CITA-cita membangun kembali jalur kereta api Aceh, timbul tenggelam sejak tahun 2000 hingga sekarang. Berbagai kendala dihadapi. Mulai dari konflik politik hingga biaya.
Perhatian mengaktifkan kembali jalur kereta api Aceh, kembali bergeliat saat pemerintah Perancis memberikan bantuan (grant) kepada Aceh dalam bentuk pra feasibility study (pra FS). Bantuan ini merupakan tindak lanjut dari MoU yang ditandatangani pada tanggal 18 Januari 2005, antara Departemen Perhubungan dengan The Societe Nationale des Chemins de Fer Francais (SNCF) tepat setelah tsunami menghantam Aceh.
Pada saat itu, keyakinan untuk membangun kembali jalur kereta api Aceh, bukanlah mimpi semu. Tim SNCF yang juga operator kereta api di Eropa, tiba di Aceh pada Mei 2005. Mereka melakukan serangkaian survey dan pertemuan dengan pemerintah Aceh, DPRA dan Bupati/walikota di sepanjang pantai timur yang direncanakan akan dilintasi jalur rel KA. Seluruh pihak, baik legislative maupun eksekutif sangat mendukung atas rencana pembangunan kembali kereta Aceh, saat itu.
Berdasarkan hasil survey dan pengumpulan data yang dilakukan, Tim SNCF memperoleh informasi untuk daerah Bireuen-Lhokseumawe merupakan koridor yang paling potensial untuk pengembangan layanan KA komuter/ulang alik. Ini merupakan bagian dari jaringan KA jarak jauh Banda Aceh-Medan.
Memulai dengan dua kabupaten kota yang berada di pantai timur Aceh ini, pihak SNCF berharap menjadi pilot project untuk pengembangan jalur kereta api Aceh, yang mempunyai jalur dari Banda Aceh-Medan. Kemudian, untuk pengembangan jangka panjang jalur kereta api Aceh, NSCF bersama Ditjen Perkeretaapian berupaya memfokuskan pada angkutan barang yang merupakan bagian dari Trans Sumatera Railway. Trans Sumatera Railway nantinya akan menghubungkan transportasi KA dari Banda Aceh hingga Lampung.
Trans Sumatera Railway sendiri merupakan hasil kesepakatan para Gubernur se-Sumatera yang menginginkan adanya hubungan kawasan industry dan perdagangan di Sumatera, yang sangat potensial sebagai pendongkrak koridor ekonomi Sumatera. Trans Sumatera Railway juga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian seluruh provinsi di Sumatera serta mengejar ketertinggalan dari Pulau Jawa yang notabenenya lebih maju.
Sayangnya, hingga saat ini konsep Trans Sumatera Railway tak kunjung tiba. Tragisnya, konsep pengembangan KA komuter/ulang alik yang direncanakan untuk kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe saja, masih berjalan di tempat. Rel-rel yang sudah dibangun di beberapa titik di dua tempat tersebut, saban hari telah tertutup ilalang. Bahkan ada yang hilang dan menuju ke tempat pelelangan barang bekas dan penampungan besi kilo-an. Pembangunan tram Aceh kembali memasuki alam mimpi.
Tahun 2007, mimpi untuk membangun kembali rencana yang sempat tertunda tersebut kembali memanas. Pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan lebar spoor 1.435 mm (normal gauge) dengan memanfaatkan trase lama (eks Belanda) antara Krueng Manee (Kab. Aceh Utara)-Cunda (Lhokseumawe). Panjang trase tersebut tak lebih 28 Km.
Perjalanan pembangunan jalur kereta api ini telah sampai pada konstruksi track kereta api dari Krueng Mane-Bungkah-Kr.Cunda. Kemudian, focus pembangunan jalur KA juga telah melahirkan satu unit jembatan, satu unit depo hangar dan tiga unit stasiun dan satu set KRDI produksi PT. INKA Madiun.
Namun, pembangunan kembali rel KA pada jalur eks Belanda kembali menemui masalah. Antaranya, perubahan tata guna lahan yang cukup signifikan dari jalur KA menjadi kawasan permukiman, pertokoan dan perkantoran. Bahkan, pada beberapa lokasi terdapat rel yang bersisian langsung dengan highway (jalan raya). Kondisi tersebut tentu saja membahayakan keselamatan masyarakat dan perjalanan kereta api. Akhirnya dengan kondisi ini, Pemerintah kabupaten dan masyarakat menjadi pesimis atas pembangunan kembali jalur kereta api, yang menjadi cita-cita transportasi dan bangkitnya ekonomi Aceh tersebut.
