Kabar tak sedap dari Badan Penanggulangan Bencana Alam (BPBA) Aceh mengusik pikiran saya malam ini. Kabar itu adalah soal rusaknya dua sirene tsunami yang terpasang di beberapa titik di kawasan pantai Aceh. Sirene tsunami merupakan alat mutakhir yang baru hadir setelah Aceh dihumbalang gelombang gergasi pada 2004 lalu. Sedikitnya ada enam sirene tsunami yang dipasang di perairan Aceh. Dan kini, dua di antaranya justru tidak berfungsi.
Mengutip keterangan Kepala BPBA, Teuku Ahmad Dadek, sparepart dua sirene tsunami tersebut mengalami kerusakan. Parahnya, sparepart yang rusak tersebut justru tidak diproduksi lagi. Dilansir detik.com, Minggu, 21 Oktober 2018, kabar ini menjadi bukti dugaan saya dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi, kala otoritas terkait menggelar simulasi tsunami justru sirene yang digadang-gadang menjadi pengingat warga tak sepenuhnya terdengar di telinga kami.
Di sisi lain, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) malah berencana mengalihkan pengelolaan sirene tsunami kepada pemerintah daerah. Rencana seperti ini justru menjadikan BMKG seperti ingin “melempar bola” pasca tingginya jumlah korban manusia di bencana Palu. Seperti kita ketahui, Palu (Donggala, Sigi, Palu) Sulawesi Tengah pada akhir September 2018 lalu dihantam tsunami hebat. Jumlah korban berdasarkan data terakhir yang dirilis mencapai dua ribuan jiwa. Jumlah korban ini dinilai tinggi karena Indonesia, berkaca dari pengalaman Aceh, bukan kali pertama dihumbalang tsunami.
Kesalahan BMKG yang diduga terlalu cepat menarik peringatan dini tsunami pasca gempa pada kasus Donggala, Palu-Sulawesi Tengah, diduga menjadi pemicu badan tersebut menjadi uring-uringan. Lantas BMKG tidak mau dipersalahkan lagi dan diduga hendak melempar tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah. Apalagi, menurut Kepala BMKG, Rahmat Triyono, perintah evakuasi berada pada tangan pemerintah daerah. Aturan tersebut menurut Rahmat sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kemudian disusul pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, menyusul maraknya bencana alam di Indonesia.
Rencana pengalihan pengelolaan peringatan dini tsunami ini dinilai bakal mendatangkan masalah baru. Seperti diketahui, pemeliharaan alat Early Warning System (EWS) ini tidak murah. Butuh lembaga khusus untuk menangani alat-alat serupa itu dan tidak dapat diserahkan begitu saja kepada pemerintah daerah yang terbatas sumber daya manusia dan financial. Jika pun rencana ini terwujud kelak, pemerintah daerah harus siap dalam menempatkan beban tanggung jawab ini kepada lembaga yang berkompeten, yang di dalamnya diisi oleh orang-orang yang mampu dan profesional.
Pun demikian, Rahmat seperti dilansir detik.com, membenarkan hingga saat ini pihaknya memegang kendali penuh untuk membunyikan peringatan tsunami. “Sirene termasuk satu bagian peringatan dini itu. Desain awal BMKG bisa aktivasi seluruh sirene di Indonesia karena tombolnya juga ada di sini. Tinggal kami klik saja,” kata Rahmat seperti dikutip detik.com.
Selain sparepart sirene tsunami yang rusak, beberapa buoy–alat deteksi tsunami yang dipasang di laut lepas justru hilang. Pemerintah Indonesia menuding hilangnya alat-alat pendeteksi tsunami ini disebabkan aksi vandalisme yang dilakukan pihak tidak bertanggung jawab. Tentu ini merupakan kabar memilukan bagi saya, mungkin juga sebagian besar korban tsunami di Aceh, yang pernah merasakan dahsyatnya bencana alam tersebut.
Kehilangan alat pendeteksi gelombang tsunami ini merupakan perbuatan yang patut dikutuk. Pemerintah dan juga aparat penegak hukum tidak boleh membiarkan hal ini begitu saja. Harus ada pengusutan secara tuntas apakah alat-alat tersebut benar-benar rusak dan hilang atau ada something somewrong dalam pengadaannya.[]