Anggota TNI dari pasukan Rajawali saat Darurat Militer di Aceh

Taufik Al Mubarak

Ketika Darurat Militer Diumumkan dan Hari-hari Setelahnya

Kawasan kampus seharusnya jadi tempat yang aman dan damai. Namun, komplek pelajar mahasiswa (Kopelma) Darussalam, tempat Universitas Syiah Kuala, Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN Ar Raniry) dan Sekolah Tinggi Tgk Chik Pante Kulu berada, tak henti-henti diintai serdadu Indonesia, setidaknya, sebelum dan setelah Darurat Militer diumumkan.

TOKYO Meeting pada 17-18 Mei 2003, yang di antaranya difasilitasi Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Bank Dunia, gagal. Petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara terang-terangan sudah menyatakan memboikot pertemuan tersebut. Sementara Pemerintah Indonesia tetap mengirimkan utusannya, sekali pun pihak GAM tidak hadir.

GAM jelas gusar dan kecewa. Sebelum pertemuan, Indonesia sudah secara tegas menyatakan tidak akan menoleransi permintaan GAM untuk merdeka. NKRI sudah final. GAM harus meletakkan senjata dan menerima otonomi khusus. Perwakilan GAM merasa, pertemuan Tokyo hanya untuk melegalkan keputusan Indonesia menerapkan Darurat Militer di Aceh.

Selain itu, tindakan aparat keamanan Indonesia menangkap lima juru runding GAM yang hendak berangkat ke Tokyo: Teuku Kamaruzzam, Amni Ahmad Marzuki, Sofyan Ibrahim Tiba, Nashiruddin bin Ahmad, dan Teungku Usman Lamph Awe, dianggap sebagai sikap yang tidak bersahabat dan tak serius berunding. GAM meminta agar tim runding mereka itu dibebaskan, baru mereka bersedia berdialog.

Nasib Tokyo Meeting akan berakhir dengan kegagalan sebenarnya sudah dapat ditebak, terutama setelah melihat pertemuan Joint Council (Dewan Bersama) antara Pemerintah RI dan GAM di Jenewa, 25-26 April 2003 yang juga berakhir gagal. Perang opini di media, bahwa baik RI maupun GAM sudah sama-sama dalam posisi tempur menunjukkan bahwa upaya perundingan apapun pasti tak akan membuahkan hasil.

Baiklah, saya akan bercerita (berdasarkan ingatan) kondisi di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) IAIN Ar Raniry menjelang Pemerintah Indonesia mengumumkan pemberlakuan Darurat Militer di seluruh provinsi Aceh. Tulisan singkat ini mudah-mudahan jadi bahan renungan bagi kita, bahwa militer (juga polisi) Indonesia pernah sangat jahat dan kejam terhadap rakyat Aceh.

Minggu (18/05/2003) malam, saya, M Rizal Falevi dan beberapa teman masih bergadang hingga larut malam. Sementara Muhammad MTA yang biasanya juga menginap di UKM sudah beberapa hari tidak muncul ke kampus. Kami bicara banyak hal malam itu, sambil memantau perkembangan perundingan di Tokyo plus menunggu respon pemerintah menyikapi gagalnya perundingan tersebut. Memang, sudah santer diberitakan media, bahwa Indonesia akan mengumumkan keputusan penting terkait Aceh, tepat tengah malam. Dan benar saja, tepat pukul 00.00 WIB, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengumumkan pemberlakuan Darurat Militer di seluruh Aceh.

Sehari sebelumnya, kami para pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Solidaritas Aksi Layanan Masyarakat (UKM SALAM) sudah bersih-bersih. Berkas-berkas penting organisasi, termasuk hasil polling Sira Rakan 8 November 2000 yang kebetulan disimpan di gudang organisasi mahasiswa itu, sudah kami bakar habis. Kalau tidak salah ada 5 kardus ukuran besar yang kami bakar. Sementara bendera REFERENDUM ukuran raksasa yang pernah dikibarkan pada Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) Aceh 8 November 1999 kami simpan di bawah panggung besar aula PKM. Alasannya, benda itu bernilai sejarah tinggi dan kami tak sampai hati membakarnya.

