Nelayan Menjerang Angin

Kresna A Kamandaka

Angin membawa aroma asin. Angin menerbangkan amis ikan hingga ke tengah perkampungan. Angin menyibak gemawan dan mempertegas bulan sabit dan gemintang, pertanda kapan nelayan akan berangkat ke lautan. Angin membawa kedamaian, kemarahan, hingga hawa mesum persenggamaan. Termasuk membawa segenap perasaan yang kukemas dalam peti es bersama ikan. Angin juga menyeret sampan nelayan hingga ke tengah lautan. Menabur umpan berharap banyak ikan yang memakan. Pulang membawa banyak tangkapan. Istri senang karena uang belanja penuh semingguan. Anak-anak pun bahagia, karena es dung-dung akan mereka nikmati siang harinya.

Rama (ayah) melaut malam ini?”  Isya bertanya kepada biyungnya.

“Seharusnya begitu. Entah sudah berapa ratus ribu utang biyung (ibu) di warung Yu Karti”, istriku masih nyerocos pedas sambil mengulek teri bersama cabai.

“Uhukkkk!”, aku cuma berdeham kecil. Merasa menjadi bahan pergunjingan mereka.

“Kalau memang sudah nggak mau melaut, biar biyung yang pergi saja”

“Mau kemana?”

“Ke Malaysia? Jadi TKW atau apalah? Biar Isya bisa sekolah tinggi. Nggak ngere kaya gini”

“Ke Malaysia! Mau setor nyawa?”

“Itukan mereka yang bodoh nggak bisa lari!”

“Biyung, Isya lapar ni”

“Bentarlah, ini nasinya masih karon (setengah matang). Mau kemana?”

“Cari angin”

“Angin dicari. Uang entu yang dicari!”

“Haaaa!!!!”

Aku merasa gerah di gubuk rumahku. Badai lautan memang susah menjadi tebakan. Berminggu-minggu kami turunkan jangkar dari perahu. Badai terlalu menggila untuk kami lawan. Bisa-bisa nyawa hilang, bukan ikan berkumpul datang. Akibatnya dapur berhari-hari dingin. Tidak ada sayur pengundang selera makan. Harumnya ayam bakar. Hanya teri, ikan jambal asin, ikan asap, cumi kering, bergantian digilir tiap hari. Maklumlah uang kami benar-benar berasal dari ikan hasil tangkapan. Saat tangkanpan ikan banyak akan kami bagi berenam, kami melaut berombongan. Semakin banyak hasilnya, semakin banyak pula rupiah yang kubawa pulang untuk istriku dan Isya. Alam tak mudah diterka seperti pilkada. Kadang melimpah, kadang pulang berkalung jaring kosong.

Aku juga bukan mudah beralih menjadi kuli bangunan, kalau laut sudah tidak menghasilkan ikan. Berbeda dengan para nelayan lain. Kala badai sedang semakin menggila, maka mereka berbondong-bondong ke kota. Menjadi tukang usung batu bata, menjadi tukang potong rumput teki, jualan es krim, dan berbagai macam profesi lainnya. Hanya ingin tetap mengepulkan dapur rumahnya.

Aku selamanya akan tetap melaut. Kala badai mendera, maka tunggulah ketika rembulan sudah tidak lagi malu tertutupi awan kelabu. Maka ombak akan tenang. Ombak akan berirama menggoyang perahu. Nasihat ramaku yang seorang nelayan tulen, seratus persen. Rama hidup dan menghidupi keluarga dari hasil laut melimpah di pesisir ini. Rama tidak pernah berpindah dari pesisir ini. Dapurnya selalu mengepul. Kami tercukupi makannya. Sekolah tidak pernah telat membayar uangnya. Kami tidak pernah melewatkan lebaran tanpa baju dan sarung baru. Laut menghidupi kami.

“Kamu kalau besar, jadilah nelayan yang benar!”

“Maksudnya Rama?”

