Pelatih Timnas Iran, Carlos Queroz, menyebut penonton Indonesia egois. Mantan asisten pelatih MU, Alex Ferguson, itu heran melihat SUGBK Senayan yang besar itu hanya diisi segelintir tifosi tuan rumah Indonesia. ‘Menurut hemat saya, suporter Indonesia egois. Mereka seharusnya tetap memberikan dukungan, baik ketika tim bermain baik maupun buruk’, katanya dalam konfrensi pers setelah timnya, Iran, melumat tuan rumah Indonesia 1-4.
Situasi stadion dimanapun di negeri ini memang selalu berkelindan dengan prestasi tim. Kalau tim sedang hebat, ramai-ramai ke stadion. Yang gak suka sepakbola pun ikutan nonton. Seolah ia juga bagian dari tim yang hebat. Ketika tim terpuruk, para suporter berkomentar, ‘ngapain ngabisin duit ke stadion’. Ini gambaran suporter yang tak sehidup semati dengan timnya. Penonton mau enaknya saja, yaitu menikmati kemenangan. Kalo timnya kalah, ngamuk, kesel, lempar botol, bakar-bakaran, sumpah serapah ampe mulut berbusa. ‘Kimaknyalah, kalah mulu’. Padahal, baru kali itu kalah. Gak terima kenyataan.
Seharusnya, tim yang sedang terpuruk disemangati. ‘Yuk, Bangkit! Kita masih punya kesempatan’. ‘Ah! Hari ini kita cuma kurang beruntung’. ‘Kalah-menang, kami tetap bersamamu’. Seharusnya suporter memperlakukan tim kesayangannya seperti seorang kekasih. Suka-duka dinikmati bersama. Yang satu terpuruk, yang lain menghibur. Yang satu bergembira, yang lain ikut sumringah. ‘Oh ya? Kamu memang hebat, sayang’. Dan katakan hal itu dengan memainkan bola matamu, supaya yang sedang bergembira benar-benar merasakan aura kegembiraan kita. Namanya juga suporter, pendukung, penyemangat, atau apalah namanya.
Kalau saja Queroz ikut menonton pertandingan ‘Timnas’ Aceh vs PPLP Jawa Tengah di Stadion Harapan Bangsa Minggu lalu (20/11), pria asal Portugal itu bisa geleng-geleng. Bukan karena kecewa pada performa Muarrif dan kawan-kawan, melainkan heran pada cara suporter memperlakukan timnya yang masih remaja. Masa anak-anak itu dilempari. Perlakuan seperti ini bisa menambah anak-anak makin terpuruk. Ini brutalisme namanya.
Agaknya, suporter sepakbola kita tidak mampu membedakan antara pemain senior dan junior. Jika perlakuan serupa dialamatkan kepada pemain senior, masih bisa diterima bacut (sedikit), oke, welcome, fine. Pemain senior mentalnya sudah stabil. Mereka sudah bisa memaknai perlakuan suporter. Sedangkan mental pemain junior masih dalam perkembangan. Mereka masih labil. Bisa-bisa mereka takut untuk bermain lagi. Atau mereka tidak diizinkan main oleh orang tua mereka. Orang tua mana yang tega melihat anaknya dihakimi secara massal tanpa pembelaan? Kalau kondisi hari Minggu dipertahankan, tim junior Aceh ke depan bisa tamat riwayatnya ketika orang tua di Aceh trauma tidak restu dan anak lainnya takut bermain untuk Aceh. Kapalo!
Jika ditelisik lebih haloh, ada beberapa pihak yang membuat kita kecewa, sehingga memicu perlakuan tak sedap terhadap jebolan Paraguay, nara sumber dan pemberitaan dari media massa yang hana pake rhem. Nara sumber terlalu pamer haba mangat tentang ‘Timnas’ Paraguay kepada media tanpa mempertimbangkan psikologis para pemain yang masih usia pelajar. Mereka terlalu diagungkan dalam pemberitaan sehingga memengaruhi opini publik bahwa jebolan Paraguay berhasil. Saya khawatir, mereka tidak tampil bagus justru gara-gara beban mental karena terlalu digadang-gadang. Atau bisa jadi anak-anak kelewat pede, lalu tampil individualis dan amat bernafsu. Maka rusaklah permainan mereka.
Bagaimana permainan mereka sore hari ini menghadapi Persija Jakarta U-19? Rusak, bagus, atau standar saja? Persija tim yang amat bagus. Fisik mereka prima, pekerja keras, dan pergerakan mereka cukup dinamis. Tim kita juga tidak jelek kok, asalkan mereka bermain tim, tidak individualis, tidak bernafsu, tenang, dan tidak terganggu dengan berita miring apapun. Yuk, ramai-ramai kita saksikan dan beri dukungan lagi kepada adik-adik kita. Tapi, gak pake’ anarkis. Ya, nehe anarkis!