Malam itu, kami terus terang lega. Bukti yang bisa membahayakan para penghuni PKM sudah benar-benar lenyap. Pun begitu, di malam pemerintah Indonesia mengumumkan status Darurat Militer itu, kami yang berada di PKM nyaris tidak bisa tidur. Kami cukup sadar, bagaimana pun, setelah beberapa kali kawasan kampus disatroni aparat keamanan, jelas tak lagi aman. Dalam suasana bergadang, kami yang berada di PKM hanyut dalam pikiran masing-masing, tentang apa yang akan terjadi besok pagi: status Aceh yang tak sama lagi.

DI PAGI hari, para penghuni PKM heboh bukan main. Di langit arah Cot Keu-eng-Krueng Raya dan Montasik, Aceh Besar, pasukan terjun payung TNI seperti kawanan burung yang sedang mencari mangsa. Jumlah mereka cukup banyak dan disebar beberapa tempat. Sementara pesawat tempur dan helikopter meraung-raung di langit Aceh pagi itu.

“Mubarak, ka jadeh prang!” kata Falevi, aktivis UKM Salam. Kami memantau pergerakan pasukan payung tersebut dari lantai dua PKM. Para aktivis UKM lain di lantai satu sudah banyak yang berada di halaman depan dan belakang PKM melihat pemandangan “langka” tersebut.

Selagi kami memantau pasukan payung tersebut di lantai dua, beberapa teman menemui kami dan beberapa aktivis UKM SALAM lain yang memang menjadikan sekretariat tersebut sebagai rumah kost.

“Kita harus demo tolak DM,” kata seorang lelaki berkacamata. Saya lupa namanya.

“Aceh kini berstatus darurat militer, demo apapun dilarang, kecuali yang menguntungkan militer.” Kami menolak ajakan demo tersebut dengan halus. Lagi pula, selama ini dia tak pernah terlibat dalam demo yang kami gelar.

Sebelum dia, para mahasiswa yang sering ikut demo Himpunan Aktivis Antimiliter (HANTAM) juga mengajak hal serupa. Kami sudah diskusi, bahwa tidak memungkinkan menggelar demo. Risikonya ditangkap. “Kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi kalau ditangkap.” Begitu alasan kita.

Keputusan tidak menggelar demo penolakan Darurat Militer yang berumur sehari itu jelas keputusan bijak. Sebab, tidak ada yang bisa dipercaya saat itu. Semua harus dicurigai. Bisa saja, ajakan demo itu sebagai jebakan agar aktivis HANTAM yang mayoritas aktif di UKM SALAM dapat ditangkap dengan mudah.

“Kita tak bisa percaya mereka. Mereka cukup dekat dengan polisi,” kata teman kami.

Belakangan, kami tahu, beberapa orang yang mengajak demo itu memang sering dibawa oleh aparat keamanan dalam sejumlah penggerebekan di kampus. Terus terang, kami beruntung, menolak ajak berdemo itu.

Seharian, kami hanya menghabiskan waktu di kantin BEMA yang dikelola Syahrul Huda. Kantin yang berada di belakang PKM itu menjadi tempat berkumpul para aktivis HANTAM dan para mahasiswa IAIN.

Sejak Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mengumumkan di media, bahwa sasaran operasi militer tak hanya ditujukan melumpuhkan GAM, melainkan underbow GAM, seperti SIRA, SMUR dan Kontras, kami memilih bertahan di kampus. Sekali pun sering disatroni dan diinteli aparat, kampus lebih aman sebagai tempat bersembunyi.

DI HARI kedua DM, kalau tidak salah, Alfian (kini ketua MaTA) dan Teuku Banta Syahrizal, mampir ke kampus IAIN. Mereka sengaja memilih datang ke kampus, karena lebih aman dan banyak kawan-kawannya memilih kampus sebagai tempat sembunyi. Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol di kantin. Banyak hal yang kita bicarakan, terutama strategi bertahan hidup dalam suasana Darurat Militer. Menurut mereka, tiarap sebagai pilihan bijak.

“Jaga komunikasi dengan teman-teman lain. Itu sangat penting,” kata Teuku Banta, yang kini aktif di Partai Nasdem itu.

“Tetap berhati-hati. Jangan pernah menarik perhatian orang. Tak semuanya teman,” sambung Alfian. Dia juga memberi tahu ada info, setelah kampus Unsyiah digebrek, sasaran selanjutnya adalah IAIN. “Selalu waspada.”

