Edi Fadhil masih tergolong muda ketika menggagas program “Cet Langet”, sebuah inisiatif membangun rumah layak huni bagi kaum dhuafa di Aceh. Ide Cet Langet (mengecat langit, terj) tersebut bermula ketika ia menerima kiriman foto yang memperlihatkan sebuah rumah milik dhuafa di Aceh Utara. Foto hasil dari pemetaan etnografi kemiskinan itu menggugah rasa kemanusiaannya. Lalu, ia pun berinisiatif untuk membantu keluarga miskin tersebut, dengan melihat langsung kondisi rumah sekaligus menjumpai penghuninya.
Pria kelahiran Lamraya, Aceh Besar, 16 Juni 1984, itu lalu meminta izin pada sang pemilik untuk mengambil gambar rumahnya. Jepret! Gambar tersebut kemudian dia unggah ke akun profil Facebook miliknya. Sebagai aktivis dan pekerja kemanusiaan, Edi memang kerap memposting aktivitas atau foto kegiatan sosialnya di media sosial. Ia pun berharap bisa menjaring dukungan dari warganet untuk membantu pembangunan rumah dhuafa tersebut.
Fadhil menulis beberapa kalimat keterangan foto layaknya orang bercerita bahwa pemilik rumah tersebut sangat menanti uluran tangan. Tak lupa dia juga menyebutkan estimasi kebutuhan dana untuk membangun sebuah rumah sederhana. Sebagai orang yang sering menggunakan media sosial, ia sadar bahwa unggahannya akan mendatangkan banyak ‘like‘ dan ‘komentar‘. Netizen Indonesia sudah ‘terbukti’ paling cepat soal beginian.
Ia pun menulis aturan main bagi yang ingin menyukai atau berkomentar pada gambar yang diunggahnya itu: siapa saja yang ‘like’ dan ‘berkomentar’ harus bayar! Ia memasang tarif Rp100 ribu untuk like dan komentar. Apa yang terjadi? Rupanya cukup banyak orang yang ingin membantu. Tanggapan mereka rata-rata positif dan warganet tidak peduli soal ‘unggahan berbayar’ ini. Hasilnya, dalam tempo tiga hari saja sudah terkumpul dana Rp7 juta.
Saat tulisan ini ditulis, dia sudah menginisiasi pembangunan 90 unit rumah untuk kaum dhuafa di Aceh, hanya dengan menggalang dana melalui media sosial Facebook. Para donatur terus berdatangan, tidak hanya berasal dari Aceh, tapi juga dari luar Aceh. Untuk menampung dana, Fadhil menggunakan rekening pribadi, dan secara berkala melaporkan jumlah dana yang masuk, daftar penyumbang serta kebutuhan dana per unit rumah. Jika dana yang terkumpul untuk satu rumah melebihi yang diperlukan (anggaran per rumah Rp45 juta), dana sisa tersebut diakumulasikan untuk pembangunan rumah yang lain.
Sampai kini gerakan Cet Langet itu masih eksis membangun rumah dhuafa. Bahkan, gerakan filantropi ala Edi Fadhil merambah ke sektor lain, seperti Gerakan Mari Belajar (GMB) untuk membantu beasisa anak putus sekolah atau terancam tidak ada biaya melanjutkan studi, serta “Super Store” dalam bentuk pemberian modal usaha bagi masyarakat kurang mampu. Bahkan menjelang masuknya bulan ramadan 2020, Edi turut serta menggalang dana membantu warga miskin dalam bentuk pemberian sembako dan daging meugang (tradisi mengonsumsi daging tiap mau masuk bulan puasa).
Mengapa saya memulai tulisan ini dengan cerita tentang Edi Fadhil? Ya, saya langsung teringat nama pendiri Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) ini saat menulis soal zakat dan kebaikan berbagi ini. Saya membayangkan bagaimana dana zakat yang cukup besar itu dikelola seperti cara Edi mengelola program Cet Langet, pasti akan memberi dampak yang jauh lebih besar, serta menunjukkan betapa besar dampak dari kebaikan berbagi.
Soalnya, potensi zakat di Indonesia sangat luar biasa. Suatu ketika, Presiden Joko Widodo menulis di akun Instagram miliknya, @jokowi, bahwa potensi zakat umat Islam di Indonesia mencapai 1,75 persen dari PDB atau berkisar pada angka Rp232 triliun. Meski, jumlah zakat yang terkumpul belum mampu mencapai angka tersebut, tetapi nilainya tetap besar. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyebutkan, sepanjang tahun 2019, zakat yang terkumpul mencapai Rp10 triliun lebih.
Dengan jumlah tersebut kira-kira berapa rumah dhuafa yang bisa dibangun, seberapa banyak anak-anak yang terancam putus sekolah terbantu, dan unit usaha kecil masyarakat kurang mampu yang bisa dihidupkan? Saya tidak cukup menguasai ilmu matematika untuk menghitung program potensial ini. Namun, saya tahu bahwa zakat adalah sumber kekuatan membangun ekonomi umat (zakat power).
Zakat, sebuah konsep dasar
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam, dan karena itu kedudukannya sangatlah penting seperti empat rukun Islam yang lain. Sudah tak terhitung pembahasan zakat yang ditulis para pakar ekonomi Islam, dan sebagian ulasannya bisa dengan mudah kita baca di internet. Dalam tulisan ini, saya hanya merujuk secara sambil lalu saja tentang konsep dasar zakat, yang saya kaitkan dengan zakat sebagai sumber kekuatan (saya menyebutnya: zakat power).
