Banda Aceh – PT Lafarge Cement Indonesia (LCI) diduga memberikan fasilitas dan gratifikasi kepada sejumlah pejabat di Aceh Besar dalam bentuk pemberian tiket dan fasilitas hotel.
Informasi yang dilansir ANTARA, Senin, menyebutkan gratifikasi itu berawal dari surat yang ditujukan PT LCI kepada Pemkab Aceh Besar bernomor AKS/cs/Plant-402/LCI pada tanggal 24 Oktober 2011.
Perihal surat permohonan tersebut adalah pengurangan pajak untuk jenis batu kapur (limestone) dan tanah liat (Siltstone/shalestone).
Atas dasar permohonan tersebut, PT LCI diduga telah memberikan fasilitas perjalanan dan kunjungan studi ke Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Cilacap, Jawa Timur, yang keseluruhan biaya yang ditimbulkan atas segala perjalanan tersebut seluruhnya ditanggung PT LCI.
Hasil penelusuran ANTARA, Pemkab Aceh Besar telah mengeluarkan surat untuk menjawab surat permintaan PT LCI tersebut.
Surat itu dikeluarkan oleh Pemkab setelah melakukan kunjungan studi banding ke kedua kabupaten tersebut.
Dalam surat itu disebutkan bahwa Pemkab Aceh Besar telah menyetujui penyesuaian pajak untuk jenis batu kapur (limstone) yang semula Rp15.000/ton menjadi Rp10.000/ton, dan untuk jenis tanah liat (Siltstone/shalestone) yang semula Rp 12.500 menjadi Rp10.000/ton.
Pihak management PT LCI membantah bahwa hal ini disebut sebagai tindakan gratifikasi.
Manager Coorporate Social Responsibilty (CSR) PT LCI Mahfudsyah menjelaskan PT LCI hanya mengajak jajaran Pemkab Aceh Besar untuk melakukan kunjungan studi banding.
Dikatakan, kunjungan tersebut yang pembiayaannya sepenuhnya ditanggung PT LCI, dikarenakan Pemkab Aceh Besar tidak memiliki anggaran untuk melakukan kunjungan ke Kabupaten Maros dan Kabupaten Cilacap.
“Kami hanya membiayai kunjungan studi banding itu untuk melihat kebijakan yang diterapkan oleh kedua kabupaten tersebut mengenai pajak di pabrik sement Bosowa dan pabrik semen Holcim,” tuturnya.
Dijelaskannya, PT LCI hanya menyarankan kepada Pemkab Aceh Besar untuk melihat kebijakan penerapan pajak dan royalti yang diterapkan Pemkab Maros dan Cilacap terhadap perusahaan semen di sana.
“Jadi kami tidak mengintervensi pemerintah, kami hanya membiayai kunjungan studinya saja,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Akhiruddin Mahjuddin, Kordinator Gerakan Anti Korupsi Indonesia, apa yang dilakukan PT LCI dengan memberikan fasilitas pembiayaan untuk kunjungan studi dan kemudian atas kunjungan tersebut telah menyebabkan pemkab mengeluarkan kebijakan pengurangan pajak dan royalti kepada perusahaan itu adalah jelas-jelas gratifikasi.
“Itu jelas gratifikasi, dan hal itu diatur dalam pasal 12-B ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999, Juncto UU Nomor 20 tahun 2001 tentang UU Tipikor, dan tindakan yang dilakukan perusahaan tersebut yang menyebabkan daerah mengeluarkan kebijakan yang meringankan adalah jelas gratifikasi,” Sebut Akhiruddin.
Bahkan, menurut Akhiruddin, ada motif ekonomi yang terindikasi suap ketika Pemkab Aceh Besar mengeluarkan surat keringanan pajak ini.
“Saya kira ada indikasi suap, namun semua hal itu masih perlu dibuktikan,” tuturnya.
Ditambahkannya, seharusnya Pemkab Aceh Besar memikirkan untuk meningkatkan potensi naiknya pendapatan daerah dari sektor royalti dan pajak pertambangan, dan bukan justru mengurangi potensi pendapatan dengan menyetuji pengurangan pajak.
“Kami akan pelajari kasus ini, dan jika memang ini ada indikasi korupsi, maka kami akan melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” tegasnya.
Terkait dengan hal ini, Bupati Aceh Besar Bukhari Daud ketika dikonfirmasi tentang persoalan ini menjelaskan bahwa studi banding yang dilakukan jajarannya ke Maros dan Cilacap sama sekali tidak ada kaitannya dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati (Perbup) penyesuain harga dasar pajak atas jenis material yang diminta PT LCI.
“Tidak ada hubungannya itu, walaupun pembiayaan kunjungan studi ke kabupaten tersebut, namun pihak PT LCI tidak pernah melakukan upaya intervensi atau sejenisnya, ini murni keinginan kita untuk mengetahui prinsip-prinsip dan aturan yang diterapkan Pemkab di sana terkait pabrik semen yang beroperasi di daerah mereka,” jelasnya.
Menurut Bupati, pihak PT LCI sudah sangat lama mengeluhkan tentang adanya kesenjangan peraturan mengenai ketetapan pajak atas bahan baku tanah liat dan batu kapur.
“Mereka membandingkan kenapa di Maros dan Cilacap jenis produk sejenis besaran pajaknya lebih murah dibandingkan di Aceh Besar, dan mereka mempertanyakan sekaligus meminta kepada kami untuk memberikan pengurangan beban atas pajak bahan baku tersebut,” tuturnya.
Bahkan menurut Bupati, untuk bahan baku jenis kapur (limestone) PT Tonasa hanya membayarkan Rp2.700/ton dan jenis tanah liat (Siltstone) hanya Rp2.800/ton.
“Jadi mereka mengeluh tentang hal itu, bahwa kemudian mereka membiayai kepergian kami untuk studi banding itu dikarenakan kita tidak memiliki anggaran untuk melakukan hal tersebut,” kilahnya.
Selain itu, dasar penyesuaian harga pajak yang ditetapkan oleh Pemkab Aceh Besar adalah bentuk insentif yang diberikan pihaknya kepada PT LCI sebagai akibat kerugian yang ditanggung perusahaan tersebut pascatsunami 2005.
“Kita ingin memberikan kemudahan agar mereka dapat meningkatkan produksinya,” katanya.
Saat ditanyakan bukankah kebijakan Pemkab tersebut berpotensi Aceh Besar kehilangan pajak, Bupati menjelaskan, tidak ada yang dirugikan, ini hanya jalan tengah dan sebagai solusi yang sifatnya win-win solution yang ingin Pemkab terapkan atas PT LCI.
“Tidak ada kehilangan potensi pajak, atas kebijakan yang kami terapkan dalam pengurangan dan penyesuain bahan baku tersebut, semua sudah dikaji dan dipertimbangkan dengan baik dan matang,” tandasnya.[Antara]