihat peta, kita bisa memilih stasiun pemberhentian dan masuk melalui pintu gerbang yang terdekat dengan stasiun pemberhentian tersebut. Kami masuk melalui Ote-Mon atau Gerbang Ote, sekitarlima menit berjalan kaki dari Stasiun Otemachi, karena pintu gerbang itulah yang terdekat dengan Stasiun Otemachi.
Bagi pengunjung yang berhenti di StasiunTokyobisa juga masuk lewat Ote-Mon, namun jarak yang ditempuh lebih jauh, sekitarlimabelas menit berjalan kaki. Jadi pandai-pandailah memilih stasiun pemberhentian dan juga gerbang masuk yang terdekat.
Nah, yang tidak kumengerti adalah pintu gerbang mana yang dimaksud oleh petugas di Ote-Mon? Apakah pintu gerbang yang terdekat dengan kediaman kaisar atau Gosho? Terus terang aku pusing memikirkan masalah gerbang ini.
Arlojiku menunjukkan waktu jam tiga kurang limabelas menit. Dan itu berarti hanya tersisa waktu limabelas menit bagi kami untuk mencapai pintu gerbang terdekat itu. Oh my God! Lima belas menit saja, bayangkan! Dengan jarak tempuh yang entah berapa kilo lagi panjangnya. Jadi kami mepercepat langkah, kuatir pintu gerbang akan ditutup sebelum kami sampai disana. Terkadang bahkan sampai berlari-lari kecil. Nafas serasa hampir putus dan jantung berdegup kencang. Rasa cemas dan kecapaian berbaur jadi satu.
Syukurlah pintu gerbang masih dibuka ketika kami sampai di sana. Legaa. Akhirnya. Tapi perjuangan belum selesai sampai di situ. Masih harus bersabar sedikit lagi untuk mencapai Gosho. Jadi walaupun kaki terasa pegal-pegal, langkah tidak boleh surut. No way back! Maju terus pantang mundur!
Singkat cerita, akhirnya, sampai juga kami di Gosho. Kuucapkan syukur berulang-ulang. Perjalanan panjang kami sudah mencapai titik akhir. Gosho merupakan bangunan tempo doeloe yang diracik dengan sentuhan modern. Terlihat elegan namun bersahaja. Di tempat inilah Kaisar Hirohito dan keluarga sehari-harinya menghabiskan waktu.
Sebagaimana diketahui, Jepang merupakan negara kerajaan yang memiliki undang-undang dasar atau monarki konstitusional. Menurut konstitusi yang baru (tanggal 3 November 1946), kaisar adalah lambang negara dan kesatuan rakyat. Kekuasaan dan kedaulatan terletak di tangan rakyat. Dengan demikian kaisar tidak mempunyai kekuasaan yang ada kaitannya dengan pemerintahan, namun hanya melaksanakan tugas yang telah diatur oleh konstitusi. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri (Naikaku s?ri daijin). Kaisar melantik perdana menteri, setelah dicalonkan dan dipilih oleh parlemen. Kedaulatan rakyat tercermin dalam peranan parlemen itu.
Kupandangi sekelilingku. Alun-alun sudah dipenuhi oleh ratusan, bahkan mungkin ribuan pengunjung. Di antara para Nihonjin (orang Jepang), nampak juga para gaikokujin (orang asing). Mereka membawa bendera Jepang Hinomaru yang dibagikan di pintu gerbang masuk. Namun sayangnya kami tidak kebagian jatah. Yaa, datangnya telat sih.
Di depan kami nampak balkon berkaca di tingkat dua. Sebentar lagi, Kaisar Akihito akan keluar dan berdiri di balkon berkaca itu. Ah, tak sabar lagi rasanya. Kugunakan waktu yang ada untuk mengatur nafas yang memburu. Sejurus kemudian, pengunjung melambai-lambaikan Hinomaru sambil berteriak dengan gegap gempita,
“Tenno Haika! BANZAAI!” berulang-ulang.
Yang artinya kira-kira “Panjang umur Kaisar!” Sejenak aku terpana dengan euforia ini. Ya, walaupun kedudukan kaisar dalam kontistusi baru Jepang hanyalah sebagai lambang negara, namun keluarga kaisar tetap dihormati oleh sebagian besar rakyat Jepang. Kaisar masih mempunyai kharisma untuk mempersatukan Jepang. Setidaknya itulah yang kurasakan saat larut bersama ribuan pengunjung di alun-alun.
Keluarga kaisar sudah muncul di balkon. Aku menatap mereka dengan pandangan tak berkedip. Inikah Kaisar Jepang itu? Tak bisa kupercaya. Selama ini hanya melihat disuratkabar dan majalah. Tapi sekarang kami berhadapan langsung. Rasanya tak mungkin. Tak mungkin! Apakah ini mimpi? Tanpa kusadari bulir bening mengalir hangat di pipi. Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas kesempatan yang langka ini. Dadaku sesak oleh rasa haru yang membuncah.
