‘Penjajah Pikiran’ Bernama Steemit

Diyus

Hegemoni

Penjajah itu bernama Steemit. Ya. Kalian sepakat sajalah… ini cuma soal perspektif. Kalau mau komplain, balas dengan tulisan, supaya dapat upvote… Hahahahahaha…

Status sebagai kuli keyboard telah kusandang sejak Rima sukses mengagitasi dan meng-implant Steemit ke dalam kepalaku. Sebuah kelancangan yang secara sewenang-wenang dilakukannya bermodal perkawanan yang hampir berumur 20 tahun. Tengik ‘kali kan…

Rima adalah pakar agitasi dan propaganda di masanya. Aku tak heran ia mampu mencengkeramkan cakar hegemoninya dalam kepalaku, bahkan saat aku sadar bahwa ia sedang menghegemoniku. Untuk orang dengan standard mental selemah aku, agitasi Rima adalah serangan yang sama mematikan dengan uppercut maupun hook Mike Tyson. “Sengada lawaaannn…!!!” kata saudari dan saudara nun di Timur Nusantara sana.

Mike Tyson vs Larry Holmes

Ya… sejak aku mengetahui Steemit yang bisa menjadi bank tabungan tulisan, aku mulai lebih rajin menulis. Meski target sehari 1 tulisan belum tercapai, setidaknya saat bersama Steemit aku telah memposting tulisan dengan total lebih dari 60 ribu kata. Dahsyat bagiku! Provokasi si Rima berbumbu sebuah tawaran muluk. Tiap user yang berperan sebagai konten kreator akan menerima manfaat berupa uang digital dalam bentuk Steem. Disinilah perkara bermula.

Meski neraka kegersangan ide telah sukses kulampaui setelah berhasil melewati titian-serambut-dibelah-samping, aku masih punya hambatan (jangan khawatir, aku punya banyak alasan untuk menjelaskan kegagalan); aku selalu tak punya kepuasan saat memberikan ilustrasi tulisan dengan gamb, gambar milik orang lain, meski untuk menghindarkan diri dari tindak laknat bernama plagiasi aku telah menyebutkan sumbernya.

Sungguh aku lemah dalam hal yang satu ini, baik itu secara riil maupun virtual. Kemampuan menggambarku sungguh berada di bawah titik nadir. Untuk sekedar mengambil foto di sekitarku dengan objek yang kucocok-cocokkan dengan tulisanpun aku punya kendala; Smartphone yang kupunya adalah pinjaman dari seorang berhati mulia. Tak akan kubocorkan jenis kelaminnya sekalipun, agar imaji kalian bebas membayangkan ia golongan lelaki atau perempuan. Agar tak mesti aku repot menyematkan nama alias Kumbang ataupun Bunga Ia pegawai bank BUMN yang meminjamkan benda bertuah itu, benda yang tengah berstatus pengangguran saat aku mencoba melobinya untuk membelikan aku HP baru. Maksudku, aku akan mencicil padanya tiap bulan. Sebab, untuk berhubungan dengan jasa perusahaan pembiayaan kredit, aku tak punya cukup syarat.

Bayangkan… sampai segitu konyolnya usahaku untuk meningkatkan pamor konten di Steemit. Hahahahahaha…

Padahal belum tentu dengan gambar yang bagus, hasil yang kudapat akan lebih tinggi dari sebelumnya. Alat yang saat ini berada dalam penguasaanku ini telah tak mampu lagi mengambil gambar. Lensa kameranya terlah buram. Namun, perannya dalam mendukung pendapatanku di luar Steemit sungguh luar biasa. Aku masih bisa berhubungan dengan para pembeli kopi dari penjuru Nusantara dengan jasanya. Rasa syukurlah yang membuat aku berpikir, “Maksimalkan saja apa yang engkau punya, usah memaksa diri!”

