Sosok Pemimpin Qur’ani

Harlan

Oleh Hilal Nasruddin

Sedih rasanya mendengar bacaan beberapa orang kandidat pemimpin dalam uji baca al-Qur’an beberapa pekan lalu. Ada beberapa calon pemimpin yang bacaan al-Qur’annya masih amburadur. Namun demikian, kebijakan dewan penguji tetap meluluskan mereka. Seorang teman di jejaring sosial berujar: “Tes nyan keu rasa kuah mantoeng. Mangat han mangat ta pajoh chiet. Kiban ta peugoet teuma, koen tanyoe tukang tagun.” Maksudnya, uji baca Qur’an hanya sekedar formalitas semata. Bisa tak bisa baca Qur’an, akhirnya lulus semua.

Hilal Nasruddin

Perkataan teman dunia maya saya itu tidak sepenuhnya benar. Nyatanya, ada yang tidak lulus. Bahkan ada pula yang gentar tidak berani hadir untuk sekedar membaca al-Qur’an. Sungguh amat sangat memprihatinkan. Ada yang tertunduk malu dengan suara gemetar ketika membaca al-Qur’an. Padahal dalam momen-momen kampanye suara mereka menunjukkan kegagahannya, tanpa ragu menunjukkan prestasi mereka dan menjanjikan kesejahteraan, pembangunan dan program-program unggulan.

Ada pendapat yang menyatakan, kemampuan mengaji belumlah bisa menjadi patokan seseorang itu bisa memimpin dengan baik. Anggapan itu ada benarnya. Namun, penulis yakin, naluri kita sebagai seorang muslim, pastilah mendambakan seorang pemimpin yang bisa mengaji dengan baik. Seorang pemimpin yang bisa mengaji dengan baik dan lancar, terindikasi sering mengaji. Seorang yang mampu membaca surat pendek dengan baik, setidaknya sering shalat berjama’ah.

Sebagai seorang muslim berdarah Aceh, faktor agama merupakan hal yang masih sangat dibanggakan dibanding daerah lain. Sejak dulu, orang Aceh identik dengan kefasihan bacaan al-Qur’an. Bahkan, konon jika orang Aceh merantau, mereka kerap disuruh menjadi imam shalat di perantauan.

Terlepas dari anggapan di atas, setiap muslim, baik pemimpin ataupun rakyat jelata, harus mampu membaca al-Qur’an dengan baik. Apalah artinya umur panjang, jika sampai tua renta belum bisa mengaji.

Begitu banyak keutamaan membaca al-Qur’an bagi pribadi seorang muslim, apalagi jika ia seorang pemimpin. Mengaji bisa memberi kekuatan batin bagi jiwa dalam memimpin sebuah negara. Mengaji bisa melembutkan hati dalam melihat dan menerawang kondisi bangsa. Bahkan kelak, mengaji bisa memberi cahaya di kubur kita. Rasulullah saw bersabda,”Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah cahaya kegelapan, petunjuk di siang hari, maka bacalah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Baihaqi). “Sesungguhnya orang yang tidak terdapat dalam rongga badannya sesuatu dari al-Qur’an adalah seperti rumah yang roboh.” (Riwayat Tirmidzi)

Bangkai dan Keledai

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulllah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah murka pada tiap-tiap orang yang kasar, sombong, lagi banyak ramainya di dalam pasar. (Mereka) yang seperti bangkai di malam hari (tidak pernah shalat malam dan memperbanyak tidur). Dan seperti keledai di siang hari (ramai-ramai di siang hari). Pintar masalah duniawi dan bodoh masalah akhirat.” (HR Baihaqi).

Jika kita merenungi pengibaratan dalam Hadis ini, maka akan terasa sungguh menohok relung hati kita. Bagaimana tidak, jika saja itu adalah kita yang diibaratkan dengan keledai dan bangkai. Keledai di siang hari, adalah orang yang pontang-panting bekerja atau berhura-hura. Kemudian bangkai di malam hari, adalah orang yang terlelap hingga esok pagi tanpa ibadah sama sekali. Padahal Allah telah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk beribadah. Khalifah Umar bin Khathab adalah contoh yang baik, sesibuk-sibuknya beliau di siang hari mengurus rakyatnya, namun ia masih kuat beribadah di malam hari, bahkan di kegelapan malam ia menyusuri perkampungan demi menyelidiki sendiri nasib rakyatnya.

