Ada banyak cara menghibur diri atau menjaga agar pikiran tetap waras dan tidak stres. Aku biasanya menonton stand-up comedy, menonton film comedy, membaca cerita humor atau selemah-lemahnya ‘cara’ mendengar musik. Kata orang, cerita humor bisa merelaksasi otak. Orang yang banyak tertawa (dalam batas wajar) jarang terkena stres.
Aku tak banyak mengoleksi cerita humor, tapi aku cukup sering mendengar cerita humor dari teman. Cerita-cerita ini kadangkala muncul seketika saat pikiranku sedang kusut atau ketika membaca sesuatu, lalu terlintaslah cerita humor yang pernah diceritakan oleh teman begitu saja. Biasanya, aku akan tersenyum-senyum sendiri seperti baru saja mendapat hadiah. Hal yang sama juga aku alami tiap kali menonton video stand-up comedy di Youtube, dan itu sangat menghibur. Anda tidak perlu harus memiliki banyak uang untuk menikmati hiburan gratis.
Oh ya, kutipan kata-kata lucu dari Canva juga menghibur. Kalian bahkan bisa memodifikasi sesuai kebutuhan.
Sewaktu masih tinggal di Jakarta, aku dikasih sebuah buku berisi cerita-cerita humor para jurnalis yang meliput di Aceh. Judulnya, Geer Aceh Merdeka (2003) karya Tri Agus S Siswowiharjo. Boleh dibilang buku ini semacam buku mati ketawa cara Aceh. Buku berukuran kecil ini berisi 200 cerita humor, baik yang berasal dari masyarakat Aceh atau berasal dari wartawan yang meliput di Aceh. Bolehlah untuk sekadar menghibur diri. Dari 200 humor yang dihimpun dalam buku terbitan Garba Budaya itu, ada yang berasal dari kisah nyata dan ada pula hanya humor murni.
Salah satu cerita humor yang paling aku ingat adalah dialog antara orang Aceh dengan orang dari Maluku (kalau tidak salah). Keduanya baru saja tiba dari daerah masing-masing, dan belum begitu hafal nama daerah di Jakarta. Mereka secara kebetulan punya janji bertemu dengan teman mereka di kawasan Tanah Abang, salah satu pasar grosir terbesar di Asia Tenggara (katanya sih begitu).
“Apakah ini Tanah Abang?” tanya pemuda dari Maluku kepada polem dari Aceh. Usia mereka boleh dibilang sebaya. Si Pemuda Aceh ini jelas terkejut. Soalnya dia juga baru datang dari Aceh, dan sama sekali belum sanggup beli tanah di Jakarta.
“Bukan, ini bukan tanah abang,” jawab pemuda Aceh. “Saya juga baru datang dari Aceh dan belum sanggup membeli tanah di Jakarta. Tanah di sini harganya mahal-mahal,” sambungnya.
Di Aceh, kata ‘Abang’ adalah sapaan untuk orang yang lebih tua dari kita. Memanggil seseorang dengan sebutan ‘abang’ dimaksudkan untuk menghormati. Kata ‘abang’ di Aceh serupa dengan sebutan ‘bli’ di Bali, ‘uda’ di Padang atau ‘mas’ di Jawa. Si pemuda Aceh itu mengira kata ‘Abang’ dari Tanah Abang berarti tanah miliknya. Padahal yang dimaksud oleh si orang Maluku adalah nama daerah di Jakarta, Tanah Abang.
Orang Aceh memang sering bermasalah dalam hal bahasa ketika berhadapan dengan orang dari luar Aceh. Malah, saat konflik, masalah bahasa ini kerap mengundang celaka. Misalnya, cerita soal kasus pembakaran sebuah ban bekas di pedalaman Aceh. Ketika datang tentara dari Koramil dan menanyakan, “siapa yang bakar di sini,” maka kontan dijawab “saya, pak” oleh orang bernama Abubakar dan di kampung dia dipanggil Bakar saja. (orang Aceh paling jago menyingkat nama). Tak pelak, si Abukabar itu pun menjadi bulan-bulanan aparat. Padahal, si tentara itu bukan menanyakan nama orang melainkan siapa yang melakukan pembakaran.
Hal yang sama juga kerap dialami oleh anggota jaga malam. Saat Aceh dibalut konflik, di tiap desa diwajibkan kegiatan sistem keamanan lingkungan (siskamling) atau lebih dikenal dengan jaga malam. Biasanya jumlah anggota regu jaga malam setiap malamnya adalah 7 orang. Aparat keamanan dari kecamatan kerap melakukan patroli ke kampung-kampung di malam hari untuk mencari anggota GAM. Mereka biasanya akan mendatangi pos jaga. Lalu, terjadilah sebuah percakapan yang konyol.
“Berapa jumlah anggota jaga malam di pos ini,” tanya seorang tentara yang di-BKO-kan di Koramil setempat.
“Tidak kubilang, pak!” jawab ketua regu jaga.
Maka, ‘plak!’ satu tamparan keras mendarat di wajah sang ketua regu jaga. Kekerasan yang menimpa sang ketua regu jaga murni karena masalah komunikasi dan kendala bahasa. Si tentara sebenarnya menanyakan berapa anggota jaga malam, yang sebenarnya bisa langsung dijawab, ‘6 orang’ karena salah satu anggota jaga sakit. Karena sedang panik, sang ketua regu tak mampu menjawab lancar. Dia mengatakan ‘tidak kubilang’ dengan maksud bahwa dia belum menghitungnya. Hitung dalam bahasa Aceh adalah ‘bilueng’ dan karena tak mau ribet langsung menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘bilang’. “Tidak kubilang” maksud sebenarnya adalah ‘tidak saya hitung.’
