Penampakan Wonosobo dari video drone

Ketika Wonosobo Memilih Sunyi untuk Merayakan Diri

Di sebuah dunia yang tak henti-hentinya berteriak, di mana notifikasi berdentang tanpa jeda dan perhatian kita terpecah menjadi ribuan kepingan digital, ada satu malam di dataran tinggi Dieng yang memilih jalan sebaliknya.

Malam itu, Wonosobo, kota yang akrab dengan selimut kabut dan hawa dingin, memutuskan untuk tidak bersuara. Alih-alih pesta kembang api yang memekakkan telinga atau konser musik yang riuh, kota ini merayakan hari jadinya dengan sebuah kemewahan yang langka: kesunyian.

Ritual ini bernama Tapa Bisu. Namanya sendiri sudah mengandung sebuah paradoks yang indah. Tapa, sebuah laku spiritual yang mendalam, dan Bisu, ketiadaan suara. Ini bukanlah sekadar pawai diam. Ini adalah sebuah meditasi komunal yang berjalan, sebuah dialog batin massal yang membentang di jalan-jalan utama kota, di bawah tatapan langit malam yang mungkin sama tuanya dengan kota itu sendiri.

Malam Tapa Bisu dimulai setelah panggilan Isya mereda, meninggalkan gema ketenangan. Dari jantung pemerintahan, Pendopo Kabupaten, ribuan jiwa bergerak sebagai satu kesatuan. Mereka tidak mengenakan kostum karnaval yang gemerlap, melainkan busana tradisional Jawa yang sarat makna—beskap dan jarik untuk para pria, kebaya dan sanggul anggun untuk para wanita.

Pakaian ini bukan sekadar seragam, melainkan sebuah pernyataan identitas, sebuah cara untuk menanggalkan ego modern dan menyatu kembali dengan akar budaya.

Saat prosesi dimulai, sebuah transformasi magis terjadi. Deru mesin kendaraan lenyap. Obrolan dan tawa sirna. Yang tersisa adalah simfoni subtil dari ribuan pasang kaki yang melangkah dalam irama yang nyaris tak terdengar di atas aspal.

Sesekali, terdengar desah kain jarik yang bergesekan atau embusan napas yang menyatu dengan udara dingin pegunungan. Ini adalah keheningan yang padat, keheningan yang hidup dan berdenyut dengan energi kolektif.

Baca juga: Benda Wajib Dibawa saat Traveling

Perjalanan ke Dalam, Ziarah ke Masa Lalu

Tapa Bisu bukanlah perjalanan tanpa tujuan. Rute yang ditempuh adalah sebuah ziarah simbolis. Langkah-langkah hening itu membawa para peserta menyusuri jejak para pendiri Wonosobo, menuju peristirahatan terakhir tiga tokoh babad alas: Kiai Moh Moqom, Kiai Walik, dan Kiai Karim.

Ini adalah cara generasi masa kini untuk “sowan,” untuk memberi hormat secara batiniah kepada para leluhur yang perjuangannya menjadi fondasi kota ini.

Dengan membisu, setiap peserta dipaksa untuk melakukan perjalanan yang jauh lebih penting: perjalanan ke dalam diri. Tanpa distraksi suara, pikiran menjadi lebih jernih. Ini adalah momen muhasabah, sebuah introspeksi mendalam.

Dalam setiap langkah sunyi itu, tersembunyi ribuan pertanyaan personal: “Sudahkah aku menjadi warga yang baik bagi kota ini? Apa kontribusiku pada tanah tempatku berpijak? Bagaimana aku bisa meneruskan warisan para pendahulu dengan cara yang terhormat?”

Di tengah kerumunan yang diam, setiap individu sebenarnya sedang sendirian dengan pikirannya, namun mereka tidak merasa kesepian. Ada rasa kebersamaan yang luar biasa dalam kesunyian itu. Mereka berbagi ruang, berbagi tujuan, dan berbagi penghormatan yang sama, tanpa perlu menuturkannya lewat kata-kata. Ini adalah bukti bahwa komunikasi terdalam terkadang tidak memerlukan suara.

Baca juga: Driving In Australia: Perjalanan Virtual di Negeri Kangguru

Relevansi Sunyi di Era Bising

Mengapa ritual seperti Tapa Bisu terasa begitu kuat dan relevan hari ini? Jawabannya terletak pada kontrasnya dengan kehidupan modern. Kita hidup dalam “ekonomi perhatian” di mana setiap platform berebut untuk mendapatkan suara dan pandangan kita. Keheningan telah menjadi komoditas langka, sebuah kemewahan yang hampir terlupakan.

Wonosobo, melalui Tapa Bisu, secara sadar menolak kebisingan itu. Selama beberapa jam, kota ini menciptakan sebuah oase sensorik. Ini adalah bentuk perlawanan budaya yang lembut namun tegas terhadap hiruk pikuk. Ritual ini mengajarkan bahwa untuk benar-benar mendengar, kita harus terlebih dahulu diam. Untuk benar-benar terhubung, kita terkadang perlu memutuskan sambungan dari dunia luar.

Ini bukan tentang menolak kemajuan, melainkan tentang menemukan keseimbangan. Tapa Bisu adalah pengingat bahwa di balik semua pencapaian fisik dan kemajuan teknologi sebuah kota, ada jiwa yang perlu dirawat. Jiwa itu ditemukan bukan dalam sorak-sorai perayaan, melainkan dalam keteduhan kontemplasi.

Baca juga: Nyaris Gagal Terbang, Lalu Berujung Bahagia Bersama AirAsia

Sebuah Warisan yang Hidup

Saat prosesi akhirnya mencapai makam para leluhur dan doa-doa tanpa suara dipanjatkan, ritual Tapa Bisu mencapai puncaknya. Para peserta tidak hanya menyelesaikan sebuah rute fisik; mereka telah menyelesaikan sebuah siklus spiritual yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan harapan untuk masa depan.

Tapa Bisu adalah lebih dari sekadar acara dalam rangkaian hari jadi. Ia adalah denyut jantung spiritual Wonosobo. Sebuah pernyataan bahwa kota ini dibangun di atas fondasi kebijaksanaan, bukan hanya batu dan aspal.

Ia mengajarkan kepada warganya dan kepada siapa pun yang menyaksikannya bahwa kekuatan sejati sering kali ditemukan dalam kelembutan, kearifan ditemukan dalam refleksi, dan perayaan termegah terkadang adalah perayaan yang paling hening.

Di malam ketika kata-kata beristirahat, Wonosobo justru berbicara paling lantang tentang identitas, rasa syukur, dan kearifan lokalnya. Di dalam hening itulah, Wonosobo menemukan kembali jiwanya yang paling sejati.[]

About the author
Harlan
Lelaki yang suka berpindah dari satu warung kopi ke warung kopi lain. Dulunya, pernah terlintas cita-cita menjadi preman terminal. Takdir menuntunnya menekuni profesi lain.

Leave a Comment