3 Hal

Lukman Emha

‘Mangat na meurasa tan’. Begitu komentar seorang tifosi Persiraja paska tim kesayangannya melumpuhkan perlawanan Persijap Jepara (2-1) di Stadion Harapan Bangsa Banda Aceh (22/01/).

‘Mangat’ barangkali karena Persiraja menang dan mendulang tripoin. ‘Hana rugo tiket,’ seperti komentar tifosi lainnya di sebelah kanan saya. ‘Meurasa tan’ pasti karena pertandingan itu dikotori korp baju hitam.

Ada dua peristiwa yang membuat pertandingan hari itu hambar. Pertama, hakim garis mengibaskan benderanya sebagai pertanda Safri Umri (Persijap) terperangkap offside pada pertengahan babak kedua. Padahal, eks Persiraja itu onside. Tifosi yang duduk sejajar dengan hakim garis tahu benar soal itu.

Kedua, wasit telat meniup peluit tanda pelanggaran di kotak finalti Persiraja yang dilakukan pemain Persijap beberapa menit menjelang pertandingan berakhir. Seharusnya, wasit meniup peluit langsung setelah terjadi pelanggaran sebelum pemain Persijap mencocor bola ke jala Persiraja. Sebab, posisi wasit saat itu tidak berada jauh dari lokasi insiden.

Andai saja wasit bertindak cepat, pasti tidak akan ada protes dari pihak Persijap karena wasit menganulir gol yang dicetak penyerang asing mereka, Lopez.

Usai pertandingan, mantan pemain dan pelatih Persiraja yang menonton beberapa strip di bawah tempat duduk saya berujar, ‘Persiraja diselamatkan wasit’. Makanya pertandingan hari itu hana meurasa bagi sebagian orang.

Baiklah, ada benarnya. Tetapi itulah hasil sepakbola. Kadangkala sebuah tim bermain ciamik sepanjang pertandingan, tapi hasilnya nihil. Dalam kamus sepakbola, ada kosa kata ‘dewi fortuna’, yang kerap memengaruhi hasil akhir pertandingan.

Nah, barangkali hari itu dewi fortuna sedang memayungi Persiraja untuk mengamankan tiga angka. Dewi fortuna berbelaskasihan pada Persiraja yang sudah kehilangan enam angka di kandangnya. Apalagi dari segi permainan, Persiraja hari itu pantas menang.

Pertanyaan sekarang, bisa nggak Persiraja memuaskan tifosi-nya meski harus bertandang ke Stadion Gajayana Malang, kandang Persema Malang (30/2) sehingga memupus stigma dibela wasit di kandang? Jawabannya, sulit. Tapi, kenapa tidak.

Sulit karena mental pemain Persiraja masih standar saja saat bermain di kandang lawan. Moral bertanding sebuah tim biasanya lebih bagus dengan hadirnya pemain bintang yang disegani lawan dimanapun pertandingan berlangsung. Tapi Persiraja tidak pernah dibentuk dengan kehadiran pemain bintang.

Sulit bukan berarti tidak mungkin. Apalagi jika Persiraja punya kemauan kuat untuk menang. Sekuat kemauan yang pernah dimiliki Napoleon Bonaparte untuk menguasai daratan Eropa. Raja Perancis yang kesohor itu tidak memiliki kosa kata ‘tidak mungkin’ dalam kamus kehidupannya.

Selain kemauan kuat para pemain, strategi tepat dari pelatih untuk meladeni kebintangan tim Persema Malang amat menentukan. Formasi 4-5-1 layak kembali dipraktikkan di hadapan tifosi tuan rumah.

Dengan formasi ini, Persiraja dapat mengakomodir tiga gelandang terbaiknya sekaligus, Erik, Djibril, dan Ghigani, untuk menemani dua sayap Musawir dan Defri/mukhlis. Bukan mustahil target mencuri poin yang dipancang Herry Kiswanto bisa terkabul.

Jika coach Herkis kembali ke formasi kegemarannya, 4-4-2, salah satu di antara Erik, Djibril, dan Ghigani harus dikorbankan. Empat gelandang tidak cukup untuk memenangi pertarungan di sektor tengah. Target mencuri poin bisa runyam.

Untuk mencuri poin, setidaknya Persiraja harus punya tiga hal, kemauan keras pemain, strategi pelatih, dan satu lagi dewi fortuna.