Washington (IPS) – PADA sebuah panggung kecil, seorang perempuan muncul. Duka tergambar dari raut mukanya selagi menelusuri jalanan kota Kabul, mencari anaknya yang hilang. Tiba-tiba dia berhenti dan menatap reruntuhan tembok.
“Tembok ini tak boleh dibangun kembali,” kata Butimar-e Kabul. “Jika tidak, orang akan melupakan rasa sakit dan saya akan ditinggalkan sendirian.”
Kisah dengan karakter fiktif bernama Butimar-e Kabul ini sayangnya bukan hal unik. Dalam 30 tahun konflik di seluruh negeri, korban perang Afghanistan merasakan tragedi dan perjuangan, serta –meski kecil– harapan.
Dalam Infinite Incompleteness, kisah Butimar-e Kabul berjejalin dengan sembilan cerita lain dari korban konflik Afghanistan yang sudah berjalan 30 tahun. Ia dihadirkan Kantor Dokumentasi HAM Afghanistan (AHRDO) dalam pertunjukan di AS yang dihelat Kay Spiritual Life Center, American University, di Washington.
AHRDO, organisasi masyarakat sipil berbasis di Afghanistan, menggunakan teater dan seni untuk menyampaikan program keadilan transisional dan jender, yang dirancang sejak organisasi ini terbentuk pada 2009.
Keadilan transisional, atau gagasan meminta ganti rugi pelanggaran HAM sesudah konflik, bisa menjadi isu kontroversial, dan salah satu yang sulit dipenuhi. Di Afghanistan, dokumentasi dan akuntabilitas atas pelanggaran HAM diabaikan dari agenda dalam negeri, sementara minim desakan dari komunitas internasional, ujar Hadi Marifat, salah seorang pendiri dan direktur AHRDO.
“Fokus terkini adalah arah keamanan dan stabilitas, tapi sistem peradilan tak bekerja,” kata Marifat kepada IPS. Ini membuat peran warga dalam mengorganisasi suatu gerakan kolektif tak cuma mengarah pada pelanggaran HAM tapi lebih luas lagi.
Satu komponen penting dari keadilan transisional adalah memberi suara bagi korban –dan itulah yang menginspirasi AHRDO. Melalui teater partisipatif, ujar Marifat, mereka tak hanya terlibat dengan korban, tapi membantu menggambarkan masalah yang lebih luas lewat pertunjukan.
“Tak mungkin melakukan segalanya, menunjukkan segala hal yang terjadi di Afghanistan dari 1970-an hingga sekarang,” katanya.
Marifat berkata, mereka ingin audiens, di Afghanistan maupun dunia, memahami bahwa ada kemungkinan kekejaman perang terjadi lagi. “(Kita bisa) meletakkannya ke dalam bahasa sederhana, dan pesan itu pada intinya untuk menghentikan tragedi serupa terulang.”
Infinite Incompleteness, yang telah dipentaskan empat kali di Afghanistan dan sekarang tur di dua kota AS, menampilkan empat aktor membawa kisah para korban di Afghanistan –panglima perang yang menduduki kota-kota, istri kehilangan suami, orangtua kehilangan anak– dan disajikan dalam tiga bahasa: Dari, Pashto, dan Hazaragi.
Untuk mengumpulkan aneka cerita dan membuat produksi tematik, AHRDO menggandeng kelompok korban melalui proyek pelatihan teater secara intensif, berlangsung lima kali, di sejumlah wilayah di seluruh negeri. Tujuannya, membangun suasana saling percaya sehingga kisah-kisah personal mereka dapat dituturkan.
Sayed Mohammad Jawid, anggota eksekutif AHRDO dan pemain Man in Green, mengatakan ada rasa tanggungjawab pada sebagian besar aktor dan aktivis yang bekerja guna menuturkan kisah ini. Sebab, dalam banyak kasus, ini kali pertama kisah individu-individu korban dikumpulkan atau diceritakan.
“Ini sebuah metodologi baru, bekerja dengan korban di tingkat akar rumput,” ujar Jawid. “Sebagai warga Afghanistan dan manusia, sangat mengejutkan bagi saya mendengar kisah-kisah ini dari mereka. Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah membuat sebuah drama yang kuat untuk mencerminkan emosi itu.”
AHRDO memakai tipe genre teater partisipatoris yang berbeda dalam program mereka di seluruh negeri –yang paling menonjol, Playback Teater– serta lebih dari 150 permainan dan latihan yang melibatkan para korban, yang mewakili lintas-seksi dari kelompok etnis dan sosial di Afghanistan.
“Ketika mereka kali pertama datang dan berinteraksi satu sama lain, ada perasaan yang mula-mula muncul ‘saya lebih sengsara daripada kamu’,” kata Marifat. “Tapi akhirnya, ada suatu konsensus – kita semua korban, dan kita harus bekerja sama untuk mengikis kesalahan itu.”
AHRDO bekerja secara ekstensif dengan divisi Afghanistan di International Center for Transitional Justice (ICTJ), serta memfasilitasi pertunjukan di Washington dan New York City, dengan Open Society Foundation. Tujuannya, membawa isu keadilan transisi di Afghanistan ke dunia internasional.
“Proses ini memberi Anda cara berpikir alternatif atas suatu masalah,” kata Nadia Siddiqui dari tim Afghanistan di ICTJ tentang misi dan struktur teater partisipatoris AHRDO. “Ini membuat Anda sadar bahwa Anda punya pengalaman bersama dengan seseorang yang Anda pikir tak pernah mengalaminya.”
Dalam sebuah diskusi panel sesudah pentas di American University, terungkap bahwa para aktor bukanlah aktor profesional –mereka adalah warga Afghanistan, pekerja AHRDO, aktivis HAM, dan korban konflik.
Zahra Hussaini, pemeran Butimar-e Kabul, yang menjadi partisipan pada sebuah pelatihan AHRDO di Afghanistan, diminta hadir dalam diskusi tersebut. Mula-mula dia datang dengan malu-malu untuk menceritakan bagaimana suasana pelatihan teater: “tak ada yang salah dan tak ada yang benar.”
“Respek dalam pelatihan ini mengalir sepanjang hidup,” kata Hussaini, kini anggota eksekutif AHRDO, kepada IPS. Dia bilang, seperti partisipan lain, dia menghargai ruang aman yang menghormati apa yang dikatakan, atau dirasakan. “Ini cara positif untuk mengubah seluruh masyarakat.”
“Keadilan transisional adalah proses panjang,” ujar Mohammad Zaman Khoshnam, yang bermain dalam Man in White. “Namun itu dapat membawa perubahan dari tingkat bawah ke atas.”[ Rosemary D’Amour]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di Acehcorner.com atas izin dari Yayasan Pantau