Oleh Azman Sulaiman
IBU, tidak ada diantara kita yang tidak mempunyai ibu, karena semua kita laki-laki maupun wanita pernah “bersetubuh” dengan ibu, menikmati lemaknya air susu ibu yang tidak terganti dengan merek susu manapun di supermarket, merasakan kenyamanan belaian kasih sayangnya bahkan sampai kita dewasa (kasih ibu sepanjang masa). Tanggal 22 Desember telah ditetapkan sebagai hari ibu, penetapan ini sebagai penghargaan untuk kaum ibu dikarenakan peran mereka selain melakukan pekerjaan domestik, kaum ibu juga mampu berkiprah dalam dunia politik dan pergerakan, sehingga mereka pantas menerima penghargaan ini. Penghargaan untuk ibu juga diungkapkan dalam ungkapan yang lain sepeti syurga di bawah telapak kaki ibu, wanita (kaum ibu) adalah tiang negara, dan hampir tidak ada negara, agama di dunia ini yang tidak memuliakan kaum ibu.
Berdasarkan penghargaan (kemuliaan) yang dialamatkan kepada kaum ibu, para kaum ibu perlu sejenak melakukan perenungan, kenapa seorang ibu itu menjadi sangat mulia. Memang ibu memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dilakoni oleh kaum laki-laki seperti mengandung, melahirkan dan menyesui, namun selain dari pada itu, ibu memiliki potensi kelembutan, kecerdasan, kesabaran, ketabahan, keberanian dan rasa kasih sayang. Potensi inilah yang harus dipergunakan oleh kaum ibu, sehingga kemuliaan itu sejatinnya baru menjadi milik ibu.
Kemulian Ibu Siti Hajar
Kaum ibu mungkin dapat mengambil contoh dari Siti Hajar, tentunya karena dia telah menjadi orang yang telah mampu mempergunakan potensi yang dimilikinya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, sehingga Allah mengabadikan kisahnya dalam Al-Quran. Hajar mampu mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya sebagai ibu untuk bertahan dan sabar saat ditinggal oleh suaminya Nabi Ibrahim bersama Ismail anaknya yang masih bayi di lembah yang tandus gelap tidak ada orang, tidak ada makanan dan minuman. Hajar, dalam kondisi kehausan, berusaha naik turun mendaki bukit Safa dan Marwa mencari air, akhirnya air itu ia dapati di dekat kaki anaknya Ismail yang disebut air Zamzam dan terus mengalir sampai sekarang.
Alhasil, di tempat itu Ka’bah berdiri tegap menjadi arah kiblat umat Islam saat melakukan shalat dan dikunjungi oleh kaum muslim dari seluruh pelosok dunia untuk melaksanakan ibadah Haji. Hanya dengan ketabahan, kesabaran dan keyakinan seorang ibu, tanah yang dulunya tandus tak berpenghuni, tak ada makan, buah-buahan, sayur-sayuran bahkan air sebagai sumber utama kehidupan manusia, kini menjadi ramai penuh sesak dengan segala makanan, minuman, dan tanahpun kini telah berkembang menjadi negara yang berperadaban tinggi.
Pelajaran Penting Dari Siti Hajar
Pada prinsipnya Siti Hajar adalah sama dengan kaum ibu lainnya yang ada di muka bumi ini, bahkan menurut riwayat, beliau itu berada pada strata sosial yang “hina” (budak) dan beliau berkulit hitam. Quraish Shihab menyebutkan Hajar adalah bukti janji Allah dalam memuliakan hambanya yang tidak memandang keturunan dan status sosial, namun itu semua karena usaha Hajar untuk bertahan dan berusaha, dia tidak berpangku tangan menunggu turun hujan dari langit, tidak menunjukkan sikap cengeng, berkeluh kesah, berputus asa dan menyerah akan tantangan yang diberikan untuk membawa perubahan ke arah kebaikan.
Segala pengorbanan dilakukan Hajar sebagai ibu, shingga berbekas (dirasakan) langsung pada anaknya Ismail, Ismail tumbuh jadi anak yang patuh pada orang tua dan taat pada Allah, sehingga dia bekerja dengan ikhlas membangun rumah Allah (Ka’bah) bersama dengan ayahnya Nabi Ibrahim. Ismail juga pernah diperintahkan oleh Allah untuk di sembelih diajdikan qurban (persembahan) kepada Allah, namun karena didikan seorang Ibu, Ismail rela menyerahkan lehernya dengan ikhlas untuk dipotong oleh ayahnya sendiri Nabi Ibrahim (kekuasaan Allah mengantikan Ismail dengan seekor kibas).
Peran Ibu di Era Modern
Kondisi Siti Hajar bisa dikatakan berbanding terbalik dengan era modern sekarang ini, dimana segala urusan jadi serba mudah, misalkan ibu yang mengandung sudah lebih tenang mengetahui kondisi janinnya yang tumbuh sehat setelah berkonsultasi pada dokter kandungan, dapat juga mengetahui janinnya laki-laki atau perempuan. Ibu melahirkan semakin mudah, bila si ibu tidak mau bersusah payah cukup melakukan caesar (oprasi untuk mengambil anak dalam perut) sehingga dapat mengurangi rasa sakit dan resiko kematian. Dalam hal mendidik anak, telah banyak tersedianya fasilitas penitipan anak dari penitipan bayi, PAUD, TK, dan seterusnya. Dalam hal menyesuipun telah banyak tersedia susu bayi peganti Asi (walau tidak sama kualitasnya) di supermarket sehingga ibu tidak perlu cemas bila tidak sempat menyusui.
Sejenak kita bayangkan, pengorbanan yang dilakukan Hajar di tanah tandus gelap, tak bermanusia, tak berfasilitas seperti yang kita rasakan sekarang ini, namun beliau mampu mencetak manusia yang taat dan berbudi luhur seperti Ismail. Sekarang ini ibu tidak perlu bersusah payah seperti Hajar untuk menciptakan generasi muda yang taat dan berakhlak mulia. Ibu yang kita kenal adalah orang yang memiliki kecerdasan, kesabaran, ketabahan, keberanian, rasa kasih sayang tiada tara, dengan potensi yang ibu miliki, ibu dapat mendidik dan menciptakan generasi yang taat dan berakhlak mulia. Saat sekarang kita merasa miris melihat sikap dan tindakan anak remaja yang kurang bermoral, mereka bebas melakukan tindakan mesum, berpelukan di atas jalan raya sudah menjadai kebiasaan, tidak lagi ada rasa malu, tindakan tawuran, kurang menghormati dan menghargai guru di sekolah, sehingga telah terjadi “pelanggaran” HAM terhadap anak karena guru tidak tahan dengan sikap mereka.
Dengan kondisi moral anak remaja sekarang ini yang tidak menentu, bagaimana bangsa ini melahirkan pemimpin-pemimpin yang berakhlak mulia, berlaku adil, tidak korupsi, tidak premanisme, tidak berkehendak mengikuti hawa nafsunya, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi bukan semakin diperlebar dan diperumit, namun dengan bekal didikan dari ibu diharapkan dapat menyeselesaikan persoalan-persoalan kehidupan ini, rakyat akan hidup damai dan sejahtra. Bukan bermaksud menyalahkan kaum ibu semata, namun potensi yang dimiliki ibu mampu menciptakan generasi yang diharapkan, selama kaum ibu masih mau mempergunakan potensi yang ada sama dirinya minimal bisa dimulai dari keluarga seperti yang di contohkan Siti Hajar, dan akhirnya kemulian itu tetap menjadi milik ibu.[]
Penulis adalah orang yang memuliakan kaum ibu.