Aceh Pungo

Boy Nashruddin Agus

Minim Perlindungan untuk Jurnalis di Aceh

Banda Aceh – Semakin banyaknya perusahaan media yang memperkerjakan jurnalis berstatus tdak tetap atau yang sering dikenal dengan istilah kontributor atau bahkan stringer, membuat jaminan layanan sosial bagi pekerja media menjadi tidak tegas.

Kondisi ketidakpastian ini menjadi bahan diskusi yang digelar oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Aceh, yang dilaksanakan pada Rabu (7/3), di Gedung ACC Sultan Selim Banda Aceh. Hadir sebagai pemateri kunci dalam diskusi ini Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Maimun Saleh, Kepala PT Jamsostek Cabang Aceh H Irwan Ibrahim, SE dan Kabid Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja, Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Banda Aceh, Ali Daud, SE.

Dalam diskusi ini Maimun Saleh mengungkapkan, perusahaan media kerapkali memanfaatkan ketidakjelasan status ini, untuk mengingkari hak-hak pekerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Yaitu pemberian upah layak, jaminan kesehatan, tunjangan melahirkan bagi pekerja perempuan dan tunjangan-tunjangan lainnya.

“Dalam relasi perusahaan media dengan koresponden, koresponden ditempatkan dalam posisi lemah. Perusahaan abai terhadap kesejahteraan koresponden, sekalipun kinerja, produktifitas dan kualitasnya bagus,” kata Maimun.

Banyak kasus dikalangan jurnalis, yang harus berjibaku dengan masalah keuangan ketika sang jurnalis menghadapi permasalahan kesehatan. Mereka harus menanggung sendiri biaya pengobatan yang nilainya sangat besar. Harusnya kondisi ini tidak terjadi apabila perusahaan memberi jaminan sosial tenaga kerja atau asuransi kesehatan.

Sementara itu, Kabid Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinsosnaker Kota Banda Aceh, Ali Daud, mengaku hampir tidak ada perusahaan media yang berdomisili di Banda Aceh yang melaporkan situasi perusahaannya.

“Termasuk jika ada pekerja tidak tetap yang bekerja berdasarkan kontrak juga belum ada laporan ke dinas, harusnya ini dilaporkan. Namun, dengan sangat terbatasnya petugas pengawasan dari dinas juga, membuat pekerjaan pengawasan juga berjalan lamban,” ujar Ali Daud.

Menyikapi minimnya jaminan sosial keselamatan kerja dan kesehatan bagi pekerja khususnya jurnalis, Kepala Jamsostek Cabang Aceh, H. Irwan Ibrahim, SE mengatakan sudah saatnya kini para pekerja mengubah arah pola berpikir bahwa jaminan  keselamatan dan kesehatan menjadi sebuah kewajiban bagi perusahaan dan menjadi kebutuhan bagi pekerja.

“Artinya pekerja setiap akan bekerja pada sebuah lembaga atau perusahaan tentunya haruslah memastikan bahwa dia memang mendapat jaminan itu, namun jika bekerja sendiri tentunya harus berpikir bahwa kita butuh jaminan keselamatan dan kesehatan, yang bisa dilakukan secara personal atau individu,” jelasnya.

Saat ini, sebut Irwan hanya ada dua perusahaan media di Aceh yang sudah mendaftarkan karyawannya untuk mendapat layanan jamina sosial keselamatan kerja dan kesehatan, yakni Perusahaan PT Aceh Intermedia dan PT Aceh Media Grafika.

“Tapi kami tidak tahu untuk pekerja yang statusnya tidak tetap atau kontrak di perusahaan-perusahaan tersebut, apakah juga mendapatkan layanan jaminan ini, tapi harusnya pekerja yang tidak tetap juga berhak mendapatkan fasilitas ini,” jelasnya.

Dengan risiko pekerjaan yang sangat tinggi, sudah menjadi kewajiban dan kebutuhan bagi jurnalis memiliki perlindungan keselamatan kerja dan kesehatan, melalui sebuah jaminan atau asuransi, sehingga jurnalis bisa menjalankan tugasnya lebih professional.[rel]