Banda Aceh-Qanun Pemilukada berpotensi sengketa meskipun pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah menggelar Rapat Paripurna 3 Masa Persidangan II Tahun 2012 DPR Aceh, untuk mendengar pendapat akhir fraksi terhadap Rancangan Qanun Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Hal ini dikatakan lembaga Kata Hati Institute dan ACSTF setelah mengkaji beberapa pasal dalam qanun yang telah disahkan tersebut.
Ayat (3) menyebutkan bahwa bagi warga Negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap dapat menggunakan KTP atau KK dan dapat mendaftar pada hari pemungutan suara dan langsung bisa memberikan suaranya.
“Tentunya hal ini akan menimbulkan kisruh pada hari pemungutan karena sesuai dengan pasal 58 ayat (1) jumlah surat suara pemilihan pasangan calon dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap dan ditambah 2,5% dari jumlah pemilih,” ungkap aktivis Kata Hati Institute, Raihal Fajri di dampingi Alja Yusnadi dari ACSTF, Jumat (24/2).
Jelasnya, pasal ini akan membuka peluang bagi kandidat untuk melakukan mobilisasi massa dalam jumlah besar dan akan menyebabkan surat suara yang menjadi cadangan itupun tidak akan cukup.
“Dan ini akan menjadi potensi sengketa proses dan hasil pemilukada nantinya,” lanjutnya.
Katanya, hal yang paling meresahkan adalah potensi sengketa daftar pemilih akan besar dan akan menguntungkan salah satu kandidat yang mampu melakukan mobilisasi. Selanjutnya, jelas Raihal, dalam pasal 13 disebutkan bahwa Pemilih yang telah terdaftar dan memenuhi syarat sesuai dengan pasal 11 ayat (3) akan diberi tanda bukti pendaftaran. Jika pasal 10 menjadi acuan, maka metode pemberiaan tanda bukti pendaftaran perlu dipertanyakan ulang sehingga tidak menimbulkan kebingungan di tingkat pemilih.
“Jika kita merujuk pada pasal 15 metode pendaftaran sudah dirincikan dengan baik sehingga setiap warga Negara bisa memastikan haknya. Dan juga pasal 9 point (a) dengan tegas menjelaskan bahwa salah satu tahapan penyelenggaraan pemilihan adalah pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih adalah point pertama yang mesti diperhatikan agar tidak ada sengketa dikemudian hari namun lagi-lagi pasal 10 di Qanun yang sama membuka peluang sengketa dan serta merta aturan dalam pasal 9 tersebut diabaikan,” papar Alja menambahkan pernyataan Raihal.
Lebih lanjut, mereka mengatakan, selain potensi sengketa seputar daftar pemilih, Qanun pemilukada tersebut juga membuat aturan berbeda dengan UU 22 Tahun 2007. yaitu proses pemungutan suara menggunakan metode coblos. Namun, dalam Qanun Pemilukada pasal 65 menyebutkan, mekanisme pemungutan suara akan dilakukan dengan proses contreng.
“Tentunya hal ini memerlukan sosialisasi yang masif agar tidak membingungkan dan berpotensi banyak surat suara rusak.”
Hal ini menunjukkan bahwa Qanun Pemilukada bertentangan dengan UU Penyelenggaraan pemilu. Dan potensi sengketa pilkada berikutan akibat masa sosialisasi yang singkat juga akan memungkinkan terjadi.
Ada beberapa hal lainnya yang membutuhkan indikator jelas untuk mengukur beberapa point yang disebutkan dalam pasal 22 point (c) yang menyebutkan bahwa calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota selain beragama Islam, juga taat menjalankan Syariat Islam dan mampu menjalankan butir-butir yang ada dalam MoU Helsinki.
“Apakah jika calon yang tidak bisa memenuhi kedua unsur ini akan serta merta gugur?” tanya Raihal mengakhiri.[rel]