Sejurus kemudian, sorak-sorai berhenti. Suasana mendadak hening. Kaisar akan memulai pidatonya. Dari jauh kupandangi sosok Kaisar Akihito. Aura kewibawaan memancar dari wajahnya yang ramah. Beliau bertahta menggantikan ayahnya, Kaisar Hirohito yang wafat pada Sabtu 10 Januari 1989. Kaisar Jepang yang ke-125 ini lahir pada tanggal 23 Desember 1933. Di sebelahnya, Permaisuri Michiko berdiri dengan anggunnya. Kecantikan, keanggunan dan kewibawaan, semua berpadu menjadi satu. Menampilkan kharisma yang luar biasa.
Kaisar memulai pidatonya. Suaranya berat dan dalam. Suasana manjadi hening. Rakyat mendengarkan dengan seksama. Termasuk diriku, berusaha mencerna kata demi kata. Tapi sayangnya tak ada yang kumengerti. Maklum baru sebulan berada di Jepang, jadi bahasa Jepangku masih sebatas ‘konnichiwa’ atau ‘selamat siang’. Menurut suamiku, Kaisar Akihito mengucapkan ‘Selamat Tahun Baru’ kepada rakyat. Beliau menggunakan bahasa Jepang halus, kalau dalam istilah bahasa Jawa ‘Kromo Inggil’, jadi berbeda dengan bahasa Jepang yang digunakan sehari-hari. Oh, pantas saja, bahasa Jepang yang digunakan kaisar seperti bahasa yang tidak pernah kudengar sama sekali.
Aku masih berusaha menyimak ketika kaisar menutup pidatonya. Singkat sekali, hanya sekitar dua menit. Rasanya aku masih ingin mendengar suara beliau lebih lama lagi. Masih ingin memandangi wajahnya yang berwibawa. Tapi sayangnya, pidato telah berakhir.
Untungnya, selesai berpidato kaisar beserta keluarga tidak langsung masuk. Mereka melambai-lambaikan tangan, menyapa rakyat yang mengelu-elukannya. Di antara kerumunan dan sorak soraimassa, dalam hembusan angin musim dingin yang menerpa, tiba-tiba ada rasa hangat yang menjalar dalam dada. Aku merasakan keinginan yang kuat dari Kaisar Akihito untuk mendekatkan diri kepada rakyat. Rakyat yang menghormatinya. Memujanya. Biasanya antara pemimpin dengan rakyat seperti ada tembok pemisah yang menghalangi. Pemimpin dengan urusannya sendiri, rakyat dengan permasalahannya sendiri juga. Tetapi pada hari itu, tembok pemisah itu seakan-akan runtuh. Keluarga kerajaan berbaur dengan rakyat. Rakyat dipersilakan datang dan menyapa. Menatap dari dekat sosok yang mereka banggakan. Kaisar bagaikan matahari yang menyinari bumi dengan kehangatannya. Menerangi hati, memberi secercah asa, serta sejumput semangat bagi rakyatnya. Duhai indahnya.
Sebelum mereka masuk, kupergunakan detik-detik berharga itu untuk memerhatikan anggota keluarga yang lain. Ketiga orang anak Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko: Pangeran Naruhito (lahir 23 Februari 1960), Pangeran Akishino (Fumihito, lahir 11 November 1965) dan Putri Sayako Nori (lahir 18 April 1969). Istri dari Pangeran Naruhito, yaitu Putri Masako, cantiknya luar biasa. Subhanalloh. Lebih cantik daripada yang biasa kulihat di foto-foto. Putri Kawashima Kiko, istri dari Pangeran Akishino dan kedua putrinya (Putri Mako dan Putri Kako) juga cantik-cantik. Sedangkan putra mereka yang bungsu (Pangeran Hisahito) waktu itu belum lahir (lahir tahun 2006). Putri Aiko, putri dari Pangeran Naruhito dan Putri Masako, waktu itu juga belum lahir (lahir 1 Desember 2001).
Setelah keluarga kaisar masuk ke dalam, pengunjung pun bubar dengan tertib. Ketika pulang kami melewati Nijubashi, jembatan dengangayaEropa yang bentuknya artistik. Suasananya begitu romantis dengan kemilau hijau danau di bawahnya, ditingkahi sepasang angsa genit yang berenang manja. Aku baru sadar bahwa ternyata istana ini dikelilingi oleh parit dan dinding batu besar. Banyak wisatawan yang berfoto di atas jembatan klasik Nijubashi ini. Berdiri di atas Nijubashi dengan latar belakang Menara Fushimi Yagura seolah kita terlempar ke zamanEdoratusan tahun yang lalu.
Berakhirlah sudah kunjungan kami keTokyoImperialPalace, sebuah dunia lain di antara belantara betonkotaTokyo. Tubuhku teramat letih, kaki pun pegal-pegal rasanya. Tapi mengingat pengalaman yang sangat berkesan kali ini, letih dan pegal itu tak lagi kurasakan. []
Mulla Kemalawaty adalah Anggota Forum Lingkar Pena Aceh