Oleh Azman Sulaiman
Komisi Independen Pemilihan (KIP) kembali melakukan tes baca Al-Qur’an di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Selasa (24/1) untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur yang baru mendaftar dari Partai Aceh dan Calon Independen. Tes baca Al-Quran menjadi syarat wajib bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga dalam keadaan apapun kandidat harus mengikuti tes baca Al-Qur’an tersebut.
Penulis teringat kejadian “unik” saat tahapan pelaksanaan tes baca Al-Qur’an dilakukan bulan Desember 2011 lalu. Pertama, seorang bakal calon Bupati Aceh Singkil, menolak tes baca Al-Qur’an, yang dilaksanakan KIP setempat di mesjid Nurul Makmur Pulau Sorak, (Serambi Indonesia, 20/10/ 2011) yang kemudian dinyatakan gugur. Kedua, di Sigli salah seorang bakal calon Bupati melakukan tes baca Al-Qur’an melalui handphone karena yang bersangkutan sedang berada di Arab Saudi menunaikan ibadah haji (Serambi Indonesia, 21/10/2011).
Ketiga, seorang bakal calon Bupati di Takengon meninggalkan Mekkah saat sedang menunaikan ibadah hajinya demi mengutamakan ikut tes baca Al-Qur’an dengan menghabiskan dana lebih kurang 30 Juta untuk kembali ke Aceh Tengah (Serambi Indonesia, 28/10/2011). Dalam tulisan ini penulis tidak membahas tiap kejadian unik tersebut, namun penulis tertarik menguraikan kegiatan tes baca Al-Qur’an dalam konteks komunikasi transendental.
Komunikasi Transendental
Komunikasi transendental adalah komunikasi yang dilakukan manusia dengan Tuhannya, komunikasi ini hampir tidak dibicarakan oleh sebagian besar pakar komunikasi karena dianggap sebagai kajian keagamaan, padahal komunikasi transendental merupakan komunikasi yang sangat penting bagi manusia, karena semua manusia berawal dari ciptaan Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dedy Mulyana, pakar ilmu komunikasi, bahwa bentuk komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan dalam disiplin ilmu komunikasi, tetapi justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia.
Komunikasi transendental terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya komunikasi para nabi dengan Tuhan yang bisa menerima pesan-pesan secara langsung dan pesan itu disampaikan kepada manusia. Pada zaman sekarang salah satu cara manusia melakukan komunikasi transendental adalah dengan membaca lambang-lambang dan simbol-simbol atau sering disebut juga ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al-Quran. Ayat-ayat Allah tersebut umumnya berisikan tentang perintah dan larangan juga kisah-kisah umat terdahulu yang dapat menjadi pengalaman dan petunjuk bagi manusia. Seorang hamba yang baik (khususnya pemimpin) harus memiliki komunikasi yang efektif dan harmonis dengan Tuhannya, dimana dia mampu memahami dan memaknai setiap pesan yang disampaikan Tuhan kepadanya melalui ayat-ayat-Nya, tidak hanya sekedar bisa membaca namun juga harus mampu melaksanakan apa yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang sebagai umpan balik (feed back) terhadap pesan Tuhan.
Komunikasi Transendental Yang Efektif dan Harmonis
Sebagai umat muslim, kemampuan membaca Al-Qur’an dengan baik dapat dijadikan salah satu indikator terjalinnya hubungan komunikasi yang efektif dan harmonis dengan Tuhan. Begitu juga yang tidak bisa baca Al-Qur’an menjadi salah satu indikator tidak terjalinnya hubungan komunikasi yang efektif dan harmonis dengan Tuhan, karena amal ibadah kita bersumber dari Al-Quran seperti ibadah shalat. Pemimpin Aceh minimal harus mampu jadi Imam shalat, oleh karena itu mampu baca Al-Quran mutlak diperlukann terlebih Aceh telah menerapkan Syariat Islam. Bila seorang pemimpin Aceh tidak bisa baca Al-Qur’an, akan sulit membangun komunikasi dengan rakyat Aceh yang notabennya adalah muslim.
Pemimpin yang memiliki komunikasi transendental yang efektif dan harmonis adalah pemimpin yang menjalankan amanahnya dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hari ini betapa sedikitnya pemimpin yang mempunyai karakter seperti itu, yang banyak sekarang adalah pemimpin yang tidak gentle, tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, bahkan terbuktipun kesalahannya di meja pengadilan, tidak juga muncul keberanian untuk melakukan pengakuan atas kesalahan yang dilakukannya, yang ada adalah berlindung dibelakang kalimat “saya ini adalah korban politik”.
Jarang sekali kita dapati pemimpin yang berani mengungkapkan kesalahannya, meminta maaf kepada rakyat atas perbuatannya dan siap bertanggung jawab, itu karena pemimpin sekarang tidak mampu membangun komunikasi transendentalnya. Sosok pemimpin yang gentle dicontohkan oleh Sultan Iskandar Muda yang menghukum cambuk anaknya sendiri dengan tangannya sendiri karena anaknya melanggar hukum, hal itu dilakukan Sultan tak lain karena Sultan memiliki komunikasi transendental yang efektif dan harmonis dengan Allah SWT.
Tes Baca Al-Qur’an Pada Tahapan Pilkada
Tes baca Al-Qur’an yang melibatkan tim penguji independen dari MPU, Depag dan LPTQ dianggap penting. Hanya saja terbatas pada standar penilain kelulusan yang meliputi tajwid 50 %, fasahah 30 % dan adab 20%. Namun aspek penting lainnya yang menyangkut kemampuan calon pemimpin melakukan komunikasi efektif dan harmonis dengan Tuhannya dan rakyatnya tidak teruji. Padahal rakyat Aceh perlu tahu apakah pemimpin yang dipilihnya itu mampu menjadi imam shalat, mampu memahami dan menjalankan perintah Al-Quran, mampu berlaku adil, namun rakyat akan “dipaksakan” untuk menentukan pilihannya.
Semoga semua elemen masyarakat di Aceh dapat berperan mewujudkan terpilihnya pemimpin yang berkualitas yang mampu membina hubungan dengan Tuhannya dan kepada rakyat yang mendambakannya. Masyarakat jangan didik untuk menjadi bagian daripada politik praktis, politik dagang sapi dan istilah lainnya yang dilakukan oleh segelintir politisi yang tidak bertanggung jawab, sehingga akan merusak tatanan demokrasi di Aceh.
Aceh memiliki keunikan tersendiri dalam membangun dan mengembangkan sistem pemerintahannya, banyak keunikan yang dilahirkan oleh pemikir-pemikir Aceh, menjadi acuan pelaksanaan secara nasional. Semoga dengan adanya uji tes baca Al-Qur’an dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berdampak langsung terhadap pembangunan dan kesejahtraan rakyat Aceh nantinya sehingga keunikan ini pun dapat menambah sumbangsih masyarakat Aceh untuk Indonesia. Semoga[*]
Penulis adalah Alumni S2 Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung