Ketika Dua Aktivis Bertemu di Makam Panglima

Harlan

Menjelang siang pada akhir September 2015, Muhammad Zulfan, seorang videographer punya janji bertemu dengan aktivis di Mukim Cubo, Bandar Baru, Pidie Jaya. Mereka memilih lokasi kuburan Teungku Abdullah Syafie sebagai titik kumpul.

Aktivis itu namanya Muhajir Juli. Pemuda yang sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis itu lahir di Gampong Teupin Mane, Juli, Bireuen pada 26 Februari 1985. Sejak Februari 2015, dia dan Maulana didapuk sebagai penanggung jawab program Koalisi NGO HAM Aceh di Mukim Cubo, Pidie Jaya. Muhajir diberi tugas mendampingi masyarakat di Gampong Kayee Jatoe dan Blang Sukon, dua desa di Mukim Cubo. Di kedua desa itu, Koalisi NGO HAM, tempat Muhajir mengabdi, sedang menjalankan program penguatan lembaga adat dan penggalian kearifan lokal untuk mitigasi perubahan iklim.

Saat pertama kali masuk ke Cubo untuk memperkenalkan program, mereka tak langsung diterima dengan tangan terbuka. Masyarakat di Cubo masih trauma sekaligus alergi saat mendengar istilah Hak Asasi Manusia (HAM) yang tersemat pada nama lembaga yang dibawa Muhajir.

“Masyarakat masih takut mendengar istilah HAM, mengingatkan mereka pada pelanggaran HAM,” kata Muhajir yang sering menghabiskan waktunya di Cubo.


Kecurigaan masyarakat cukup beralasan. Sejak beberapa tahun terakhir, berkembang isu bahwa lembaga yang masuk ke kampung diduga menyebarkan aliran sesat di dalam masyarakat. Awalnya, mereka masuk ke kampung berkedok menawarkan bantuan, tapi secara diam-diam melakukan pedangkalan akidah. Mengantisipasi hal itu, masyarakat menjadi selektif dan tak langsung menerima LSM yang masuk ke kampung mereka.

“Ini karena minimnya pengetahuan masyarakat terkait HAM,” kata Muhajir yang juga seorang wartawan sebuah media online di Aceh ini.

Lalu, cerita Muhajir, mereka mulai memberi penjelasan terutama terkait kerja dan visi misi Koalisi NGO HAM kepada orang-orang yang mencurigai pegiat HAM melakukan pedangkalan akidah. “Kita jelaskan kepada mereka apa makna HAM yang sebenarnya, agar mereka jadi paham,” lanjutnya.

Setelah mendapatkan penjelasan itu, kata Muhajir, barulah mereka diterima dengan tangan terbuka. Tak ada lagi masyarakat yang menganggap Koalisi NGO HAM membawa aliran sesat. Alhasil, mereka dapat melaksanakan program penguatan lembaga adat untuk mitigasi perubahan iklim tanpa ada kendala.

Pada tahap awal, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Koalisi NGO HAM di Mukim Cubo. Di antaranya Training of Trainer (ToT) yang digelar pada 16-18 April 2015, lalu Pelatihan Kader Gampong, 13-14 Mei 2015, dan Survey Enumerator tahap pertama, April hingga Juni. Setelah kegiatan berjalan, masyarakat pun mulai merasakan manfaat kehadiran Koalisi ke Mukim mereka. Bahkan, masyarakat berharap Koalisi bersedia mendampingi mereka dalam kerja-kerja advokasi penguatan mukim, baik dari sisi penguatan qanun mukim yang sedang dibahas di DPRK, maupun penguatan pengetahuan lainnya.

Maka, pada Senin, 28 September 2015 siang, Muhammad Zulfan atau lebih akrab disapa Jawon, yang ingin mendokumentasikan kegiatan Koalisi menemui Muhajir di Blang Sukon, Cubo. Muhajir berangkat dari Bireuen bersama seorang temannya, Fajri, yang juga seorang jurnalis. Muhajir memang punya agenda kembali ke Cubo, karena harus mempersiapkan pelatihan sidang adat. Pelatihan itu sekaligus menandai berakhirnya program Koalisi NGO HAM di Mukim Cubo yang sudah berjalan hampir tujuh bulan itu.

Jawon dan Muhajir kemudian sepakat bertemu di Makam Teungku Lah, selepas dhuhur. Muhammad Zulfan berangkat ke makam Teungku Lah di Blang Sukon setelah selesai mengambil beberapa video di kampung yang masuk daftar merah saat Aceh dibalut konflik. Begitu Jawon tiba di makam Teungku Lah, Muhajir sudah menunggu di tangga meunasah. Dari jauh, dia melempar senyum. Setelah berbincang sebentar, mereka pun sepakat mencari kopi di kedai kampung. Muhajir mengaku lebih banyak menemui warga di warung kopi.