Di kesempatan lain, Rasulullah saw. pernah mengibaratkan dunia tanpa agama, ibarat bangkai keledai yang sudah busuk. Bahkan lebih busuk dari bangkai keledai itu. Tanpa agama kita hanya makhluk yang membawa kotoran di dalam tubuh kemana pun kita pergi.

Lihat saja, ketika jauh dari nilai qur’ani, betapa banyak aktivis kehilangan idealismenya tatkala menempati  posisi tertentu di dunia politik. Betapa banyak aktivis berguguran ketika memasuki dunia politik yang penuh intrik dan birahi duniawi. Sebut saja contohnya aktivis 98 yang berhasil menggulingkan kekuasaan Suharto. Bukankah kini banyak para aktivis 98 yang menempati posisi strategis di negeri ini? Sejauh mana mereka mampu membawa perubahan negeri ini? Tak banyak. Bahkan sebaliknya, ada yang malah menjadi benalu dan akar masalah untuk negeri ini. Semoga hal serupa tak menimpa mereka yang dulunya berjuang mengembalikan marwah nanggroe indatu ini. Bukankah dalam al-Qur’an juga telah disebutkan sebaik-baik contoh bagi orang yang tidak menjaga ruhaniahnya; awalnya Qarun adalah orang yang ta’at, namun tatkala diberi nikmat, ia lupa menjaga ‘spirit akhirat,’ lalu ia larut dalam ketamakan dan kekufuran. Berpolitik itu berpahala. Namun berhati-hatilah. Karena ia juga bisa menjadi sarangnya dosa. Godaan dalam dunia politik sungguh dahsyat!

Untuk selalu menstabilkan niat dan keikhlasan akan pengabdian kepada rakyat, dan agar terhindar dari bisikan nafsu duniawi untuk merampas hak rakyat, al-Qur’an adalah obat mujarab. Dari Abdullah Ibnu Umar r.a meriwayatkan, “Sesungguhnya hati ini dapat berkarat sebagaimana berkaratnya besi bila terkena air,’’ Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara membersihkannya?” Rasulullah saw bersabda, “Memperbanyak mengingat maut dan membaca Al Quran.” (HR Imam Baihaqi).

Bagi pemimpin kami yang masih kurang lancar bacaannya, tiada kata terlambat, masih banyak waktu untuk belajar. Batas akhir belajar al-Qur’an dan ilmu agama hanya ketika jasad telah tak bernyawa. Rakyat Aceh sangat mendambakan sosok pemimpin yang jujur, adil, amanah, fathanah, dan juga sesekali mampu menjadi imam shalat mereka. Layaknya khulafauurasyidin yang selain menjadi kepala negara, juga menjadi imam shalat bagi rakyatnya.

Pada dasarnya, mengaji itu gampang sekali. Bahkan ada anak kecil umur belasan tahun banyak yang sudah hafal al-Qur’an. Rasanya sebagai seorang muslim, kurang bijak merendahkan diri dalam menanggapi bacaan orang lain; “maklum, beliau itu bisa mengaji dengan bagus, karena beliau itu kan, alumni dari sebuah perguruan tinggi Islam terkemuka.” Sebenarnya, apapun latar belakang akademis dan profesi, seorang muslim harus mampu membaca al-Qur’an dengan baik. Apalagi seorang pemimpin, harus mampu menjaga spiritualitasnya agar tak terjerumus dalam dosa.

Di akhir pembahasan ini saya sedikit ingin menyinggung kembali mengenai program Gemmar yang beberapa bulan lalu dibuka oleh menteri agama. Kita patut mempertanyakan kembali, kemana gaung program Gemmar yang diresmikan oleh menteri agama? Rasanya kita tidak pernah lagi mendengar gaungnya. Apakah perlu ada aliran sesat lagi di Aceh untuk membuat ulama dan umara berkoar-koar kembali, menyeru masyarakat untuk membentengi diri dengan mengaji? Semoga kelak muncul dan terpilih pemimpin Aceh yang mencintai al-Qur’an dan mengamalkan kandungannya, sehingga Aceh menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur…

Hilal Nasruddin adalah mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, Konsentrasi Fiqih Modern. Anggota FLP Aceh.

Leave a Comment