HARI masih pagi. Pasar tradisional Saree di Lembah Seulawah, Aceh Besar sudah ramai seperti biasanya. Para penjual yang rata-rata kaum perempuan lalu lalang menawarkan barang dagangannya berupa keripik saree, kacang rebus, jagung rebus dan martabak, ke setiap penumpang yang baru turun dari mobil L300 atau bus umum. Saban hari dan malam, roda kehidupan seperti tak pernah berhenti di pasar yang berada di jantung pegunungan Seulawah itu.
Pada Sabtu, 29 Agustus 2015, saat jarum jam menunjuk pada angka 08.00 WIB, sebagian murid SD Negeri Unggul 1 Saree sedang asik bermain di halaman sekolah. Sementara di sejumlah ruangan berlangsung proses belajar-mengajar. Pelajar yang sedang bermain di luar itu adalah murid kelas VI. Mereka sengaja ‘diliburkan’ karena akan mengikuti program belajar di alam terbuka. Soalnya, pada hari itu aktivis dari Forum Alur Mancang Saree (FAMS) akan mengunjungi sekolah yang berada tak jauh dari pasar Saree yang ramai itu.
Para guru kemudian mengumpulkan murid kelas VI di halaman sekolah yang juga berfungsi sebagai lapangan bola voli. Murid laki-laki dan perempuan saling membaur. Mereka dibagi dalam lima baris kelompok. Setiap kelompok memiliki 10 anggota. Masing-masing mereka didampingi seorang guru kelas dan seorang aktivis dari FAMS. Kepada mereka diberi kertas putih dan pulpen serta papan kecil, tempat meletakkan kertas.
“Tulis nama jenis pohon yang kalian ketahui sebagai nama kelompok kalian,” kata Anzurdin, Ketua Forum Alur Mancang Saree (FAMS). Anzurdin sengaja meminta mereka menulis nama kelompok dengan nama jenis pohon untuk menguji pengetahuan mereka tentang jenis flora yang ada di kawasan Pegunungan Seulawah, sebuah kawasan cagar alam yang tak jauh dari tempat mereka.
Tak sampai lima menit, para murid itu berhasil menulis nama pohon sebagai nama bagi kelompok mereka. Kelompok satu menulis Cemara, kelompok dua Beringin, kelompok tiga Pinus, kelompok empat Mahoni, dan kelompok lima Jati.
“Di TAHURA, kalian akan diperkenalkan dengan nama-nama pohon yang sudah kalian tulis sebagai nama kelompok.” Anak-anak senang bukan main mendengar janji Anzurdin itu. Tahura yang dimaksud Anzurdin adalah Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan.
FAMS mengemas kunjungan ke sekolah itu sebagai program ‘visit school’. Program ini untuk mengajak anak-anak peduli pada lingkungan. “Kita mau mengajak anak-anak belajar langsung di sekolah alam,” kata pria yang disapa bang Aan ini.
Menurut Anzurdin, sekolah itu sengaja dipilih karena masuk dalam kawasan yang memanfaatkan sumber air dari Alur Mancang. “Kita mau perkenalkan kesadaran menjaga lingkungan pada murid sekolah,” kata pria 45 tahun itu. Kepada anak-anak juga diberitahu akan pentingnya menjaga hutan sebagai sumber mata air.
Selama ini, Alur Mancang menjadi sumber air untuk dua Kampung di Kecamatan Lembah Seulawah: Suka Damai dan Suka Mulia.
KAMPUNG Suka Damai dan Suka Mulia masuk dalam Mukim Saree, Kecamatan Lembah Seulawah. Suka Damai memiliki 5 dusun: Karya, Ampera, Pelita, Pasar/Mount Tujoh dan Sukamakmur, dengan jumlah penduduk sekitar 229 KK. Batas kampung, di sebelah timur berbatasan dengan Taman Hutan Raya (TAHURA) dan hutan lindung, sebelah barat dengan perkebunan rakyat dan kehutanan, sebelah utara dengan hutan lindung dan TAHURA, dan sebelah selatan dengan kampung Suka Mulia.
Sementara Kampung Suka Mulia memiliki 3 dusun: Harapan, Jaya dan Swadaya. Desa yang memiliki luas 300 hektar itu berpenduduk sekitar 105 KK. Batas desa ini di sebelah timur dengan komplek BLPP, BBI, di sebelah barat dengan TAHURA dan hutan, sebelah utara dengan desa Suka Damai, dan sebelah selatan dengan Tahura. Mata pencaharian masyarakat di kedua desa ini adalah petani, pekebun, pengrajin/home industry (keripik, tape, kayu), peternak, pedagang, PNS dan buruh.