“Jagalah lautan agar laut menjaga hidupmu. Berangkatlah sebelum bulan bulat sempurna, agar sampanmu tidak oleng diterpa badai pasang”, cermat aku mendengarkan rama berbicara. Menasihati padahal usiaku kala itu belum genap balig.

Sekecil itu aku suka mendengarkan dongeng dari rama. Saat lampu minyak masih terang kuat bergoyang diterpa angin pesisir. Aroma angin masih asin sampai sekarang. Aroma membawa banyak anak lahir dengan keceriaan, melihat teri bergelinjang, ikan hidup berinsang merah menyala dan ombak bergelombang bak selendang Dewi Sembadra istri Pandhawa. Rama senang sekali bercerita, kala ia masih muda. Kala ia masih harus berlaut hingga negeri dengan bahasa berbeda dialeknya. Hingga harus menggunakan pertanda kalau mau bertransaksi ikan.

Negeri ini dibangun atas laut yang membahana. Diracik dengan bumbu perjuangan tidak mau dikalahkan dengan deru ombak mengganas, tanpa cahaya lampu minyak hanya bulan belum bulat penuh. Nelayan mengajari negeri ini untuk hidup dengan laut sebagai sumber rejeki. Makan dari ikan. Menggarami ikan agar awet hingga berhari-hari. Perahu-perahu raksasa menjelajah bumi nusantara. Mencari dimana ikan sedang berkumpul. Agar karung ikan sesak dibawa pulang. Ramaku bercerita banyak tentang nelayan. Dari itulah aku akan tetap bangga menjadi nelayan. Yang kini sudah mulai akan ditinggalkan, lebih-lebih sekarang badai menghujam hingga pinggira dermaga.

***

Selalu angin amis ini berwujud gadis manis. Dia menjajakan keindahan lekuk dan lembutnya sapa. Tidak seperti biyungnya Isya. Marah kalau uang belanja tiba-tiba berkurang. Berwajah ditekuk sembilan, saat uang sekolah Isya telat. Meski keluarga kami bukan keluarga kaya, namun ikan yang kutangkap setiap harinya dulu masih cukup untuk makan, membeli pakaian dan bayaran sekolah Isya. Namun hari itu hanya masa lalu milik eyangnya Isya.

Aku kini tertinggal sekawanku nelayan, yang merantau ke kota. Meski aku bosan menasihati, bahwa kitalah yang menjaga lautan ini. Dengan menagkap ikan, memburu udang dan mengolahnya. Mengasapi, mengasini, menumbuk menjadi terasi bahkan hanya dijual mentah kiloan lima ribu rupiah. Tetaplah menjadi nelayan, agar laut kita aman dari jarahan. Meski aku sendiri sangsi dengan yang kukatakan. Namun darah ramaku selalu berdesir, mendendangkan optimisme seorang nelayang pesisir. Sekali layar terkembang, pantang pulang tanpa membawa ikan. Istri dan anak menunggu ikan untuk dijadikan santapan atau dijual penambah bumbu asli pegunungan.

“Mati kalau kau masih ingin diasini lautan!” Sobrin menjawab

“Aku bukan mati. Mungkin rehat karena terlalu mengejar ikan yang lepas berenang”

“Tidak ada ikan bersama keputusasaan dan kerendahan hari yang kebangetan”

“Aku masih ingin menjaga pesisir ini dari perahu dan pukat yang mematikan terumbu”

“Hanya kau yang ingin menunggu hujan uang dari gemawan”

“Bukan menunggu. Namun mengamati waktu hingga ombak benar-benar membawa ikan. Bukan hawa panas kematian”

“Makan tu keyakinanmu. Sebelum istrimu melacur ke Malaysia. Atau anakmu dibawa mucikari ke kota”

“Hkkkkk. Ombak akan selalu menjada kami”

Mereka meninggalkanku dengan api serabut kelapa yang bergoyang karena angin. Aku mengamatinya seolah mereka berbicarakeras kepadaku. Mereka mengelus tengkukku yang mulai dingin karena kelamaan di bibir pantai tanpai jaket atau sarung penghangat. Dan berbisik lembut di daun telingaku. Antara sadar dan tidur, aku menyimak yang ia sampaikan.