“Keuchik dan tokoh masyarakat lebih mudah ditemui di warung kopi,” katanya.

Gambaran Cubo dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Jalan-jalan sudah teraspal mulus, tak lagi berkerikul dan penuh debu seperti sebelum reformasi. Jaringan listrik baru masuk ke Cubo pada tahun 1998 atau setelah reformasi. Sebelumnya, warga mengandalkan ‘panyet seureungkeng’ atau genset untuk penerangan.


Ada enam desa yang masuk dalam Mukim Cubo yaitu yaitu Kayee Jatoe, Blang Sukon, Paru Keude, Blang Baro, Gampong Puduek dan Lhok Pu’uk. Posisi kampung-kampung berada jauh dari jalan raya. Hanya Paru Keude yang dekat dengan jalan raya. Sebagian besar masyarakat di mukim ini berprofesi sebagai petani, pekerja kebun, dan hanya sebagian kecil saja berprofesi PNS.

Muhammad Kaoy (kini almarhum), tokoh masyarakat di sana, mengaku warga Cubo pernah menikmati masa-masa jaya, ketika tanaman coklat atau kakao menjadi primadona. “Masyarakat menyulap lahan yang mereka miliki menjadi kebun coklat,” katanya. Bahkan, sejumlah lahan pertanian yang sebelumnya dimanfaatkan untuk bercocok tanam, disulap menjadi kebun coklat.

Kampung Kayee Jatoe dan Blang Sukon, ketika itu memiliki lahan perkebunan yang cukup luas. Kampung itu dikelilingi oleh hutan yang masih perawan. Bahkan, sebelum terkenal dengan penghasil coklat, Cubo juga menjadi sentra penghasil cengkeh.

Namun, kejayaan itu tak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, harga coklat anjlok drastis. Penyakit mulai menghantam tanaman holtikultura itu, dan masyarakat terpaksa beralih dari kebun coklat. Lahan-lahan pertanian yang sebelumnya sudah disulap jadi kebun coklat diubah lagi menjadi sawah.

“Karena coklat diserang penyakit dan hama, masyarakat kembali menggarap sawah mereka,” kata Muhammad Kaoy yang juga mantan Keuchik Kayee Jatoe dan mantan Imum Mukim Cubo. Pun begitu, bukan berarti tanaman coklat ditinggalkan begitu saja. Jika sekarang kalian pergi ke Cubo, sisa-sisa kejayaan coklat masih tampak di sana. Sebagian warga masih setia menanam coklat di lahan dan kebun milik mereka.

Ketika Aceh dibalut konflik, sekali lagi Cubo menawarkan pesonanya. Wilayah ini menjadi terkenal, dan karenanya masuk dalam daftar hitam aparat keamanan. Saban hari aparat menyisir kampung pedalaman itu untuk mencari para gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlindung di sana. Ketika itu, Cubo bahkan dikenal sebagai salah satu basis GAM.


Teungku Abdullah Syafie, panglima GAM yang paling diburu aparat keamanan menikah dengan seorang perempuan Cubo, Pocut Fatimah. Teungku Lah, demikian Panglima karismatik itu disapa, banyak menghabiskan waktu di kawasan Cubo. Dia sering bolak-balik antara Cubo dan Jiem-jiem, markas besarnya, yang juga masuk kecamatan Bandar Baru. Belakangan, karena aparat semakin rutin menyusur kampung-kampung di Cubo, panglima yang dikenal memiliki ilmu kebal itu menyingkir ke Jiem-jiem.

Keberadaan panglima GAM di Cubo memberi pengaruh besar untuk Cubo dan warganya. Hingga kini tak ada lagi yang memandang rendah orang Cubo, dan tak ada yang menyebut mereka terbelakang. Tiap musim politik datang, Cubo akan selalu ramai dikunjungi politisi, baik yang karbitan maupun figuran. Mereka menziarahi makam Panglima GAM, Teungku Abdullah Syafie di Blang Sukon, Cubo. Ia bersama istri dan 4 pengawalnya dimakamkan di sana, di lokasi rumah istrinya.

Jawon yang juga mantan aktivis itu menemui Muhajir di makam itu. Sekaligus sebagai penghormatan untuk sang Panglima!

Image source: 1, 2, 3, 4

Leave a Comment