Lakab sebagai pemula memang tidak pernah enak didengar. Namun, suka atau tidak suka, lakab itu harus kita sandang ketika memulai sesuatu, termasuk dalam dunia tulis-menulis. Bahkan di Steemit pun, saat pertama kali mendaftar akun, kita pun akan mendapatkan reputasi 25 atau pemula. Begitu juga dalam merintis karir sebagai penulis, maka kita pun harus bersedia disebut penulis pemula. Tidak ada yang salah dengan sebutan ini.
Banyak penulis hebat yang karya-karyanya kita baca hampir semuanya merangkak dari bawah, menjajakan tulisan ke mana-mana, dan jatuh-bangun membangun reputasi sebagai penulis. Awalnya, banyak dari mereka gagal memasarkan tulisan setelah penolakan demi penolakan mereka terima. Apakah mereka menyerah? Tidak! Sebab, mereka tahu, menyerah sama saja dengan bunuh diri. Menyerah berarti upaya merintis karir sebagai penulis akan gagal dengan sendirinya.
Dan Brown, penulis buku laris Da Vinci Code, misalnya, pernah beberapa kali gagal mencari penerbit yang mau menerbitkan bukunya. Bahkan sejumlah penerbit menolak karyanya, termasuk novelnya yang menjadi best-seller itu. Pengalaman JK Rowling juga tidak jauh berbeda. Naskah Harry Potter, novel fantasi yang terkenal itu ditolak beberapa kali oleh penerbit. Penulis wanita asal Inggris ini tidak pernah menyerah, dan terus saja mencari penerbit yang mau menerbitkan karyanya. Apa yang terjadi? Mereka sukses menjadi penulis terkenal, saudara-saudara!
Kita tentu sudah banyak mendengar perjuangan para penulis saat mengirimkan tulisannya ke media. Berkali-kali mengirimkan tulisan ke media, tidak juga diterima alias ditolak dan masuk tong sampah. Ini sebuah proses yang wajar. Penulis berlabel pemula kerap mengalami hal ini. Bahkan, saya pernah membaca, seorang mantan pemimpin redaksi sebuah koran di Yogyakarta, pernah mengirimkan tulisan sebanyak puluhan kali ke media nasional, dan semua kirimannya masuk tong sampah. Karena penasaran, dia terus saja mengirimkan tulisan sekali pun berulang-kali ditolak. Alhasil, pada kiriman ke-51 tulisannya kemudian dimuat di rubrik opini yang sampai kini masih menjadi rubrik bergengsi di media itu.
Ada teman saya mengaku, pernah mengirimkan 30 tulisan ke koran Kompas, dan semuanya ditolak dengan alasan bermacam-macam: tulisannya kering, tidak punya tempat, pembahasan sumir, dan tulisannya terlalu lokal. Dia begitu senang ketika pada kiriman ke-31, tulisannya untuk pertama kali nongol di halaman opini koran nasional itu. Pengalaman saya sendiri tidak kalah dramatisnya. Lebih kurang 50 puluh artikel saya kirim ke Kompas, dan tidak ada yang dimuat. Setelah bertahun-tahun berlalu, kira-kira pada kiriman yang ke-50 lebih baru dimuat, dan itu menjadi satu-satunya tulisan saya yang dimuat di koran itu.
Pun begitu, bukan berarti tidak ada penulis yang sekali kirim langsung dimuat. Pasti ada yang mendapat kehormatan seperti itu. Biasanya ini terjadi pada orang yang lebih dulu memiliki brand atau lebih dulu dikenal sebagai pakar dalam satu bidang. Orang seperti ini biasanya ditawarkan untuk menulis oleh suatu media karena melihat kepakarannya.
Mohammad Sobary, misalnya, yang dikenal sebagai seorang budayawan. Suatu ketika di penghujung tahun 1989, dirinya mendapat tawaran untuk mengisi kolom di sebuah majalah terkenal di tanah air, TEMPO. Apa yang terjadi? Sosok yang disapa Kang Sobary tidak dapat tidur nyenyak memikirkan soal tawaran itu, dan dia seperti orang yang baru jatuh cinta. Menurut cerita, selama dua bulan dia galau dan gelisah, dan tidak tahu tema apa yang ingin ditulisnya. Alhasil, jadilah tulisan “Saya Cuma Kamino”, sebuah esai yang mengulas soal PKI di Bantul, Yogyakarta.
Kehormatan seperti Kang Sobary rupanya lebih dulu dinikmati oleh Soe Hok Djin atau yang lebih dikenal dengan Arief Budiman, abang dari Soe Hok Gie, aktivis yang ikut menumbangkan Orde Lama. Tahun 1961 atau menjelang terbitnya Majalah Intisari, PK Ojong dan Jacob Oetama menyambangi rumah Arief Budiman, dan mereka menawarkan kepada Arief agar bersedia mengisi kolom di majalah yang akan terbit itu. Soalnya, mereka ingin agar majalah itu lebih banyak berisi tulisan-tuilsan dari penulis dari Indonesia, bukannya karya terjemahan dari penulis luar. Maka, jadilah tulisan ‘Beberapa Hari di Ubud: Tjatatan perdjalanan dari Bali’, dan dimuat dalam Intisari edisi perdana yang terbit tanpa cover.
Kita tentu saja bukan Mohammad Sobary, Arief Budiman atau pun Gus Dur yang juga mendapat kehormatan serupa. Pun begitu, kita mungkin saja dapat mengikuti jejak mereka, menjadi penulis yang diminta menulis di sebuah media. Yang perlu kita lakukan hanya banyak membaca dan terus mengasah kemampuan. Jangan pernah berhenti mencoba. Menjadi seorang penulis sukses itu butuh kerja keras. Kesuksesan tidak akan datang dengan mengetuk pintu rumah kita. Ia harus diperjuangkan!
Image source: pixabay.com