MINGGU (18/05/2003) malam, Falevi dan beberapa teman masih bergadang hingga larut malam di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) IAIN Ar Raniry. Sementara Muhammad MTA yang biasanya juga menginap di UKM sudah beberapa hari tidak muncul ke kampus. Suasana Aceh ketika itu mulai memanas, dan nasib Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) tak dapat diprediksi, sementara mesin perang Jakarta mulai bersiap-siap menggempur Aceh.
Tokyo Meeting pada 17-18 Mei 2003, yang di antaranya difasilitasi Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Bank Dunia, gagal. Petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara terang-terangan sudah menyatakan memboikot pertemuan tersebut, sementara Pemerintah Indonesia tetap mengirimkan utusannya, sekali pun pihak GAM tidak bersedia hadir.
GAM jelas gusar dan kecewa. Sebelum pertemuan, Indonesia sudah secara tegas menyatakan tidak akan menoleransi permintaan GAM untuk merdeka. NKRI sudah final. GAM harus meletakkan senjata dan menerima otonomi khusus. Perwakilan GAM merasa, pertemuan Tokyo hanya untuk melegalkan keputusan Indonesia menerapkan Darurat Militer di Aceh.
Selain itu, tindakan aparat keamanan Indonesia menangkap lima juru runding GAM yang hendak berangkat ke Tokyo: Teuku Kamaruzzaman, Amni Ahmad Marzuki, Sofyan Ibrahim Tiba, Nashiruddin bin Ahmad, dan Teungku Usman Lampoh Awe, dianggap sebagai sikap yang tidak bersahabat dan tak serius berunding. GAM meminta agar tim runding mereka itu dibebaskan, baru mereka bersedia berdialog.
Falevi tampak tidak tenang malam itu. Sebentar-sebentar ia masuk ke ruangan kantor UKM SALAM memantau informasi atau menelepon untuk mengetahui bagaimana hasil perundingan Tokyo. Nasib CoHA sangat tergantung pada pertemuan di ibukota Jepang itu. Falevi sudah mendengar kabar bahwa Indonesia akan mengumumkan keputusan penting terkait Aceh, tepat tengah malam. Dan benar saja, tepat pukul 00.00 WIB, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengumumkan pemberlakuan Darurat Militer di seluruh Aceh.
Esoknya, penghuni PKM heboh bukan main. Di atas langit Cot Keu-eng, Krueng Raya dan Montasik, Aceh Besar, pasukan terjun payung TNI seperti kawanan burung yang sedang mencari mangsa. Pesawat tempur dan helikopter meraung-raung di langit Aceh pagi itu.
“Mubarak, ka jadeh prang!” kata Falevi, aktivis UKM Salam. Kami memantau pergerakan pasukan payung tersebut dari lantai dua PKM. Para aktivis UKM lain di lantai satu sudah banyak yang berada di halaman depan dan belakang PKM melihat pemandangan “langka” tersebut. Aceh sudah benar-benar menjadi arena perang.
Militer tak hanya memburu GAM. Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) dalam sebuah pernyataan di media mengatakan bahwa sasaran operasi militer tak hanya ditujukan melumpuhkan GAM, melainkan juga SIRA, SMUR dan Kontras. Falevi dan sejumlah aktivis lain memilih bertahan di kampus. Menurutnya, meski sering disatroni dan dipantau aparat, kampus lebih aman sebagai tempat bersembunyi.
Suasana kehidupan di kampus memang tidak lagi normal seperti sebelumnya. Namun, Falevi menjalani hari-harinya seperti biasa: kuliah, pustaka, dan nongkrong di kantin. Malam hari lebih banyak waktu dihabiskan dengan bercengkrama dengan teman-teman dari UKM lain seperti Pramuka, PMI dan Gainpala. Tak banyak hal bisa dilakukan, lebih-lebih setelah muncul ultimatum bahwa mahasiswa yang jadi antek-antek GAM akan disikat. Sejak itu, Falevi dan teman-temannya memilih berdiam diri dan jadi anak baik-baik.
Suasana tidak menentu tersebut berlangsung lima hari. Pada malam ke-6 pemberlakuan Darurat Militer, listrik di kawasan Darussalam padam menjelang Magrib tiba. Tak ada yang tahu, kapan listrik kawasan Darussalam menyala kembali. Komplek kampus begitu gelap, mirip kota mati. Sangat mencekam.