Teuku Banta Syahrizal dan Alfian aktif di Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA), lembaga yang ikut menggagas Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) bersama KMPAN. KOMPAS berlangsung dari 29 Januari-4 Februari 1999, dan menghasilkan dua keputusan: referendum sebagai solusi final penyelesaian Aceh dan pendirian Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).

Sebelum pulang, mereka berdua berpesan agar saling menjaga satu sama lain. “Jika terjadi sesuatu segera kabari teman-teman lain,” katanya mengingatkan. “Berkas-berkas yang bisa dijadikan bukti menjerat kalian buang dan bakar saja.”

Beruntung, sebelum DM diumumkan, kami sudah membakar habis semua berkas dan dokumen organisasi.

Darurat Militer memang baru dua hari diberlakukan, tapi kehidupan yang kami jalani di kampus terasa begitu panjang. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di seputaran kampus: kantin, pustaka, ruang kuliah. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Lebih-lebih, setelah muncul ultimatun bahwa mahasiswa yang jadi antek-antek GAM akan disikat, kami memilih berdiam diri dan jadi anak baik-baik.

SUASANA tidak menentu itu berlangsung lima hari. Pada malam ke-6 pemberlakuan Darurat Militer, menjelang Magrib, listrik di kawasan Darussalam padam. Dalam suasana gelap itu, saya berangkat ke Masjid Fathun Qarib, untuk salat Magrib berjamaah. Sesekali memang saya sering berjamaah di masjid bantuan Presiden Soeharto itu.

Tak ada yang tahu, kapan listrik kawasan Darussalam menyala kembali. Yang kami tahu, komplek kampus begitu gelap, mirip kota mati. Sangat mencekam.

Sepulang dari Masjid, saya menyambangi sekretariat UKK Pramuka. Di sana ada Abdillah (Ketua UKK Pramuka), Fakhrurriza, Syahrul Huda dan beberapa pengurus Pramuka lainnya. Sekali pun listrik padam, Sekretariat Pramuka lebih terang. Mereka punya stok lilin yang cukup. Selain Pramuka, UKM Gainpala juga tampak hidup meski dalam suasana listrik padam.

Saya dan Syahrul Huda duduk sambil merokok di depan sekretariat UKK Pramuka. Abdillah dan Fakhrurriza sesekali ikut bergabung. Tak lama, M Rizal Falevi juga ke UKK Pramuka. Dia baru siap salat magrib di UKM Salam. Kami pun larut dalam pikiran masing-masing. Biasanya, ada Muhammad MTA yang juga menginap di kampus. Sejak beberapa malam dia menginap di kosan Mufti di kawasan Tgk di Blang.

“Na warnet ngon lon di Simpang Galon, baro dibuka (ada warnet teman saya di Simpang Galon, baru dibuka),” kata Huda menghentikan lamunan kami. “Saya mau ke sana sebentar lagi.”

“Paih that. Lon neuk cek email siat teuk. Trep hana online (Bagus sekali. Saya rencana mau buka email. Sudah lama tidak online),” kata saya.

“Rencana neuk pakat awak droe man dua, tapi hana mangat karena baro dibuka (rencana mau ajak kalian berdua, tapi tidak enak, mereka buka buka),” kata Huda lagi. “Malam nyoe kupakat si Mubarak dile, malam singoh droekeuh Falevi (malam ini saya ajak si Mubarak dulu, malam besok kamu Falevi).” Falevi setuju.

Setelah itu, saya dan Huda berangkat ke Simpang Galon (Keude Darussalam, pen). Sebelum mampir ke warnet Stallion (warnet milik teman Huda), kami memilih makan dulu di warung sebelah jalan, persis di depan warnet. Selesai makan, Huda membeli satu bungkus nasi untuk pacarnya yang tinggal di kosan Jalan Inong Bale. Dia pinjam sepeda motor teman untuk mengantar nasi itu. Sementara saya menunggu di depan warnet.

Tak lama kemudian, 5 truk reo penuh dengan personil Brimob berhenti di Simpang Galon, diikuti dua mobil kijang yang juga penuh aparat. Seperti di film, mereka loncat dengan lincah dan langsung merayab di badan jalan. Penjual dan mahasiswa yang berada di kawasan Simpang Galon, terkejut bukan main. Satu persatu mahasiswa masuk ke dalam warung yang buka, yang lainnya memilih pulang ke kos masing-masing. Para penjual nasi goreng di pinggir jalan cepat-cepat bergegas dan memilih tak melanjutkan berjualan. Kira-kira lima menit setelah 5 truk reo itu berhenti, suasana di Keude Darussalam sepi, seperti tak terjadi apa-apa. Senyap.