Meskipun begitu, pemerintah Aceh tak patah arang. Tahun 2009 hingga 2010, pembangunan rel kereta api yang sempat tertunda kembali mendapat perhatian beberapa pihak. Untuk pekerjaan track masih dibutuhkan penyempurnaan penyambungan rel pada beberapa titik.
Pembangunan fasilitas drainase dan penyediaan fasilitas pagarpengaman pada beberapa titik keramaian, turut menjadi perencanaan dalam mewujudkan kehadiran kembali kereta api di Aceh. Di beberapa lokasi rel yang berada pada daerah rawan longsor, seperti daerah tambak milik masyarakat dibangun pelindung talud/retaining wall.
Diharapkan, talud/retaining wall ini cukup kokoh dalam menampung beban kereta api yang melintas. Penataan stasiun Kr. Mane, Bungkah dan Kr. Geukuh juga dilaksanakan untuk melengkapi fasilits yang telah ada, khususnya dari aspek kelengkapan fasilitas pendukung, aspek keselamatan perjalanan KA serta pemenuhan persyaratan bagi kepentingan umum.
Mewujudkan cita-cita tersebut, Satker Pengembangan Perkeretaapian Aceh tahun 2011 mengucurkan anggaran sebesar Rp88 milyar. Kucuran dana ini dimaksudkan untuk melanjutkan pembangunan prasarana pendukung agar operasional kereta api lintas Lhokseumawe-Bireuen dapat segera terlaksana. Sebagian anggarannya, dialokasikan melalui DIPA TA 2011 sebesar Rp 49 milyar.
Anggaran sebesar itu dipergunakan untuk membebaskan lahan pada seksi Kr. Manee-Bireuen yang merupakan hal penting dalam mewujudkan hadirnya kembali tram (KA) di Aceh seperti tempo doeloe. Namun, hingga 2012 penantian panjang KA Aceh sama sekali belum terwujud seperti yang telah direncanakan.
Kenapa Aceh Perlu KA?
Pembangunan kembali jalur kereta api di Aceh jelas sangat dibutuhkan. Selain sebagai perwujudan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang tertera dalam Pancasila, pembangunan jalur rel KA ini juga merupakan aspek penunjang ekonomi yang perlu dipertimbangkan. Pasalnya, meningkatnya kesejahteraan masyarakat Aceh yang merupakan bagian dari NKRI saat ini, serta dibukanya pusat-pusat industri seperti perkebunan, industri dan pariwisata serta kawasan-kawasan andalan lainnya, menyebabkan meningkatnya permintaan jasa transportasi di wilayah ujung Sumatera ini.
Sementara pertimbangan aspek pengembangan transportasi, dilakukan berdasarkan perwujudan Transportasi Nasional (SISTRANAS), Sistem Transportasi Wilayah (SISTRAWIL) dan Rencana Umum Pengembangan Kereta Api di Sumatera. Sesuai dengan pertemuan para Gubernur se-Sumatera di Jambi, pada bulan Januari 2003 yang melahirkan MoU untuk membangun jaringan Kereta Api se-Sumatera, kemudian dikenal dengan Trans Sumatera Rail Way, juga melintasi Provinsi Aceh.
Selain itu, sepanjang jalur Kereta Api Banda Aceh-Besitang terdapat potensi peternakan, perikanan, perkebunan/perhutanan, pertambangan (migas), pertanian dan sebagainya. Pembangunan kereta api Aceh pada tahun 2007 ini, dimulai dari lintas tengah dengan konsep kereta api komuter. Kereta api komuter merupakan kereta api yang menghubungkan kota-kota utama fungsional, yang dapat ditempuh dalam waktu singkat dan dengan jarak yang pendek.
Kereta api komuter ini dapat digunakan untuk mobilisasi pergerakan masyarakat yang tinggi antara dua kota serta mengingat perkembangan dan pembangunan yang sangat pesat di kota tersebut. Kereta api komuter direncanakan akan dibangun di antara Banda Aceh-Sigli, Bireuen-Lhokseumawe dan Watas Langkat-Medan.
Pada tahun 2007 pembangunan kereta api Aceh menggunakan spoor standar negara-negara di Eropa, yakni spoor 1.435 mm yang merupakan satu-satunya spoor terbesar di Indonesia. Selain pembangunan sarana, dilakukan pengadaan sarana Kereta Api diesel. Harapannya, pada pertengahan tahun 2008 sudah bisa beroperasi serta diresmikan oleh Bapak Presiden RI.
