Satu kejadian yang sedikit meu-lempap (kata ini aku pinjam dari @jeulamei) terjadi di Aceh. Soal ini aku tahu dari status teman-teman di sosial media dan grup chatting WhatsApp, yaitu pencabutan sebuah opini di sebuah koran lokal dan kemudian penulisnya harus meminta maaf secara terbuka [baca saja tulisan dari @tinmiswary). Awalnya kasus itu sempat heboh, namun kemudian tertutupi oleh kejadian meulempap lainnya, ketika KPK membuat malu Aceh dengan menangkap Gubernur yang sangat dicintai rakyatnya (?).
Dan, sejauh yang kita tahu sebenarnya Aceh adalah salah satu wilayah produsen kejadian paling meulempap di atas rhueng donja. Sampai-sampai kolonialis Belanda mengakuinya dengan pasrah, dan karena rasa malu luar biasa akibat kalah perang di Aceh, Belanda memberi lakab kepada penghuni ujung pulau Sumatera itu dengan istilah Aceh Moorden, yang kemudian diterjemahkan secara serampangan menjadi Aceh Pungo. Lalu, ketika kejadian meulempap terus terjadi, kita hanya bisa mengurut dada, dan cuma bisa mengatakan, “awak geutanyoe cit ka meunan droe!”
Aku sadar banyak orang merasa kurang nyaman (dan cenderung tidak suka) dengan lakab yang diberikan oleh Belanda itu. Seolah-olah Aceh Pungo adalah sebuah julukan yang dimaksudkan untuk merendahkan. Padahal tidak demikian adanya, dan ini setidaknya aku rasakan sendiri ketika suatu kali bertemu dengan para veteran perang Belanda yang menjadi tukang sapu, tukang potong rumput dan tukang bersih-bersih di Museum Brobeek. Mereka semua seperti kena strom ketika kami berkunjung ke museum perang itu, dan menyebut daerah asal kami. “Aceh Strong!” kata mereka seketika, dan segera memperlihatkan oleh-oleh yang mereka dapatkan dari para pejuang Aceh, berupa bekas luka atau bekas tembak.
Kalian tahu, Aceh Pungo adalah bentuk pengakuan yang tidak ikhlas dari penjajah Belanda untuk para pejuang Aceh dan keturunannya. Mereka itu sudah melihat dan merasakan keberanian luar biasa yang ditunjukkan para pejuang Aceh di medan perang. Model keberanian orang Aceh tak pernah mereka saksikan dan temui, termasuk dari orang Spanyol yang menjajah mereka. Dan, mereka pun tak pernah menyebut mesin perang Nazi yang pernah melumat negeri mereka dengan istilah Germany Moorden. Tidak. Keberanian mereka tak ada apa-apanya dibanding keberanian yang ditunjukkan oleh orang Aceh. Bentuk keberanian seperti diperlihatkan orang Aceh tidak mereka temui dalam kamus mereka.
Ah, maafkan aku sudah meracau ke mana-mana. Padahal, bukan soal itu yang aku paparkan melalui tulisan singkat ini. Jadi, mari kembali fokus saja pada tema tulisan ini. Yaitu, soal pencabutan sebuah opini di koran lokal, yang alasannya bagiku terkesan dibuat-buat. Lazimnya sebuah opini di media, itu hanya mewakili pendapat dari si penulis saja. Jika pun apa yang ditulis oleh si penulis itu kemudian berkesesuaian dengan kehendak publik maka itu hanya faktor kebetulan belaka, setidaknya begitulah yang diakui oleh penulis independen seperti Ignas Kleden. Memang, ada penulis yang mencoba menyesuaikan opininya dengan keinginan publik untuk mendapatkan applaus. Model begini aku pikir hanya dilakukan oleh penulis pesanan atau oleh penulis yang mencari posisi aman ketika beropini.
Namanya saja opini, berarti tidak harus mengikuti arus pendapat umum. Siapa pun boleh beropini, boleh berpendapat, selama pendapat itu didukung oleh basis data dan argumentasi yang dapat dipertanggung-jawabkan. Tidak menjadi soal kalau opini itu berbeda dengan pendapat umum. “Rambut sama hitam, pikiran pasti berbeda!” Begitu kira-kira yang kerap kita dengar dan sudah cukup klise dikutip.
Beda pendapat sejauh ini tidak pernah menjadi masalah, tapi beda pendapatan kerap memunculkan masalah. Nah, ketika opini seseorang itu dipandang tidak sesuai, maka sebaliknya opini itu dibalas dengan opini. Biarlah argumentasi yang bertanding, dan soal siapa yang benar dan salah, itu biasanya berpulang pada pendapat siapakah yang lebih masuk akal atau opini siapa yang tingkat kebenarannya relatif lebih baik dari opini lain.
Kita memang perlu membiasakan praktik ‘membalas opini dengan opini’, ‘membantah sebuah tulisan dengan tulisan’, dan ‘membantah sebuah buku dengan buku’. Jauhkan praktik main hakim sendiri serta tindakan barbar. Sebuah buku yang dipandang bermasalah sebaiknya tidak dibakar melainkan dibalas dengan buku lain. Itu jauh lebih mendidik. Sebab, tak ada kebenaran mutlak.
Semua kita mungkin saja hanya mendekati satu titik kebenaran dari ribuan titik kebenaran lain. Melawan sebuah tulisan dengan tulisan justru bisa mendidik masyarakat untuk berpikir terbuka, bahwa ada banyak versi kebenaran. Jangan sedikit-sedikit bilang kafir, murtadz, mengaburkan fakta dan sebagainya. Namun, tunjukkan di mana letak kesalahan nalar mereka. Beri argumentasi yang lebih masuk akal. Orang bisa memilah-memilih pendapat siapa yang lebih mendekati benar!
Akhirnya, aku ingin masuk pada niat awal kenapa tulisan ini ditulis. Dalam sebuah media, bukan hanya opini dari penulis luar saja yang bisa disanggah. Bahkan, sebuah editorial, yaitu sebuah tulisan mencerminkan pendapat media bersangkutan pun bisa dikritik dan dibuat sanggahan.
Di media-media luar, selain ada rubrik opini dan editorial, juga terdapat sebuah kolom, biasanya disingkat dengan Op-Ed. Tulisan Op-Ed adalah kepanjangan dari opposite the editorial (bantahan editorial), yaitu sebuah tulisan tentang suatu topik dan dimaksudkan untuk menyanggah editorial dari media bersangkutan yang menulis topik tersebut.
Jadi, kalau editorial sebuah media saja punya kesempatan untuk kita sanggah, apalagi sebuah opini yang ditulis oleh penulis luar! Namun, jangan coba-coba membantah editorial sebuah media di tempat kita, salah-salah tulisan kalian tidak pernah dimuat lagi di media tersebut![]