PA Diminta Hargai Sastra Putra Daerah

Harlan

Banda Aceh – Pemerintah Aceh (PA) diminta agar menghargai karya sastra putra daerah dengan berusaha mendistribusikan ke sekolah-sekolah, sebagai upaya untuk melestarikan dan menjadi bahan pelajaran bagi siswa dan mahasiswa.

“Akhir-akhir ini kehidupan sastra di Aceh mulai menggejolak dan mendapat penghargaan amat tinggi di luar Aceh. Tetapi pemerintah kita sendiri tidak menghargainya,” kata Ketua Balai Sastra Samudera Pasai Zoel Kawom di Lhokseumawe, Senin.

Kelahiran karya-karya penulis Aceh, sebagaimana Azhari, Ayi Jufridar, dan Arafat Nur, kata dia, adalah bukti bahwa sastra Aceh mulai melejit di tangan mereka.

Novel berjudul “Lampuki” karya Arafat Nur yang dianggap fenomenal dan meraih dua penghargaan bergengsi sekaligus, yaitu memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 dan mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011.

Dikatakan, penghargaan tertinggi ini tegolong langka, apalagi sebagai ukuran penulis Aceh. Namun, penghargaan yang demikian tinggi dari luar Aceh tidak ditanggapi oleh pemerintah sedikit pun.

“Kalaupun mereka tidak diberikan hadiah, setidaknya karya mereka disambut pemerintah dan disalurkan ke sekolah-sekolah. Jadi, apa yang mereka tulis dengan susah payah tidak sia-sia,” sambung Zoel.

Selain itu, penyaluran buku ini mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Selain untuk meringankan beban masyarakat dan pelajar Aceh membelinya, juga gagasan-gagasan dan hasil pemikiran dalam buku itu langsung dapat diserap.

“Karya-karya penulis itu akan terasa manfaatnya untuk mencerdaskan anak-anak Aceh, yang karya itu memang untuk merekalah ditulis,” tuturnya.

Begitu juga perihal cerita Azhari dan novel sejarah Ayi Jufridar. Azhari memang melahirkan sejumlah cerita pendek, dan masih banyak yang belum terangkum dalam bentuk buku.

Sementara Ayi Jufridar dengan novelnya Putroe Neng sudah sepantasnya disambut pemerintah, dan menjadikannya sebagai bahan bacaan penunjang mahasiswa dan masyarakat umum, tambahnya lagi.

Menurut Zoel, sebetulnya Pemerintah Aceh punya dana untuk ini setiap tahunnya, tetapi kenapa sastra Aceh yang demikian melonjak dan mengagumkan pihak luar ini, malah diabaikan oleh kaumnya sendiri.

“Karya-karya mereka, terutama Lampuki, sudah mendapatkan pengakuan luas dan penghargaan tertinggi. Bahkan dianggap cocok untuk bacaan orang Eropa yang rencananya akan dialihbahasakan,” ujarnya.

Zoel mempertanyakan, apakah karya yang cocok dibaca oleh sejumlah bangsa asing itu tidak cocok dibaca oleh orang Aceh.

Apa pasalnya pemerintah mendiamkan saja, seolah-olah sastrawan di Aceh tidak ada. Bahkan, katanya, Arafat Nur gagal menghadiri banyak acara dan undangan karena tidak ada dana.

Terakhir dia gagal menghadiri acara paling berkesan dalam hidupnya untuk menerima KLA atas novelnya Lampuki karena tidak ada ongkos pesawat, tutur Zoel. [Antara]