Oleh Idrus Bin Harun
Puisi yang membingungkan dan berusaha tampil maksimal di tengah sunyinya ungkapan-ungkapan murni yang lahir dari nurani penyair, harus ditongsampahkan segera. Aktifitas menulis puisi sebaiknya dihentikan saja. Tutup lembaran-lembaran syair. Gantikan dengan lirik-lirik introvert penyanyi indonesia.
Di koran-koran pagi, puisi Minggu ditulis dengan pikiran kusut. Merajut diksi dengan termangu dalam sepi sampai berjam-jam adalah tingkah paling dungu. Kau tahu? Kerbau memiliki imajinasi juga. Hanya saja untuk alasan agar terlihat lebih beradab mereka jarang mendeklamasikan puisi jika sedang santai.
Puisi kita dewasa ini dihegemoni teori akademisi. Menulis sajak sambil melempar pandangan dari jendela kamar lalu menghayal bisa merenggut bulan, atau seorang penyair yang pernah kesenggol becak di pasar, lalu pulang menulis puisi tentang betapa tercelanya sikap sang pacar yang tak bisa melindungi ia dari becak kurang ajar.
Koran-koran kita menyukai hal-hal berat lagi membingungkan. Contoh; semakin gelap puisi anda, semakin menarik bagi mereka. Semakin tak dimengerti, semakin bermutu nilai seni.
Apakah itu bentuk surealisme seperti kata Issidor Ducasse? Issidor Ducasse mungkin pernah teler dengan alkohol melebihi ambang batas. Namun, dalam goresan Salvador Dali, surealisme dapat ditangkap dalam sekejap tanpa harus menjadi pening sesudahnya. Atau, katakanlah puisi itu mesti perih seperti puisi Sapardi Djoko Damono. Maka, berpuisi bakal dicap sebagai aktifitas paling menyedihkan sepanjang sejarah kebudayaan manusia pasca runtuhnya dinasti-dinasti.
Ruang yang diciptakan penyair sebagai refleksi dunia nyata harus kita pertanyakan segera. Sebelum kebingungan-kebingungan ini berlanjut hingga kita wafat kelak. Made Wianta menolak puisi konvensional karena bosan dengan keterbatasan ungkap. Remi Sylado mendobrak pantat kritikus sastra dengan puisi mbeling. Bagaimana dengan kita? Apakah menjadi domba-domba yang digiring mengunyah rumput sebelum disembelih?
Pasti kita dianggap bodoh jika tak bisa menginterpretasi sejumlah diksi dalam puisi. kebodohan kultural semacam ini wajar dalam sastra lokal kita yang tak mempunyai sejarah seni. Apalagi, sejauh ini puisi makin kental saja berbicara. Dan parahnya, hanya dimengerti oleh yang sedikit panjang panjang imajinasi. Dan kita yang di bumi, tidak mungkin terus menerus mendongak ke langit untuk dapat berkomunikasi dengan penulis puisi.
Sahabat saya yang menerima kiriman puisi hampir gila memaknai dan baginya, penyair itu adalah makhluk paling cerewet serta suka omong berputar-putar. Abstraksi tidak tepat menjadi ruang komunikasi. Upaya untuk meyakinkan orang bahwa puisi itu media yang unik sekaligus nakal, sudah tidak tepat jikalau penyampaian mengalami stagnasi. Tersumbat pada lubang diksi. Walau terkadang coba disiasati dengan memunculkan banyak aliterasi di ujungnya, puisi gelap tetap sulit dipahami.
Maka, jika dijejerkan puisi dari Banda Aceh ke Sigli, maka sepanjang jalan akan sunyi. sebab penyair kita penyendiri. Kalau sedang mabuk puisi.
Bivak Emperom, 30 Januari 2012
Idrus Bin Harun Ini orang adalah jama’ah Komunitas Kanot Bu