Di sekretariat UKK Pramuka, Abdillah (Ketua UKK Pramuka) sedang bercengkrama dengan Fakhrul Riza, Syahrul Huda dan beberapa pengurus lain. Sekali pun listrik padam, Sekretariat Pramuka tampak lebih terang. Mereka punya stok lilin yang cukup. Selain Pramuka, UKM Gainpala juga tampak hidup meski listrik padam.
Tak lama kemudian, Falevi bergabung dengan mereka di UKK Pramuka. Dia baru selesai salat magrib di UKM Salam. Biasanya, ada Muhammad MTA yang juga menginap di kampus. Sejak beberapa malam dia memilih menghabiskan waktu di kos milik Mufti di kawasan Tgk di Blang. Mufti adalah mahasiswa satu Fakultas dengan Falevi dan MTA.
“Na warnet rakan lon di Simpang Galon, baro dibuka (ada warnet teman saya di Simpang Galon, baru dibuka),” kata Huda menghentikan lamunan kami. “Saya mau ke sana sebentar lagi.”
“Paih that. Lon neuk cek email siat teuk. Trep hana jak bak warnet (Bagus sekali. Saya rencana mau buka email. Sudah lama tidak ke warnet),” kata saya.
“Rencana neuk pakat awak droe man dua, tapi hana mangat karena baro dibuka (rencana mau ajak kalian berdua, tapi tidak enak, mereka buka buka),” kata Huda lagi. “Malam nyoe kupakat si Mubarak dile, malam singoh droekeuh Falevi (malam ini saya ajak si Mubarak dulu, malam besok kamu Falevi).” Falevi setuju.
Saya dan Huda berangkat ke Simpang Galon, sebutan para mahasiswa untuk Keude Darussalam. Falevi, Abdillah dan Fakhrul Riza masih melanjutkan obrolan mereka. Selang satu jam kemudian, 5 truk Reo penuh dengan personil Brimob berhenti di Simpang Galon, diikuti dua mobil kijang yang juga penuh aparat. Seperti adegan dalam film, mereka meloncat dengan lincah dan langsung merayab di badan jalan.
Penjual dan mahasiswa yang berada di kawasan Simpang Galon, terkejut bukan main. Satu persatu masuk ke dalam warung yang buka, yang lainnya memilih pulang ke kos masing-masing. Para penjual nasi goreng di pinggir jalan memilih tak melanjutkan berjualan. Kira-kira lima menit setelah 5 truk reo itu berhenti, suasana di Keude Darussalam sepi. Senyap. Malam itu, aparat Brimob mengepung AIN, kampus yang dikenal sebagai sarang aktivis pro referendum.
Syahrul Huda mencoba menghubungi Falevi melalui telepon genggam untuk mengabarkan kedatangan ratusan Brimob ke kampus. Beberapa kali panggilan ke nomor telepon genggamnya terdengar nada sibuk. Pesan singkat yang dikirim juga selalu tertunda (pending). Sementara teman-teman lain di PKM tak ada yang memegang handphone. Listrik padam, jaringan sibuk dan pesan singkat yang dikirim statusnya pending melengkapi suasana kampus yang begitu mencekam.
Suasana di Simpang Galon makin sepi. Tak ada siapa pun yang nongkrong. Penjual sudah pada tutup. Orang-orang memilih mengintip dari jendela ruko suasana di luar. Hanya lembu yang masih berkeliaran di jalan. Tak lama kemudian, tiba lagi tiga unit reo yang langsung meluncur ke jalan lingkar kampus melalui komplek Pascasarjana IAIN Raniry. Sepertinya, mereka sudah begitu hafal komplek IAIN, dan mulai mengepung dari Jalan lingkar Rukoh.
Aparat mengumpulkan semua penghuni di halaman PKM. Identitas mereka diperiksa satu persatu dengan teliti. Abdillah bercerita tentang proses penangkapan warga PKM: ada yang dipukul dengan popor senjata, dipukul pakai balok kayu dan ditendang hingga ke halaman PKM. Semua dikumpulkan dan satu persatu diperiksa KTP-nya.
“Dan, ini yang kita cari.” Aparat girang bukan main saat memerikan KTP milik Falevi. “Siapa yang bernama Falevi?” tanya aparat yang memakai sebu. Mau tidak mau, Falevi harus menampakkan diri. Pukulan demi pukulan diterima aktivis HANTAM itu. Beruntungnya, sebelum digelandang ke halaman PKM, Falevi lebih dulu menyembunyikan handphone Nokia ber-casing gambar harimau di balik sarung bantal. Esoknya, alat komunikasi itu langsung diamankan oleh teman-temannya untuk diserahkan kepada adiknya.