Program perkeretaapian Provinsi Aceh merupakan bagian dari program Trans Sumatera Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh merupakan solusi angkutan tepat saat ini dan masa depan. Angkutan kereta api ini bersifat massal, murah, aman dan efektif. Pembangunan kembali jaringan pelayanan kereta api Provinsi Aceh diyakini, memberikan eksternalitas positif atau membawa manfaat yang menguntungkan masyarakat.
Pelayanan tersebut akan semakin membuka dan menghubungkan Kota Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Langsa, Besitang, Medan-Belawan, Medan-Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Rantauprapat. Lintas jaringan tersebut akan terhubung dengan jaringan baru yang menghubungkan kota-kota di Provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dalam satu kesatuan System Trans Sumatera Railway.
Ditambah lagi adanya dukungan Amerika dan Tokyo yang hendak membantu Aceh membangun Prasarana Kereta Api sejak Desember 2002 lalu. Selain itu, tertariknya SNCF Internasional dalam melakukan studi kelayakan program rekonstruksi jalur KA Banda Aceh-Medan, pada Pemerintah RI bulan Agustus 2004, merupakan satu nilai tambah yang patut jadi pemikiran bersama. Lagipula, musibah tsunami telah membuka mata internasional bagaimana susahnya mendistribusikan bantuan kemanusiaan, logistik dan mengangkut korban bencana ke rumah sakit karena kurangnya transportasi yang memadai di Aceh.
Sejarah KA Zaman Belanda
Perjalanan cinta transportasi memakai kereta api, hanya tinggal kenangan di beberapa otak masyarakat Aceh kelahiran tahun 60-an. Seperti halnya Khadijah, yang menceritakan bagaimana mudahnya Ia hijrah dari Meureudu (Pidie Jaya) ke Banda Aceh dengan memboyong lima orang anaknya pada tahun 60-an. Khadijah merupakan warga kota Banda Aceh. Pada saat berpindah dari Pidie Jaya ke Banda Aceh, guna mengikuti suaminya yang bekerja serabutan sebagai pembuat jalan masa itu, Khadijah memiliki satu orang bayi yang menyusui dan dua balita serta dua anaknya yang lain.
“Waktu saya berangkat dari Ulim ke Kutaradja (Banda Aceh), saya mempergunakan kereta api. Gerbongnya luas sehingga saya bisa leluasa menidurkan dan mengikat ayunan di situ,” kisah nenek ini.
Namun sekarang, Khadijah hanya bisa mengenang keberadaan api tersebut dari memorinya yang mulai lapuk dimakan usia. Hanya satu lokomotif yang kini terparkir dengan rapi, di pusat Kota Banda Aceh depan Mesjid Raya Baiturrahman atau dalam kawasan pertokoan Barata Depatemen Store yang sedikit bisa menyisakan kerinduannya pada era kereta api Aceh tersebut. Meskipun lokomotif itu terlihat samar-samar lebih kecil dibandingkan jasa layanan transportasi KA yang pernah dipakai Khadijah.
Kereta Api di Aceh sebenarnya sudah ada sejak jaman Belanda memasuki Kutaraja (Banda Aceh). Saat itu, upaya memasok peralatan militer dari pelabuhan Ulee Lheue ke pusat kota, membuat Belanda membangun jalur kereta api. Rentan waktu berjalan, pembangunan rel KA yang semula berfungsi sebagai sarana perang berubah menjadi pendukung ekonomi dan politik bagi kolonialis ini.
Gubernur Aceh dan daerah taklukannya pada tanggal 26 Juni 1874, memerintahkan untuk menghubungkan demarkasi pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja dengan rel KA sepanjang 5 Km. Rel KA pertama kali dibuka pada tahun 1876 yang menghubungkan Ulee Lheue-Kutaraja, sepanjang 4 Km dengan lebar spoor (gauge) 1.067 mm. Pada tanggal 12 Agustus 1876, jalan KA Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum dengan menghabiskan biaya sebesar 540.000 gulden.
Enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1882, jalan rel dipersempit menjadi 750 mm. Dengan lebar spoor tersebut, pembangunan jalan rel kemudian diteruskan ke Glee Kameng (Indrapuri). Namun dengan alas an keamanan, pembangunan rel hanya mampu mencapai Lambaro pada tahun 1885. Lebar spoor kemudian dikurangi menjadi 0,75 m dengan panjang 16 Km. Tahun 1886, pembangunan rel dibuka dari Kutaraja-Lamnyong.