Apa yang menarik dari konsep zakat? Seperti kita tahu, sumber etimologis dari kata-kata yang menyertai zakat adalah sebuah kata kerja. Ini misalnya, tercermin dari kalimat “…dengan mengeluarkan zakat harta menjadi murni dan bersih” atau “menjadi taat dan saleh dengan berzakat“. Tidak hanya itu, dalam zakat juga melekat sifat-sifat yang baik, seperti “zakat berarti memberi atau pemberian yang berdasarkan perintah agama.”
Kita sudah sering diingatkan oleh para ulama bahwa zakat dapat membersihkan dosa dan menyucikan harta. Soalnya, zakat adalah suatu mekanisme untuk mengurangi rasa mementingkan diri sendiri dan menebus dosa mementingkan diri sendiri di masa lampau. Melalui zakat, kita sedang menata perbaikan diri sendiri. Ulama juga mengingatkan bahwa membayar zakat tidak mengurangi harta, dan ini terkait dengan konsep kerja-tumbuh atau bertambah, yang kerap dikaitkan dengan tanda bersyukur: jika bersyukur (membayar zakat) Allah akan menambahkan nikmat. Jadi, dengan membayar zakat akan membawa manusia kepada pertambahan berkah (berkat), baik itu berupa kekayaan materi di dunia atau keuntungan spritual di akhirat.
Terlepas apapun penafsirannya, yang jelas zakat adalah perintah agama dan termasuk tindakan keagamaan. Inilah yang membuatnya berbeda dengan wajib pajak, misalnya. Orang membayar pajak sering mengeluh terkait pertambahan nilai pajak (pajak naik), aturan yang membelit-belit atau sering menganggap membayar pajak hanya menguntungkan pengelola pajak: dikorupsi. Ada sikap penolakan terhadap pajak, sesuatu yang tidak pernah kita temui dalam kewajiban zakat, kecuali pada masa Khalifah Abubakar: ada umat yang menolak membayar zakat dan karenanya diperangi.
Zakat sejatinya adalah untuk membantu orang-orang yang membutuhkan atau kerap disebut sebagai asnaf (Q.S. At-Taubah:60). Dari segi ini, jelas bahwa zakat dimaksudkan sebagai suatu sistem jaminan dan asuransi sosial bagi semua orang yang tidak mempunya hak milik dalam masyarakat Islam. Distribusi dan pemerataan ekonomi dalam Islam menjadi pilar dari penegakan syariat.
Al Quran memang tidak secara terperinci menjelaskan tentang harta benda yang harus dikeluarkan zakatnya. Masalah ini lebih banyak terdapat dalam hadis dan kemudian dirumuskan oleh ahli hukum Islam. Namun, semua sepakat bahwa hanya kekayaan yang terlah mencapai batas minimum tertentu (sampai nisab) dan telah dimiliki selama setahun atau lebih sajalah yang harus dikeluarkan zakatnya. Jadi, ada banyak jenis harta benda yang tidak diharuskan membayar zakat.
Zakat di era digital
Ada hal menarik yang disampaikan Presiden Jokowi terkait zakat. “…potensi pertumbuhan dan penyaluran zakat di negara kita masih sangat besar. Saya berharap, zakat akan terintegrasi secara digital dengan sistem yang lebih baik,” katanya via akun Instagram resmi @jokowi. Dengan sistem ini, Jokowi berharap penerimaan zakat tahun 2019 ini dapat meningkat. Tahun ini, Baznas menargetkan penghimpunan dana zakat Rp10 triliun.
Target tersebut mungkin cukup mudah dicapai ketika sistem pengumpulan zakat beralih dari konvensional menjadi digital, melalui zakat digital atau seperti yang digagas Dompet Dhuafa melalui kegiatan berbagi. Perubahan sistem ini sangat penting untuk menjangkau para milenial, yang menginginkan sebuah kemudahan ketika ingin melakukan transaksi amal. Apalagi, transaksi zakat digital ini lebih menghemat waktu dan zakatnya bisa langsung tersalurkan.
Intervensi negara dalam upaya pengumpulan dan penyaluran zakat menjadi sebuah keniscayaan, seperti langkah yang dilakukan oleh Baznas melalui program Zakat Digital. Berubahnya metode pengumpulan zakat model tradisional ke sistem digital, diyakini akan mendongkrak nilai pengumpulan zakat, infak dan sedekah. Zakat digital seperti yang dikembangkan Baznas atau program donasi dompet dhuafa menjadi saluran yang lebih mudah bagi masyarakat untuk berzakat. Sistem ini juga akan memudahkan distribusi zakat kepada mustahik zakat.
Kehadiran zakat digital membuat proses pembayaran zakat semudah membeli pulsa atau membayar tagihan secara online. Apalagi, kini untuk membayar zakat Anda dapat melakukan melalui layanan e-commerce, Apps dan Social Media. Layanan tersebut memang sangat cocok untuk generasi milenial yang melek teknologi digital. Merek cukup menekan tombol donasi sekarang seperti yang digagas Dompet Dhuafa.
Kita sudah melihat betapa dahsyatnya kebaikan berbagi seperti dilakukan Edi Fadhil melalui media sosial. Jika Edi Fadhil mampu menggalang dana dengan memanfaatkan media sosial Facebook untuk membantu masyarakat kurang mampu, maka dengan adanya program zakat digital negara pasti dapat melakukannya dengan lebih baik. Saya membayangkan, melalui program zakat digital, kita tidak hanya mampu membangun ribuan rumah dhuafa, membantu jutaan anak putus sekolah atau membiayai ratusan ribu unit usaha kecil untuk masyarakat kurang mampu, melainkan berbagai sektor sosial dan ekonomi lainnya mampu digerakkan.
Dengan demikian, mungkin saja orang seperti Edi Fadhil tidak lagi harus melakukan tugas-tugas yang sebenarnya itu menjadi kewajiban negara. []