Menurut cerita teman dari UKK Pramuka, banyak dokumen yang dibawa, termasuk bendera Referendum yang pernah dikibarkan saat Sidang Umum MPR Aceh di Masjid Raya Baiturrahman pada 8 November 1999 itu. Rambut wig, senjata AK-47 dari kayu dan beberapa properti milik UKM Teater Mahasiswa Rongsokan juga diambil. Semua alat bukti ini kian memberatkan tuduhan untuk Falevi.
Falevi dan Vonis 6 Tahun Penjara
RABU, 3 September 2003, Falevi menghadiri sidang di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh untuk menyampaikan eksepsi. Dalam sidang sebelumnya, alumni MTsN Tangse itu didakwa melakukan makar dan melanggar ketertiban umum. Ini merujuk pada aksi tanggal 23 Desember 2002 tentang penolakan JSC dari Filipina. Saat itu, Falevi dan peserta aksi membawa dua spanduk dengan isi cukup mencolok: Pemerintah RI pembantai rakyat Aceh dan Aceh baru akan damai apabila merdeka.
Menurut Jaksa Penuntun Umum (JPU), bunyi pada spanduk dalam aksi yang dipimpin aktivis HANTAM, itu sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah RI yang sah. Ia pun didakwa menyebarkan rasa permusuhan, kebencian terhadap pemerintah RI dan menghasut masyarakat untuk melawan negara. Sebuah tuduhan yang tidak main-main. Jika divonis bersalah, Falevi bakal menjalani hukuman 6 sampai 8 tahun penjara.
Meski hukuman penjara sedang mengintainya, tak sedikit pun membuat dirinya kecewa. Ia bahkan menganggap nasibnya masih lebih beruntung dibanding ribuan rakyat Aceh yang lain. Memang, selama ditahan di dalam penjara, Falevi mendapatkan penyiksaan berat, dipukul bertubi-tubi, dan dihina dengan kata-kata merendahkan. Tapi semua itu tidak sampai membuatnya kehilangan nyawa.
Sementara banyak masyarakat Aceh ketika itu harus merelakan nyawanya di ujung bedil, sebagian dari mereka adalah masyarakat yang tidak ada sangkut-pautnya dengan GAM atau politik. Mereka menjadi korban dari keganasan perang yang tidak diharapkan. Itu pula yang disuarakan Falevi ketika hadir dalam sidang untuk menyampaikan pembelaan.
“Saya sangat sedih. Ketika saya diproses lewat jalur hukum ternyata ada anak bangsa Aceh yang dibunuh dan mati di ujung moncong senjata tanpa proses hukum,” katanya ketika membacakan eksepsi di depan majelis hakim.
Bahkan, lanjut Falevi, saat dirinya membacakan eksepsi, ada orang Aceh yang tewas ditembak serdadu. Tidak sedikit perempuan yang diperkosa aparat. “Bahkan tidak sedikit masyarakat Aceh yang harus meninggalkan kampung halamannya karena dipaksa mengungsi untuk alasan demi keamanan,” katanya menggebu-gebu di ruang pengadilan.
Falevi mengisahkan, saat status Darurat Militer (DM) diberlakukan, banyak masyarakat Aceh hidup terkatung-katung: ada wanita harus melahirkan dalam perjalanan, ada bayi meninggal dan banyak yang syahid ketika mereka harus meninggalkan kampungnya. Kisah-kisah ini menjadi cerita sedih yang tidak berkesudahan.
“Ada ribuan rakyat Aceh yang terpaksa mengadu nasib ke Malaysia karena terancam jiwanya hidup di negeri sendiri. Mereka terkatung-katung dan tidak jelas nasibnya. Padahal ini tanah air mereka, tanah warisan indatu mereka bangsa Aceh!” gugat aktivis HANTAM ini.
Sayangnya, pembelaan itu tidak sedikit pun menolongnya. Setelah beberapa kali sidang, akhirnya Muhammad Rizal Falevi dijatuhi vonis 6 tahun penjara. Ia dikurung di penjara Keudah bersama sahabat karibnya, Irwandi Yusuf. Gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membebaskan mereka dari jeruji penjara. [Selesai]