Jika mengingat Naya, maka Tio akan menangis sejadi-jadinya. Tio terbayag matanya yang bulat, hidungnya, rambutnya yang terurai dan pengambilan keputusan yang tepat. Naya, hanya sekejap bersama Tio, sebelum Mamanya mengakhiri yang belum dimulai.
Saat musim hujan melanda, Naya memilih di rumahnya. Dia merenung dan menyembunyikan sedihnya saat dia menyesali pilihannya. Ayahnya sungguh pendiam, semua kehidupan keluargannya dikontrol sepenuhnya atas otoritas ibunya yang tak berhenti bergerak dan berbicara.
“Tio itu pria tak jelas, hanya guru honorer, gajinya 4 bulan sekali, pilih pria lain…
“Tio sama sekali tidak ganteng dan putih, kamu sadar dong, mau anakmu lahir nanti seperti jebra?”
Naya cantik tanpa filter kamera, dia hanya memakai filter saat mengupload foto di media sosial. Saat di uplod maka fotonya seperti boneka berbi, -yang kena petir.
Setelah bertahun-tahun mencari kerja, Tio juga masih dalam keadaan yang sama, hanya pegawai honorer dan tak banyak uangnya. Mama Naya, sejenis ibu sosialita yang suka memamerkan barang-barangnya.
Maka usut punya usut, termasuk saat duduk bersama ibu sosialita lain. Mama Naya berkampanye bahwa tak akan pernikahan antara Tio dan Naya. Ayahnya sibuk bekerja diluar, kadang pulang sebulan sekali. Pulang sebentar, kadang jengah mendengar ocehan istrinya, dia keluyuran di warung kopi.
Anak laki-lakinya, juga ikut ayahnya. Fiza adalah gamers sejati dan menghabiskan hari dengan memencet-mencet layar hapenya. Adiknya lagi adalah penyayang binatang, sekitar 8 tahunan, tapi punya koleksi ikan cupang, ayam warna-warni dan banyak sekali kucing.
Setiap pulang, ayahnya yang kelelahan duduk di sofa, menonton TV yang channel dipilihkan ibu Naya. Naya kadag di teras, di kamar, di dapur dan di sofa kadang bersama ayahnya, hanya duduk dan tanpa bicara, walaupun Naya sekali-kali bercerita tentang kuliahnya.
Setiba-tiba Naya dijodohkan, dia protes sama Ibunya, tapi ibunya tetap teguh pendirian. Ayahnya juga dia protes tapi Ayahnya diam saja. Dengan entah apa sang pria itu sangat ganteng dan menarik ibunya. Walaupun jarang terlihat di Masjid, Pria bernama Lizar itu berhasil memeriahkan kampong sehari itu dengan pernikahan yang wah.
Beberapa photographer berbaris, diatas pelaminan yang dibuat di atas panggung mewah dan tinggi. Naya berbaju Aceh berwarna pink yang sengaja dijahit kerabat Ibunya, Lizar terlihat sangat bahagia. Tio walaupun tak di undang, dia menghibur dirinya dengan menahan bullian orang desa di depan kolam cuci piring, sambil menyabuni piring-piring kotor.
Tak lama kemudian banyak terdengar suara teriakan di rumah. Ternyata setelah investigasi sensus 88. Lizar seorang yang pemarah. Tak jarang terdengar ibu Naya bertengkar dengan Ibunya. Serumah setelah menikah ternyata runyam.
Lizar memasang tv kabel dan menonto acara binatang dengan adiknya Naya, terkadang menonton balap dan menonton Bola yang bersebrangan dengan mazhab sinetron mertuanya.
Lizar juga suka memotres..eh memprotes masakan mertuanya yang kurang pedas seperti ibunya. Selain itu Lizar orang yang keras, juga sesekali membantah apa yang dikatakan mertuanya. Di saat yang tidak kondusif ini, Ayah Naya terkena Stroke.
Ayah adalah menjadi satu-satunya teman Naya, Sekarang ayahnya menuruti kata dokter kalau stroke harus banyak bicara supaya sarafnya hidup dan cepat sembuh, maka Ayahnya kini juga jadi pemateri ketiga di rumah. Lizar sudah sedikit jinak, dan ibunya tetap cerewet ya tapi sudah sedikit mendengarkan suaminya. perlahan-lahan suaminya mengumpulkan uang, setelah mereka membayar hutang pernikahan, lalu membeli rumah sendiri dan pisah dari perumahan mertua indah.