Washington (IPS) – Perusahaan, yayasan, dan perusahaan gabungan (trust) yang terdaftar secara legal tapi tak menjalankan aktivitasnya sama sekali –lebih umum dikenal sebagai shell company– merupakan modus operansi dari organisasi-organisasi korup untuk menyembunyikan sejumlah besar uang, seringkali dengan memanfaatkan peluang dalam sistem keuangan saat ini, ujar sejumlah pakar.
“The Puppet Masters” (http://tiny.cc/eyrci), sebuah laporan yang dirilis pada 24 Oktober oleh Inisiatif Pengembalian Kekayaan Curian (StAR), Bank Dunia, membahas bagaimana struktur legal dieksploitasi oleh beberapa organisasi korup guna menyembunyikan aset-aset curian.
StAR, kerjasama antara Kelompok Bank Dunia dan Kantor PBB untuk Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC), mengumpulkan informasi dari 150 kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi selama 30 tahun terakhir, ditaksir 50 milyar dolar aset curian, korupsi, dan aktivitas kejahatan lainnya, sebagai sampel analisis laporan itu.
Laporan itu, bersama dengan data informasi pengembalian aset curian lewat Inisiatif StAR, Bank Dunia, memberikan pandangan komprehensif tentang bagaimana apa yang dikenal sebagai “beneficial ownership” terjadi, kata Emile van der Does de Willebois, ahli sektor keuangan senior StAR yang juga penulis laporan.
“Temuan kami, hampir di setiap kasus besar, terdapat sebuah struktur legal perusahaan yang terlibat sebagai cara menyembunyikan identitas pejabat yang korup hingga memisahkan identitasnya dari hasil korupsi,” kata van der Does.
Seperti kasus di Kenya pada 2002. Ketika hendak mengganti sistem pencetakan paspornya, pemerintah Kenya menolak tawaran enam juta euro dari firma Prancis. Mereka lebih memilih kontrak senilai 31.89 juta euro dengan Anglo-Leasing and Finance Ltd. Anglo-Leasing, sebuah shell company di Inggris, yang mengajukan penawaran dengan menggunakan perusahaan Prancis sebagai subkontrak proyek itu, dan membiarkannya meraih untung jutaan.
Laporan itu merekomendasikan cara menangkal jenis tipu-muslihat semacam itu, dengan menekankan peningkatan transparansi dan tanggungjawab para pembuat kebijakan.
“Transparansi sudah menjadi suatu isu sejak lama,” kata van der Does. “Apa yang kami ajukan bukanlah hal baru. Kami akan menempatkan isu tersebut pada agenda setiap kali kami mendapatkan kesempatan, karena orang-orang jahat takkan menyerah begitu saja.”
Robin Hodess, direktur riset dan ilmu pengetahuan kelompok itu dari Tranparency International –organisasi advokasi masyarakat sipil sedunia– mengatakan dana haram di negara berkembang mencapai sekira satu trilyun dolar tiap tahun, yang memiliki dampak sangat besar bagi sumber daya dan rencana keuangan masa depan negara-negara tersebut.
Seringkali, kata Hodess, mereka yang melawan korupsi korporasi menghadapi tantangan berat.
“Di pihak investigator, agen-agen pemerintah biasanya kekurangan sumberdaya,” ujarnya kepada IPS. “Ini terutama terjadi di negara-negara berkembang, tapi juga untuk yang masih bergumul dengan masalah ekonomi.”
Laporan StAR menyarankan beragam upaya seperti memenuhi persyaratan standar informasi minimum tentang entitas yang didaftarkan: para pemegang saham, anggota, dan direktur, serta memberikan akses mudah terhadap informasi lewat daring.
Organisasi-organisasi masyarakat sipil sudah menyerukan peningkatan tanggungjawab sosial korporasi dalam pertarungan ini, terutama dengan meningkatkan peran aktor-aktor yang terlibat.
“Terkait sektor jasa keuangan, kita dapat melihat peran bukan hanya bank, penyedia jasa, tapi juga pengacara, akuntan, orang-orang yang menyangga struktur korporasi ini,” ujar Hodess. “Cukup banyak yang dapat dilakukan untuk membuat mereka menjadi bagian dari solusi, berkontribusi bagi transparansi.”
Tapi, menurut van der Does, akuntabilitas adalah jalan dua arah –bukan hanya meningkatkan tanggungjawab dalam dunia korporasi, tapi juga melakukan investigasi, menambah keahlian dan kapasitas sebagai upaya menemukan informasi tentang perusahaan yang berpotensi korup.
“Sisi lain dari persamaan itu adalah para investigator perlu lebih awas terhadap sumber-sumber informasi ini,” katanya. “Seringkali, ketika sumber informasi belum tersedia, Anda mencari apa yang Anda sudah tahu.”
Sudah ada aturan internasional yang penting untuk memberantas praktik-praktik korupsi korporasi seperti Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), yang diratifikasi 100 negara sejak disetujui pada 2003, dan rekomendasikan Satuan Tugas Keuangan (FATF), sebuah lembaga inter-pemerintah yang bertujuan membentuk kerangka kebijakan keuangan global.
Saat upaya membuat aturan sudah mencapai prestasi penting, kata van der Does, mereka hanya mengambil langkah awal, sehingga kesulitannya seringkali terletak pada penegakan aturan.
“Tentu saja ada ketidakcocokan antara bagaimana Anda menuliskannya dan apa yang Anda lakukan dalam rezim pengawasan dan regulasi,” katanya.
“Bagaimana aturan ini diimplementasikan selalu jadi masalah,” kata Hodess. “Beragam masalah ini, shell company dan aliran uang haram, berlangsung gencar karena aturan tak ditegakkan.”
Laporan StAR menyebutkan, perhatian khusus harus diberikan pada perbedaan yurisdiksi di dalam sistem keuangan suatu negara, baik untuk bank maupun entitas lain, sebelum aturan disahkan, kata van der Does, dengan melakukan penilaian yang menganalisis area risiko di negara tersebut.
“Tantangan untuk setiap yurisdiksi akan berbeda,” katanya. “Tentukan apa situasi khusus di negara-negara tersebut, entitas apa yang diselewengkan, di mana kita harus fokus mendorong upaya transparansi.”
“Setiap keputusan kebijakan membutuhkan biaya, dan investasi, dan orang yang mau meyakinkan kantor pendaftaran perusahaan, penyedia layanan perusahaan, dan orang lain,” kata van der Does.
Meski menghadapi tantangan berat, langkah-langkah yang telah diambil selama 20 tahun terakhir, seperti peningkatan peran bank dalam menyediakan informasi pendaftaran perusahaan, merupakan indikator positif untuk masa depan.
“Perubahan kultur tak terjadi dalam semalam,” kata van der Does. “Tapi, bukti dari apa yang sudah kita lihat dari beberapa contoh selama ini, saya optimis.” [Rosemary D’Amour]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di Acehcorner.Com atas izin Yayasan Pantau