Sebuah jalur dari Tongah ke Pekan Kr. Cut dan rumah sakit militer Pante Pirak. Jalur ini digunakan untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer ke luar Aceh. Bulan Januari 1898, jalur kereta api diperpanjang hingga mencapai Seulimuem sepanjang 18 km dan dimanfaatkan untuk lalu lintas umum.
Tahun 1900, Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk membangun jalur ini sebesar 3 juta golden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di pegunungan yang sangat berat. Tanggal 15 September 1903 jalur Beureneuen–Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum. Pembangunan rel KA kemudian dilanjutkan hingga Kuala Simpang (1910) dan sampai Besitang serta diselesaikan di Pangkalan Susu pada tahun 1912. Jalan rel di Aceh dengan segala rintangan pada masa itu, dapat diselesaikan dengan rentang waktu kurang lebih 40 tahun dan panjangnya sekitar 551 km.
Pada tahun 1912, pertemuan jalur kereta api lintasan Deli Pangkalan Berandan-Aceh dimulai. Jalur kereta api Langsa-Kuala Simpang resmi dibuka untuk umum. Tanggal 29 Desember 1919 persambungan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij dengan lintas Aceh diresmikan pemakaiannya. Total panjang jalur kereta api Aceh 450 km dengan total biaya 23 juta Golden.
Sejak itu, KA yang ada di Aceh beroperasi dengan titik pemberangkatan dari kota Medan. Biasanya dimulai pada pagi hari. Kereta akan berjalan ke arah utara melalui tempat pengilangan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) Pangkalan Brandan. Diperbatasan Aceh, yaitu di Besitang, jenis kereta api diganti dari kereta api DSM dengan kereta api Aceh, Atjeh Tram yang mempunyai jalur lebih sempit dan gerbong lebih kecil.
Di sepanjang perjalanan, banyak dijumpai stasiun-stasiun kecil. Pada pukul 18.00 sore kereta api tiba di Lhokseumawe. Keesokan harinya, pada pukul 13.00 siang tiba di stasiun Sigli. Di Padang Tiji kereta api berhenti selama ± 10 menit untuk mengganti lokomotif yang lebih kuat. Pergantian lokomotif ini disebabkan, jalan mulai menanjak melalui batas air antara gunung Seulawah Agam dan gunung Seulawah Inong, yaitu melewati krueng Empat Puluh Empat. Pukul 15.00 kereta api berangkat dari Seulimum melalui Indrapuri menuju Lambaro.
Di Lambaro kondektur kembali memeriksa karcis penumpang. Pada pukul 18.00 sore, kereta api baru tiba di Stasion Kutaradja. Dengan demikian, perjalanan memakai kereta api untuk lintas Medan-Kutaradja, pada era tersebut memakan waktu selama 2 hari.
Perjalanan Atjeh Tram dari Besitang-Banda Aceh berakhir di sebuah tangga kecil yang berujung dekat jembatan KA, yang terbentang di atas muara Krueng Aceh. Tempat itu berada dekat hutan bakau. Sekarang, perhentian akhir Atjeh Tram ini berdiri dengan kokoh pertokoan Barata Departemen Store.
Tahun 1939, operasional rel di Aceh mencapai puncaknya dengan mengoperasikan enam kereta api ulang alik tiap hari yang mengangkut 8.500 penumpang dan 500 ton barang. Namun, perjalan kereta api terus menurun hingga operasi pemberangkatan yang semula enam unit berangsur-angsur menyusut menjadi dua unit saja, yang berangkat pada siang hari pada tahun 1969. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1974, layanan angkutan KA Aceh terpaksa ditutup. Banda Aceh resmi sudah tidak memiliki hubungan KA lagi sejak tahun 1982.
Kenikmatan menyaksikan panorama membentangnya sawah, perkebunan pisang dan deretan gunung yang berlarian tak lagi bisa dijumpai seperti gambaran Khadijah, saat ia mempergunakan jasa Atjeh Tram masa lalu. “Harganya murah. Kita enak duduk dan bebas memandang alam. Sejuk bahkan tidak perlu Ac atau kipas angin, karena gerbongnya luas,” tutup Khadijah, dalam bahasa Acehnya yang lugas mengenang memori Atjeh Tram.[]