Saya tak ingat bagaimana bisa secepatnya melesat ke dalam warnet. Saya justru cemas, si Huda belum muncul ke warnet. Saya yakin, dia pasti berpapasan dengan aparat yang menyisir dan merayap di jalan Inong Bale. “Mudah-mudahan, si Huda tidak apa-apa.” Saya berharap dalam hati. Perasaan saya baru lega, saat di Huda muncul di pintu warnet dengan nafas terengah-engah. Rupanya, dia memang berpapasan dengan aparat Brimob yang merayap dan diminta tak menghidupkan sepeda motornya. Jadi, dia mendorong sepeda motornya dari jalan Inong Bale hingga ke warnet.

“Karap meuramah kei. Untong ditanyong get-get, dan kupeugah jak intat bu keu awak inong (hampir saja celaka. Untung mereka tanya baik-baik, dan saya bilang habis antar nasi untuk pacar),” kata Huda. “Hek cit tatulak honda malam-malam (capek juga mendorong sepeda motor malam-malam).” Dalam suasana mencekam, kami masih sempat tertawa mendengar cerita Huda.

Malam itu, aparat Brimob mengepung kampus IAIN. Sudah lama kampus tetangga Unsyiah itu dikenal sebagai sarang aktivis pro referendum.

“Ka paleh, payah ta peu-ingat awak nyoe di PKM (wah celaka, harus kita kasih tahu orang ini di PKM).” Huda seperti baru tersadar.

“Syi ka telp si Falevi yue minah siat ho laen (coba telepon Falevi minta geser ke tempat lain dulu).” Saya yakin, Falevi pasti lagi santai di UKM Salam. “Munyoe hana diteubit, jadeh didrop jih (kalau tidak keluar, dia pasti ditangkap).”

Si Huda mencoba menghubungi Falevi ke handphonenya. Tidak masuk. Berkali-kali dihubungi, selalu terdengar nada sibuk. Pesan singkat yang dikirim juga masih pending. Teman-teman lain di PKM tak ada yang pegang handphone. Listrik padam, jaringan sibuk dan pesan singkat yang dikirim statusnya pending. Sangat tidak beruntung.

Lima menit berlalu, suasana Simpang Galon makin sepi. Tak ada sesiapa pun yang nongkrong. Penjual sudah pada tutup. Orang-orang memilih mengintip dari jendela ruko suasana di luar. Hanya lembu yang masih berkeliaran di jalan.

Tiga unit reo tiba lagi ke Simpang Galon, tapi langsung meluncur ke jalan samping Pascasarjana. Sepertinya, mereka sudah begitu hafal komplek IAIN, dan mengepung dari Jalan lingkar Rukoh. Suasana di Kopelma malam itu benar-benar mirip arena perang. Deru mobil reo, aparat merayap, dan suasana gelap. Lengkap sudah.

Di dalam warnet, selain sesekali memantau suasana, saya ikut membantu mengetik tugas mahasiswa. Alasan pemilik warnet, biar saya dianggap pekerja, kalau tiba-tiba ada aparat yang merazia ke dalam warnet. Saya terima saja. Seingat saya, naskah yang saya ketika malam itu berbahasa Inggris. Harga satu lembar pengetikan kalau tidak salah Rp1000.

Kami sudah pasrah dan hanya berdoa agar teman-teman di PKM tidak kenapa-kenapa. Sebab, beberapa kali usaha menghubungi ke handphone atau mengirim pesan singkat tidak ada yang masuk. Satu-satunya kartu operator telepon yang dipakai pengguna Hp saat itu adalah Mentari. Si Falevi kebetulan juga menggunakan kartu Mentari untuk handphone yang casing-nya bergambar harimau kuning itu. (Ketika penangkapan terjadi, handphone itu sudah duluan disembunyikan di dalam sarung bantal bawah)

KIRA-KIRA pukul 22.30, truk reo meninggalkan kawasan Simpang Galon. Saya dan Huda tak lagi duduk di lantai satu. Kami menyulut rokok di balkon ruko yang menghadap jalan. Dari dalam truk reo, terdengar jeritan orang-orang. Kami sangat yakin, beberapa kawan kami ada di dalam mobil reo itu. Besoknya, koran lokal yang terbit pagi itu menulis: 16 Mahasiswa IAIN Dibekuk Polisi.