Maka, dengan tekad setegar mental kaum Sparta, kuarungi Samudra Steemit berlandas semangat ubee na daya. Produktivitas hadir. Nyata. Meningkat. Pesat. Aku terpana dengan daya dobrak obsesif yang berhasil dilakukan Steemit pada diriku. Hingga suatu ketika sebuah pemikiran menyeruak, aku telah menjalani proses kreatif di Steemit dengan sebuah keharusan; setidaknya aku harus punya sebiji postingan tiap hari. Ini sungguh membebani diri.

Selarik hegemoni untuk menulis 1 artikel tiap hari telah tertanam dalam kepala. Untungnya, aku mulai menyadari bahwa yang kulakukan sama halnya dengan rutinitas kerja. Layaknya pekerjaan, Steemit memberiku gaji dengan mekanisme yang dipoles dengan bedak cryptocurrency. Tak apalah… setidaknya sejauh ini aku berpikir tengah berada di jalur yang tepat.

Bandingkan dengan platform facebook yang meutuwah itu, platform mulia tanpa pamrih yang menjadikan pemikiran kita sebagai bank data yang ‘jual-able’ telah menyedot keikhlasanku dalam menulis. Meski tak sebanyak selama aku mengenal Steemit, aku telah menulis di facebook untuk sekedar menggoda pikiran kawan-kawan sesama facebooker. Lantas nasionalisme virtualku di Kekaisaran Facebook kunaturalisasi menjadi kewarganegaravirtualan Republik Demokratik Steemit. Dari kekaisaran yang pasti monarkis dan sentralistik, aku menjadi warga republik demokratis yang desentralistik.

Tak sekedar umbul-umbul di sepanjang jalan menuju lokasi pesta, Steemit mendesentralisasi mekanisme pendapatan para warga dalam kelindan sistem blockchain yang konon belum tertembus teliksandi intelijen manapun. Semudah itu! Ternyata tak butuh alasan muluk berhias linangan airmata untuk meninggalkan 5000 kawan di daftar pertemanan Facebook. Kupikir, sebagian dari mereka juga kutemui di Republik Steemit. Dengar punya dengar, kawan-kawan lama di facebook telah mulai menerabas belukar Steemit untuk membuka lapak menanam bibit-bibit gagasan di penjuru persada baru ini.

Benar saja. Serupa perumpamaan American Dream bagi warga Eropa, demam emas cryptocurrency telah mentahbiskan eksistensi kawan-kawanku yang paling malas menulis sekalipun. Dulu, saat aku memintanya menulis, ia selalu beralasan tulisannya jelek, padahal aku menyuruhnya menulis dengan komputer, bukan dengan pensil atau pena. Suatu saat, mungkin aku akan membongkar sosoknya, sebab mengungkap aib orang di Steemit mungkin saja mendulang upvote, semungkin mendapat hadiah flag… Hehehehehehe…

Tanduk dan kedegilanku semakin bertahta saja di Persada Samudra Steemit ini. Tanah Air Facebook cukuplah kukenang sebagai sekerat manis dan gurihnya keikhlasan saja. Kinilah… disinilah kematrean akan coba kuterapkan secara sembunyi dengan modal kepura-puraan, kemunafikan, keculasan, kelicikan, kebandotan dan kebertopengan 3 wajah milik tiap insan; wajah sejati; wajah tersembunyi dan wajah yang kunampakkan. Biar mereka bingung, bilamana kugunakan wajah sejati? Apakah wajah yang kunampakkan sama dengan wajah yang tersembunyi? Atau aku sedang menyembunyikan wajah sejatiku? Biar pening mereka semua.

Dengan sebuah kerlingan berisi sebongkah kenangan masalalu, kulambaikan tangan pada Facebook. “Mungkin aku akan kembali…” bisikku lirih. Aku sendiri tak yakin dengan bisikan itu. Mungkin bisikan itu selaknat Iblis saat memprovokasi Hawa agar mempengaruhi Adam untuk mencicip segigitan kecil buah Khuldi.

Image Source:

  1. Hegemoni
  2. Mike Tyson vs Larry Holmes

 

Leave a Comment