“Tak kau rindu riuh ombak membawa ikan?”

“Jelas aku rindu. Hampir sebulan sampanku hanya parkir di dermaga”

“Tak kau rindu, riuh tawa kemenangan saat ikan banyak terjaring ke sampan?”

“Jelas tentu. Aku merindukan bau amisnya. Aku merindu kecipak menjelang kematiannya”

“Kau pasti rindu was-was saat menjelas terang, peti es belum terisi penuh”

“Ya itu pertanda istriku akan marah besar. Dan aku hanya akan tidur bersama bantal di dipan depan”

“Hahahaha melautlah. Laut sedang berbaik hati. Melautlah saat dirimu masih berusaha menjaga kehormatan pesisir ini”

“Siapa yang membantuku mengemudi sampan? Siapa yang membantu mengangkat jaring ke atas sampan? Aku pasti kepayahan…”

“Bukankah nenek moyangmu lebih membelah lautan? Berlayar hingga bumi terjauh tak sampai dipandang mata?”

Uang empat puluh ribu kubelikan solar, es batu, dan minyak lampu petromak. Aku ingin melihatkan betapa nelayan punya kekuatan. Tidak mudah mengalah karena badai yang mengamuk, harga solar tinggi tak mau turun, ikan berlarian menjauh dari jaring atau karena tawaran ke kota pelecehan harga diri seorang nelayan. Malam ini aku melaut. Aku bersampan sendirian. Mencari ikan.

Aku berangkat melaut. Ditemani angin, rembulan belum penuh bundar, dan keyakinan yang mengalahkan deburan ombak tengah lautan. Aku bersampan sampai jauh tak terlihat dermaga di pelabuhan. Gairahku seperti tersulut api kemudian tersiram solar. Membesar dan membesar. Meski ikan sedang tidak tertarik dengan cahaya petromak. Namun kayuhan sampan semakin jauh dari dermaga. Masih ku kembangkan layar sederhana penampu angin. Ku deras berulang sekali layar terkembang, pantang pulang tanpa membawa ikan. Kuulang dan kuulang.

Cahaya petromak telah padam karena minyak yang habis. Hanya setengah ember ikan yang kukumpulkan. Ikan besar, ikan kecil, beberapa udang dan kepiting. Aku hanya mengikuti ombak sesekali dengan dayung sendirian, karena solar mesinku habis bebarengan lampu yang padam. Berharap surya segera terbit keemasan, hingga daratan akan terlihat. Daratan itu nampak penuh kecemasan. Bukan pertolongan yang kudapatkan. Hanya isak sesal kenapa malam tadi aku berlayar sendirian. Aku tak pernah berbahasa macam demikian.

Angin membawa aroma asin. Angin menerbangkan amis ikan hingga ke tengah perkampungan. Angin menyibak gemawan dan mempertegas bulan sabit dan gemintang, pertanda kapan nelayan akan berangkat ke lautan. Angin membawa kedamaian, kemarahan, hingga hawa mesum persenggamaan. Termasuk membawa segenap perasaan yang kukemas dalam peti es bersama ikan. Istriku, Isya dan seluruh warga perkampungan nelayan akan gembira. Bukan hanya ikan tangkapan yang kukirimkan. Bukan hanya beberapa rupiah hasil penjualan ikan. Lebih dari itu, ada pembenaran pendapat mereka. Berhentilah kau menjadi nelayan benar. Karena meski kau benar, kau pulang hanya berpeti bersama ikan. Isya dan istriku aku tetap menjadi nelayan hingga aku mati[]

Kresna A Kamandaka, lahir 26 Juli 1990. Prestasi dalam dunia cerpen juara cerpen islami UGM, finalis Gebyar Karya Cerpen Tingkat Nasional (GKCTN) Universitas Jendral Soedirman, Juara harapan dalam lomba cerpen tentang orang tua Penerbit Arias Bandung. Masih tercatat sebagai mahasiswa Teknik Elektro UGM Jogja.