Terakhir, cerita soal kendala bahasa aku dengar dari Mustafa A Glanggang, mantan Bupati Bireuen. Bagiku, Pak Mus, begitu biasanya aku sapa beliau memiliki koleksi humor atau cerita konyol yang lumayan banyak. Suatu hari, saat kami sedang menikmati juice di Rex Peunayong, dia menceritakan kisah seorang atlit lempar lembing dari Bireuen yang seperti orang Aceh lainnya tidak lancar berbahasa Indonesia.
Suatu hari, cerita Pak Mus, si atlit ini yang disapa Dek Lot (karena anak paling bungsu) dipanggil untuk mengikuti TC PON di luar daerah (Medan). Dia dipersiapkan untuk memperkuat Aceh dalam pesta olahraga nasional itu. Namun, selagi mengikuti TC, dia mengeluh sakit di perutnya. Sakit yang dideritanya sejenis masuk angin atau perut busung. Perutnya mengalami nyeri yang tidak biasa. Biasanya, kalau penyakit ini kambuh, Dek Lot cuma diobati dengan obat kampung berupa on lawah (atau pucuk daun jarak).
Karena sedang TC, petugas kesehatan yang mendampinginya tentu saja tak bisa mencari daun jarak. Lalu, petugas kesehatan, sebut saja namanya Si Pulan, berinisiatif membawa Dek Lot ke rumah sakit umum. Soalnya, dia sendiri tak bisa menanganinya setelah tiga jam lebih Dek Lot mengeluh sakit di perutnya. Maka dibawalah Dek Lot ke rumah sakit umum, untuk ditangani oleh dr Sinaga.
Sebelum ditangani oleh dr Sinaga, petugas kesehatan yang mendampingi Dek Lot sudah menceritakan keluhan sakit yang dialami atlit lempar lembing itu kepada perawat. Petugas kesehatan itulah juru bicara Dek Lot selama berada di rumah sakit. Dek Lot punya kendala dalam berbahasa Indonesia, dan hanya paham saja jika ada orang yang berbicara.
Sialnya, ketika dr Sinaga datang memeriksa, petugas kesehatan yang mendampinginya sedang menyeruput kopi di kantin belakang. Sementara si perawat tadi tak ikut mendampingi sang dokter. Mulailah dr Sinaga berbicara dengan pasien.
“Selamat pagi, pak” sapa dokter ramah. Dek Lot hanya mengangguk saja alih-alih mengganti membalas selamat pagi juga. Dia agak canggung tiap ada orang yang mengajaknya bicara dalam bahasa Indonesia. Si dokter melihat sekilas kertas yang berada di tangannya.
“Apa keluhan perut bapak sekarang?” tanya dokter lagi. “Apakah perut bapak merasa perih?”
Dek Lot tak menjawab. Dia diam saja. Kendala bahasa telah membuatnya berjarak dengan sang dokter yang menanganinya. Dalam hati dia berharap petugas kesehatan yang mendampinginya segara datang dan membebaskannya dari situasi gamang seperti itu. Karena tak mendapat jawaban dari Dek Lot, maka dokter Sinaga kembali bertanya, “apa bapak bisa mendengar pertanyaan saya?” Lagi-lagi tak ada jawaban dari Dek Lot.
Dokter lalu mendekat ke ranjang tempat Dek Lot berbaring, dan dengan pengalamannya sebagai dokter dia melakukan apa yang dipelajarinya di kampus atau hal yang sering dilakukan kepada pasien. Dia menekan perut Dek Lot dengan pelan. “Kalau saya tekan begini, apakah bapak merasa sakit?”
Seperti sebelumnya, pertanyaan itu juga tidak mendapat tanggapan. Dokter itu terus saja melakukan tugasnya, dan kembali bertanya pertanyaan serupa. Merasa sudah tak mungkin lagi mengharapkan petugas kesehatan membantunya, maka Dek Lot pun memberitahu keluhan dan penyakit apa yang dideritanya. Karena perutnya terus ditekan, maka Dek Lot pun dengan polosnya menjawab. “Kalau ditekan sakit pak. Sakit Lele,” jawabnya.
Kini, giliran dokter Sinaga yang bingung. Dia berpikir kalau pasiennya baru saja memakan ikan lele dan ada tulang yang tersangkut di perutnya. Karena ragu dengan apa yang didengarnya barusan, sang dokter bertanya lagi, “sakit apa, pak!”
“Sakit Lele, dok!” jawab Dek Lot dengan suara sedikit tinggi. Bisa jadi, Dek Lot sudah tak tahan lagi dengan sakit di perutnya setelah ditekan-tekan. Dokter itu hampir saja menyerah jika saja petugas kesehatan yang mendampingi Dek Lot tidak segera datang. Dia muncul dari balik pintu dan segera bergabung dengan mereka.
Setelah dokter berbicara dengan petugas kesehatan itu, wajah dokter segera berubah. Dia tampak tersenyum dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Barulah dia paham kenapa Dek Lot mengatakan sakit yang dideritanya itu “Sakit Lele”.
Di Aceh, ikan lele itu disebut dengan seungko atau sengko. Sementara sakit yang diderita oleh Dek Lot itu di Aceh dikenal dengan seungkoe. Karena keterbatasan bahasa, maka Dek Lot langsung saja menyebut sakitnya dengan ‘sakit Lele’ karena hanya kata itu yang diketahuinya, terjemahan dari kata seungko. Pernahkah kalian menderita sakit lele?[]