Kedua desa ini memiliki posisi strategis dalam menjaga biodiversity dan sumber air yang ada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh. Letak kedua desa ini berdekatan dan berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA) Pocut Meurah Intan, sebuah kawasan yang memiliki luas sekitar 6300 hektar.
TAHURA merupakan kawasan hutan hujan tropis yang kaya dengan hutan pinus alam strain Aceh (Pinus Merkusii) dan berbagai jenis flora lainnya seperti Macaranga tribola, Diospyros sp, Michelia Montana, Shorea sp, Boccauria sp, Pygeum parviflorum, Ficus sp, Canangium odoratum, Styrac sp, Litsea sp dan anggrek liar. (Source)
TAHURA juga kaya akan fauna seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Pantera tigris sumatraensis), Gibbon (Hylobates syndactylus), Lutung (Presbytis cristata), Kedih (Presbytis thomasi), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), rusa samba (curves unicolar), tupai hitam besar (Ratufa bicolar), trenggiling (Manis javanica), Binturong (Artictis binturong), Rangkong (Buceros undulates), dan lain sebagainya. (Source)
Meski hidup di kawasan hutan tropis, masyarakat Desa Suka Damai dan Suka Mulia sama sekali tidak memperoleh akses untuk mendapatkan sumber air dari kawasan hutan hujan tropis itu. Menurut Juwarno, salah satu pengurus FAMS, puluhan tahun masyarakat di kedua desa itu kesulitan memperoleh air bersih.
“Masyarakat kita harus antri sampai subuh untuk mendapatkan air bersih,” katanya mengenang pengalaman masa lalu.
Saat itu, ceritanya, masyarakat cuma mendapatkan air dari satu titik yaitu dari bak penampungan air yang berada di dalam areal Meunasah Nurul Huda Saree. “Itu pun mereka hanya dijatahi air 1-2 jirigen saja,” katanya. Bak penampungan air itu sampai sekarang masih bisa aktif meski kondisinya tak terurus. Masyarakat masih memanfaat bak penampungan air tersebut untuk mandi atau cuci sepeda motor.
Menyadari pentingnya air untuk sumber kehidupan mereka, sebanyak 37 orang (4 di antaranya perempuan), masing-masing mewakili Desa Suka Damai dan Suka Mulia, Mukim Saree, pihak Kecamatan Lembah Seulawah, perwakilan Dinas Kehutanan, STTP dan SPMA Saree dan perwakilan ESP USAID menggelar Workshop Perlindungan Air Alur Mancang pada 8-9 Maret 2007 di Gedung Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Saree. Dari workshop tersebut lahir sebuah rekomendasi untuk membentuk forum. Nama yang disepakati kemudian adalah Forum Alur Mancang Saree (FAMS). Mereka berharap forum tersebut bisa menjadi wadah ‘gerakan bersama’ masyarakat Suka Damai dan Suka Mulia dalam menjaga dan melindungi sumber air mereka.
Sebelum wadah itu terbentuk, perjuangan masyarakat untuk mendapatkan sumber air bersih sudah mulai dijajaki sejak tahun 2006. Mereka melihat potensi itu ada di Kawasan Alur Mancang(KSAM) Saree. Dimulai saat kedua desa itu menerima bantuan dari PPK yang dananya bersumber dari World Bank dengan membangun sistem perpipaan ke desa mereka. Lalu, masuk program ESP USAID melalui program WSM (Watershed Management) dengan tujuan mengamankan jalur pipa agar tidak tercangkul oleh anggota masyarakat yang membuka lahan pertanian, sekaligus merehabilitasi KSAM seluas 144 hektar. Masyarakat menanami tanaman jaloh, kemiri dan serai untuk melindungi kawasan sumber air itu.
“Jaloh ditanam di sisi kiri dan kanan jalur alur, kemiri di kawasan hutan Alur Mancang,” kata Juwarno. Kedua tanaman itu sebagai tanda batas daerah tangkapan air. Sementara itu, di jalur perpipaan ditandai dengan tanaman serai. “Tanaman itu untuk melindungi pipa,” jelasnya. Tak hanya itu, saat masyarakat membutuhkan bisa mengambil serai sebagai bumbu masak dan obat-obatan. []
Gambar: koleksi pribadi