Warga Kulit Hitam di Irak

Harlan

Basra (IPS) – “SEBELUM ditugaskan ke Irak, saya tak pernah berpikir akan bertemu dengan orang-orang yang secara fisik mengingatkan saya pada teman-teman dan keluarga saya di Buffalo,” ujar sersan marinir AS, William Collins, ketika berpatroli di sekitar distrik Zubeir di Basra.

Marinir Amerika itu tiba empat bulan lalu di kota terbesar kedua di Irak itu. Collins mengatakan, tak seorang pun di batalyonnya tahu keberadaan komunitas Afro-Arab di Irak, bukan hanya Afro-Amerika seperti dirinya.

“Jika saya mengenakan pakaian lokal Arab, saya bisa melintasi jalan-jalan di sini dan tak seorang pun menganggap saya orang asing,” kata Collins. Dia menambahkan, dia mungkin merasa lebih aman dengan cara itu ketimbang menggunakan rompi antipeluru dan helm yang kini dia kenakan.

Ada banyak orang kulit hitam di Basra dan terutama di distrik Zubeir –sebuah areal dengan reruntuhan bangunan bertembok lempung, rumah bagi 300 ribu warga. Mayoritas orang kulit hitam di Zubeir menganggap diri sebagai keturunan para budak Afrika yang dibawa ke Teluk sekira setidaknya sejak abad ke-19. Dan beberapa kebiasaan lama tampaknya masih bertahan selama satu milenium.

“Orang Arab masih memanggil kami abd (“budak” dalam bahasa Arab),” kata Amin Tarik, warga Zubeir berusia 46 tahun. “Untungnya, tak ada penyerangan terhadap kami, meski kami tetap menghadapi diskriminasi di hampir setiap aspek kehidupan,” tambahnya, berbicara di halaman rumah lempungnya yang sederhana.

Orang kulit hitam Irak hampir tak berbicara dengan bahasa lain kecuali bahasa Arab, dan mereka Muslim yang taat, sama seperti kebanyakan penduduk di negeri itu. Meski perbudakan telah berakhir pada abad ke-19, warna kulit mereka benar-benar menutup banyak pintu.

Jihad Hail, berusia 25 tahun, tahu benar. “Saya pernah jatuh cinta pada seorang gadis berkulit putih dan bahkan berencana menikahinya apapun rintangannya. Namun akhirnya kami berpisah karena dia tak bisa mengatasi tekanan keluarganya,” kenang pemuda Afro-Arab itu, yang kini sudah memiliki kekasih lain. “Dia berkulit hitam. Saya sudah belajar dari pengalaman.”

Hampir tak mungkin melihat pasangan campuran di jalan-jalan di Basra. Perempuan yang menikah dengan lelaki kulit hitam –tak pernah sebaliknya– harus berjalan di bawah sorotan mata masyarakat asli Irak.

“Saya kenal satu pasangan campuran,” kata Doha Abdulreda, pramuniaga berkulit hitam di pameran perdagangan di Basra, berusia 20 tahun. “Dia akan selalu berlindung di balik niqab-nya (cadar) ketika berjalan di samping suaminya. Keluarganya menyisihkannya, karena itu bukan hal umum di sini.”

Sementara banyak yang menyebut Afro-Arab dengan abd, mereka masih menyebut orang-orang Arab lokal dengan “orang bebas” (free men).

Di antara orang Arab lokal, ada beragam pandangan mengenai diskriminasi. “Orang kulit hitam sudah benar-benar menyatu dengan masyarakat kami,” kata Said Al Mehdi, pria berusia 72 tahun. “Bahkan istri keempat kakek saya berkulit hitam. Saya selalu mencium tangannya dengan penuh ketaatan,” kenangnya; rambutnya tertutup kain hijau untuk menandakan bahwa dia keturunan langsung Nabi Muhammad.

Tak semua orang setuju. “Mereka sudah menghadapi diskriminasi sejak nenek moyang mereka dibawa dari Afrika untuk membangun kanal-kanal dan mengubah rawa-rawa jadi lahan-lahan pertanian untuk menanam kapas dan lain-lain,” kata Saad Salloum, editor Masarat, sebuah majalah yang fokus pada isu-isu minoritas di Irak.

“Tak seperti umat Kristiani, Bahai, atau agama minoritas lainnya, orang kulit hitam Irak tak menuntut karena keyakinan mereka. Di sisi lain, mereka tak mendapat pengakuan sebagai warga minoritas Irak dengan alasan-alasan agama.”

Namun kini mereka menemukan suara politik yang bebricara atas nama mereka. “Kami merayakan kemenangan Obama di jalan-jalan pada 2009, dan itu benar-benar mendorong kami untuk memperjuangkan hak-hak kami,” kata Salah Ruhais Salman, wakil presiden Iraqi Freedom Movement, sebuah partai politik yang didirikan untuk membela hak-hak warga Irak keturunan Afrika.

Menurut Salman, orang kulit hitam Irak dipaksa tetap rendah hati sejak invasi terhadap negeri itu pada 2003. Namun kini mereka meminta pengakuan sebagai bangsa minoritas, yang akan memberi mereka jatah satu kursi di parlemen.

Namun jalan terjal di depan seolah tiada akhir, demikian gambaran yang diberikan aktivis berusia 50 tahun itu.

“Ada sekitar 1,5 juta orang seperti kami di Irak namun tak satu pun yang menduduki posisi di pemerintahan. Bersama tujuh kolega lainnya, saya mencalonkan diri pada pemilu lokal tahun 2009. Meski Basra merupakan rumah bagi komunitas kulit hitam terpenting di Irak, tak satu pun yang terpilih. Dapatkah Anda mempercayainya?” Salman tak ragu bahwa pemungutan suara itu “penuh kecurangan”.

Dalam sebuah kawat yang dibocorkan Wikileaks September lalu, Ramon Negron –kepala kedutaan regional AS di Basra– melaporkan bahwa “komunitas kulit hitam sangat menderita di bawah sistem politik yang berdasarkan patronase di pemerintahan.” Dia menambahkan bahwa “mereka seharusnya dengan mudah mendapatkan cukup suara untuk memenangi minimal satu suara kursi di Dewan Provinsi Basra.”

Banyak warga kulit hitam Irak menjalani hidup dengan menjadi musisi. Sebuah pernikahan di Basra belumlah lengkap tanpa pemukul gendang dari distrik Zubeir.

Relawan Wafa Majid adalah direktur seksi urusan perempuan di pusat pertemuan komunitas. Tempat itu didirikan awal tahun ini dan kini jadi tempat pelatihan komputer dan menjahit, serta membaca dan menulis untuk mengatasi tingkat buta huruf yang tinggi –sekira 90 persen di antara perempuan kulit hitam lokal, menurut LSM lokal itu.

“Tak mudah menjadi orang kulit hitam dan perempuan di Irak. Namun kami tak bisa cuma duduk manis dan menonton suami-suami kami memainkan bongo,” ujar Majid. Di belakang dia, satu kelompok terdiri dari 20 perempuan duduk di depan seperangkat komputer, mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan berat di masa depan. [Karlos Zurutuza]

Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono

*Note: Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik. Dimuat kembali di www.acehcorner.com atas izin Yayasan Pantau.

Leave a Comment