Melindungi Pagar

Diyus

Aku sering bingung memikirkan rumah-rumah berpagar tinggi. Terutama yang berada di bagian tikungan atau persimpangan jalan. Ia melindungi pemiliknya, tetapi menghalang pandang para pengendara. Sebanyak apa ‘milik’ yang mesti dilindunginya sehingga sebegitu tinggi pagar membentengi rumah dari mara? Sebab aku tak memilih memindahkan pagar di tikungan atau persimpangan, kucoba selalu menurunkan laju kendaraan saat berhadapan dengan ulah pagar yang menghalang pandang di selengkung tikungan.

Begitulah. Tak peduli seberapa bingungnya aku, pagar-pagar milik yang melindungi harta, rumah dan anak; entah dari maling, laju kendaraan maupun ancaman hewan liar, pagar tetap berdiri melindung isi. Sementara aku sudah merasa sia-sia mengalamatkan kesal saat lebih memilih menurunkan laju kendara ketimbang menggesernya.

Tentu saja aku tak berkepentingan untuk mengintip isi halaman. Komplainku ini cuma bakal sampai di bilik Steemit saja. Semacam keluh yang lacur oleh sesuatu yang nyaris mustahil kuubah. Lantas meluncurlah jemari meniti kata, bersama benak yang rasanya tetap tak bisa terima. Apa mau dikata, suara awak cuma sebatas batuk bagi regulasi yang lebih berpihak pada kaum berada. Kaum beruang (bukan nama binatang).

Rasa melindungi yang terlalu tinggi ternyata telah menjadikan mereka abai pada hak orang lain yang menjadi batas haknya. Abai yang bersebab daya-kuasa berada di tangan, mungkin juga segala komplain khalayak akan tuntas tak berdaya dengan satu deheman atau satu panggilan telepon. Begini model cara mereka melindungi harta, juga upaya mereka melindungi bangunan yang melindungi bangunan yang melindungi harta dan perabotannya.

Bagaimana membagi paham soal hak orang lain yang menjadi batas hak setiap kita. Hak. Sesuatu yang membatasi diri untuk saling tak melanggar, agar tak saling melanggar. Hak. Sesuatu yang menjadi landasan penyusunan aturan hukum. Hak. Sebentuk titipan wewenang yang kita terima dari Kuasa Ilahi untuk tak membenturkannya pada titipan Kuasa Ilahi di diri orang lain. Hak. Sesuatu yang kerap menyandang salah-guna ketika pemiliknya mendapati diri lebih dari orang lain.

‘Milik’-pun menjadi konsepsi yang melandasi pembentukan naluri perlindungan dan hasrat melindungi. Keberadaannya bagi tiap diri kerap menambah sekat batas dengan diri lain. Pertumbuhan jumlah dan mutu milik dalam diri seseorang akan mempertebal dan mempertinggi prasangka. Sebab segala yang mewujud dan bernama benda sesungguhnya dapat hilang meninggalkan empunya. Takut kehilangan telah menjadi padanan kepemilikan yang menjauhkan diri dari sesama dan sekitar. Hingga ia mengganggap perlindungan atas miliknya jauh lebih penting dari keselamatan orang lain.

Pertumbuhan prasangka juga menempatkan kegelisahan sebagai karib. Mata akan semakin nyalang seiring bertambahnya milik. Beragam model pagar, dinding dan kunci hadir untuk menimbulkan rasa aman atas kepastian ketetapberadaan milik dalam daftar harta. Sungguh ironis membiarkan milik menjadi penjara dengan membangun pagar pembatas pandang melampau batas. Seolah takut rumah yang ia tempati akan lari entah kemana meninggalkannya.

Lalu, bersahabatlah ia dengan gelisah. Karib. Sungguh tiada yang paling karib berkawan dengan gelisah selain insan yang punya daftar milik paling banyak. Ketenangan tidur tak lagi menjadi jalan mengurai lelah. Lenanya tidur menjadi barang mahal ketika ‘takut kehilangan’ menghantui. Degub jantung, hela napas, jernih pandang dan tenang pikir tampak menjauh, berlari menghindar ketika ‘milik’ telah terpagar dari kesadaran di antara sesama.

Mungkin semakin banyak yang kita miliki, semakin besar juga rasa takut kehilangan yang mewujud pada semakin tingginya pagar rumah, di tikungan pula. Mungkin saja, aku bisa bilang begini karena belum pernah mengalami kaya. Tapi, apakah mereka berani miskin sejenak saja untuk mencoba merasakan apa yang kualami?

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4

Leave a Comment