Jika seandainya seseorang ditanyai mengenai gambaran dua kondisi; seorang mahasiswa yang terancam non-aktif (NA) karena tidak mampu membayar biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di kampusnya dan kisruh Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlarut-larut serta memiliki kecenderungan yang besar atas muatan politis tertentu, mana yang akan menjadi prioritasnya dalam kapasitas sebagai salah seorang petinggi suatu lembaga mahasiswa? Jawabannya tentu sangat beragam dengan alasan dan asumsi yang beragam pula tentunya.
Salah satu peran penting yang dimiliki seorang mahasiswa adalah fungsi kontrol sosial (social control). Hal tersebut merupakan bagian dari pengejawantahan prinsip-prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi; pengabdian kepada masyarakat. Artinya sebuah upaya mahasiswa untuk berada di luar ranah dan jauh dari tapal batas penguasa serta menjadi pihak oposisi dengan “mengimbangi” setiap sikap ataupun kebijakan para penguasa tersebut. Tentunya hal itu semata-mata dilakukan demi membela aspirasi masyarakat terhadap kesemena-menaan pemimpin atau penguasanya.
Dalam konteks mahasiswa, pembelaan atau advokasi sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial ini bisa juga dilakukan dengan berfokus pada aspirasi mahasiswa serta mengontrol setiap euforia sikap, kebijakan dan tindak-tanduk pihak rektorat. Namun realitasnya, perhatian dari para petinggi di lembaga-lembaga mahasiswa di level kampus sendiri masih sangatlah kurang.
Disorientasi
Seorang wanita Aborigin Australia suatu kali pernah berujar, “If you have come to help me, you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival, then perhaps we can work together.” (Jika kamu datang untuk menolongku, maka kamu bisa pulang saja. Tapi jika kamu lihat perjuanganku sebagai bagian dari apa yang kamu perjuangkan, mungkin kita bisa bekerjasama – terjemahan bebas). Pernyataan tersebut mungkin bisa memberikan sedikit gambaran mengenai ironi realitas yang sedang terjadi saat ini di kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh, Unsyiah terkait dengan permasalahan advokasi.
Menurut bahasa Belanda, advocaat atau advocateur berarti pengacara atau pembela. Karenanya tidak heran jika advokasi sering diartikan sebagai ”kegiatan pembelaan kasus atau beracara di pengadilan”. Dalam bahasa Inggris, to advocate tidak hanya berarti to defend (membela), melainkan juga berarti to promote (mengemukakan atau memajukan), to create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan). (Topatimasang, et al, (2007)). Jadi, ranah advokasi itu tidak hanya dibatasi pada usaha membela suatu kelompok, tetapi diharapkan juga mampu membawakan angin perubahan dari kondisi ketimpangan sebelumnya.
Namun yang menjadi permasalahan di sini bukanlah hasil akhir (output) dari advokasi, tetapi kelompok yang menjadi objek advokasi. Dalam konteks Unsyiah, saat ini pengurus dan anggota lembaga mahasiswa di Unsyiah semisal Pemerintahan Mahasiswa (Pema), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) serta lembaga definitif lainnya sepertinya tengah mengalami apa yang disebut dengan disorientasi alias kegamangan arah.
Tidak salah memang ketika lembaga-lembaga tersebut mengadvokasi aspirasi masyarakat dari ketimpangan-ketimpangan multi-dimensi akibat kebijakan pemerintah. Apalagi yang bersangkut-paut dengan hajat hidup masyarakat Aceh secara umum. Tetapi sepertinya ada instrumen yang, entah disengaja atau tidak, telah dilupakan oleh mereka, yaitu advokasi terhadap mahasiswa Unsyiah sendiri. Kalau pun ada, masih belum optimal dan tak sampai menyentuh realitas mahasiswa pada level “akar rumput”. Sehingga ada porsi advokasi yang tidak proposional antara masyarakat dengan mahasiswa.