Dari ke-16 orang itu, ada teman kami, Falevi Kirani. Pak Harun (pengungsi dari Aceh Utara yang memilih tinggal di komplek PKM), para aktivis Gainpala. Semua yang berada di PKM malam itu ditangkap dan diangkut polisi, kecuali pengurus UKK Pramuka.

Saya tahu kawan-kawan Pramuka tak ditangkap setelah pagi hari ke kampus. Si Fuadi Abdullah yang tahu saya menginap di warnet Stallion bersama Huda membangunkan kami pagi.

“Hai, awak nyoe ka didrop beuklam!” Suara Fuadi yang sering bergelegar itu membangunkan saya. Kami pun ke kampus sama-sama.

Abdillah bercerita tentang prosesi penangkapan para mahasiswa. Ada yang dipukul dengan popor senjata, dipukul pakai balok kayu dan ditendang hingga ke halaman PKM. Semua dikumpulkan dan satu persatu diperiksa KTP-nya.

“Dan, ini yang kita cari.” Begitu tiba giliran KTP si Falevi, aparat girang bukan main. “Siapa yang bernama Falevi?” tanya aparat yang memakai sebu. Mau tidak mau, Falevi harus menampakkan diri. Pukulan demi pukulan diterima aktivis HANTAM itu.

Kenapa pengurus Pramuka tak ditangkap? Ketika aparat memeriksa ke sekretariat Pramuka, mereka mendapati roti TB dan nasi kaleng TNI. “Kenapa ada roti dan nasi kaleng TNI di tempat kalian, hasil curian ya?”

“Ini bantuan dari Kodam. Kami rencana mau menggelar perkemahan.” Abdillah, ketua UKK Pramuka memberi alasannya.

“Oh begitu. Kalian tetap di sini saja, jangan keluar,” perintah aparat itu. Mereka pun selamat, dan tak ikut dibawa bersama 16 mahasiswa itu.

Di pagi itu, saya lihat PKM yang sebelumnya kondisinya cukup bagus itu persis seperti habis disatroni maling. Pintu dan jendela hancur. Ada bercak-bercak darah di lantai. Barang-barang dan kertas-kertas berserakan.

Menurut cerita teman dari UKK Pramuka, banyak dokumen yang dibawa, termasuk bendera Referendum yang pernah dikibarkan saat Sidang Umum MPR Aceh di Masjid Raya itu. Rambut wig, senjata AK-47 dari kayu dan beberapa properti milik UKM Teater Mahasiswa Rongsokan juga diambil.

Kantor UKM SALAM sendiri seperti kapal pecah. Baju-baju dan kertas berserakan. Kliping koran, buku dan beberapa album foto (termasuk milik saya) termasuk yang dicuri malam itu. Yang membuat saya sedih, selain buku The Struggle of Democracy, kliping cerpen dan tulisan saya yang pernah dimuat koran ikut dibawa mereka.

Selagi saya memeriksa suasana di UKM SALAM, istri Pak Harun (yang ikut ditangkap bersama 16 mahasiswa itu), matanya berkaca-kaca melihat saya. “Kaplueng beu juoh neuk, brat that ditanyang gata beuklam (lari yang jauh nak, mereka tanya-tanya nama kamu).” Dia menangis tersedu-sedu.

Mendengar itu, lutut saya melemah. Saya mencoba tegar. “Hana pue-pue bu.” Sebenarnya, dalam hati kecil, saya juga takut. Setelah itu, saya kembali ka halaman PKM, bergabung dengan Huda, Fuadi dan kawan-kawan dari UKK Pramuka.

Ketika sedang bicara dengan mereka, terdengar suara trail polisi. Saya pun disuruh sembunyi. Hari itu, saya pergi ke masjid Fathun Qarib. Kebetulan, tiap pagi ada pengajian untuk anak-anak. Saya yang kebetulan memakai peci haji, berpura-pura jadi teungku. Seingat saya, itulah hari terakhir saya di kampus Darussalam.[]

NOTE: Tulisan ini “Ketika Darurat Militer Diumumkan dan Hari-hari Setelahnya” pernah tayang di website Sulih.com dan kembali ditayangkan di website ini sebagai arsip.

1 thought on “Ketika Darurat Militer Diumumkan dan Hari-hari Setelahnya”

Leave a Comment