Advokasi masyarakat itu penting, tetapi bukan berarti dengan adanya hal tersebut lalu justru menafikan rumah tangga sendiri, Unsyiah. Sehingga tidak adanya konsep keseimbangan antara advokasi terhadap masyarakat dan mahasiswa. Padahal, lembaga-lembaga di atas merupakan representasi media penampung aspirasi mahasiswa yang artinya eksistensi lembaga tersebut juga ditentukan oleh kontribusi dan dedikasi mahasiswa sendiri. Lalu pertanyaannya, kenapa tanggungjawab tersebut hanya dibebankan kepada mereka? Tak lain karena merekalah yang memiliki otoritas penuh untuk menyatakan sikap, pernyataan ataupun kebijakan yang merepresentasikan aspirasi mahasiswa secara umum.
Apalagi Pema Unsyiah sebagai lembaga representasi mahasiswa tertinggi di kampus harusnya menyadari hal itu. Bahkan, Furqan Ishak Aqsa yang saat ini dipercayakan oleh mahasiswa untuk menjabat sebagai Presiden Mahasiswa (Presma) pernah berujar, sebagaimana dikutip DETaK Unsyiah pada acara pelantikan Pema Unsyiah di lobby Gedung AAC dulu, bahwa Pema bukanlah milik satu dua orang, tapi milik semua mahasiswa Unsyiah (28/10/2011). Mereka (mahasiswa) tentu masih menunggu sikap Furqan untuk merealisasikan pernyataannya itu dengan aksi nyata advokasi mahasiswa. Jika tidak, apakah kemudian Furqan dan seluruh jajaran pengurus dalam kabinetnya akan marah ketika ada yang mengatakan bahwa mereka (Pema) hanya mengadvokasi hak dan kepentingan struktural pengurusnya semata?
Seperti masalah internal yang terjadi di Unsyiah. Adakah petinggi-petinggi mahasiswa itu yang mempertanyakan mengenai masalah produksi buku di Perpustakaan Unsyiah? Apakah buku-buku di perpus Unsyiah itu mengalami pembaharuan (update) buku-buku baru dalam jangka waktu tertentu atau tidak? Atau bagaimana dengan transparansi dana dan kebijakan rektorat? Lalu bagaimana pula dengan birokrasi, administrasi, manajemen serta fasilitas penunjang pendidikan dan hal-hal lainnya? Serta hal yang paling aktual saat ini; apa sikap mereka sebagai representasi mahasiswa terkait langkah Rektor Unsyiah, Darni M. Daud yang maju menuju Aceh I (Gubernur Aceh)? Adakah para petinggi mahasiswa itu menanyakan pendapat atau keluhan dari mahasiswa terkait dengan semua hal ini dan kemudian menegaskan sikap mereka terhadap rektorat?
Sebenarnya status mereka yang ada di lembaga-lembaga mahasiswa sebagai miniatur kehidupan masyarakat itu sangatlah unik. Di satu sisi, mereka mengemban tugas sebagai aktor untuk menjalankan roda pemerintahannya di lembaga tersebut, namun di sisi lain mereka juga menjadi oposisi untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka menegakkan advokasi mahasiswa dan masyarakat luas.
Karena alasan itulah, seharusnya para petinggi lembaga-lembaga mahasiswa itu menyadari bahwa mereka juga bagian dari mahasiswa secara utuh. Sehingga, seperti yang dikatakan oleh wanita Aborigin Australia di atas, bahwa ketika apa yang hari ini menjadi aspirasi seluruh mahasiswa semestinya juga menjadi aspirasi petinggi lembaga kampus, lalu mereka secara bersama-sama mengejawantahkan hal tersebut ke dalam bentuk aksi nyata. Jadi, advokasi masyarakat jalan, advokasi mahasiswa juga tak ketinggalan, sebagaimana yang telah diprakarsai oleh beberapa mahasiswa Unsyiah dengan mendirikan posko “Tolak Politisasi Kampus” di gerbang masuk kampus Unsyiah, Simpang Galon, beberapa hari yang lalu itu.
Dengan begitu, tak ada lagi yang namanya advokasi kegamangan arah dan berat sebelah. Dengan mekanisme dan prosedur yang sistematis, semua bisa diperjuangkan secara bersama-sama. Sehingga pertanyaan-pertanyaan satire seperti yang diajukan di awal tulisan ini bisa ditentukan akar skala prioritasnya. Bukankah kita sebagai kaum kolektivis menetapkan inisiatif atas asas musyarakat dan mufakat bersama?
Sammy Khalifa adalah anggota aktif UKM Pers DETaK dan pegiat Komunitas Menulis Jeuneurob (KMJ)