KOMISI I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (20 Juli 2016) merilis 14 nama Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) yang lulus fit and proper test. Tujuh di antaranya akan dilantik sebagai Komisioner KKR Aceh. Mereka adalah Fajran Zain, Afrizal Darmi, Muhammad MTA, Masthur Yahya, Fuadi, Evi Narti Zain, dan Ainul Mardhiah.
Menurut pandangan Koordinator Kontras Aceh, Hendra Lawhan Saputra, komposisi KKR Aceh sudah mantap. Kontras wajar menyimpulkan demikian, karena termasuk pihak yang diminta pandangannya oleh DPRA dalam proses tracking jejak calon komisioner KRR Aceh.
Tujuh dari 14 nama yang lulus tersebut merupakan sosok yang memang sudah dikenal publik sebagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap penuntasan berbagai kasus HAM masa lalu. Tidak ada yang bisa kita sampaikan, kecuali mengucapkan selamat bekerja untuk Anda-anda semua sebagai Komisioner KKR Aceh. Di pundak kalian, masyarakat Aceh menaruh harapan besar untuk mengungkap kebenaran atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Setelah itu, baru boleh bicara soal pemberian kompensasi dan rehabilitasi para korban, termasuk perlukah pemerintah meminta maaf atas sejumlah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh.
Sejak keluarnya hasil fit and proper test tersebut, dan kemudian dilansir sejumlah media, jagat sosial media pun heboh bukan main. Sejumlah kolega tak lupa menyampaikan selamat untuk mereka yang bakal ditetapkan sebagai komisioner KKR Aceh itu. Saya pun ikut-ikutan memberi selamat, terutama untuk sahabat saya yang dulu berjuang bersama-sama di Himpunan Aktivis Antimiliterisme (HANTAM): Muhammad MTA dan Fuadi Abdullah.
TAK banyak yang tahu, bahwa ada aroma ‘Sweden’ di tubuh Komisioner KKR Aceh yang baru dinyatakan lulus itu. Bukan sebuah kejutan, jika nama Sweden begitu melekat dalam ingatan orang Aceh. Pasalnya, selama puluhan tahun, banyak tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menghabiskan hidupnya di salah satu negara Skandinavia ini, selain Norway dan Denmark. Anda akan terkejut kalau saya mengatakan bahwa Muhammad MTA dan Fuadi Abdullah merupakan titipan khusus dari Sweden. Sebagian dari Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana kedua orang ini memiliki koneksi yang begitu intim dengan Sweden, kan?
Ceritanya bermula pada 16 tahun silam. Saat penerimaan mahasiswa baru Institut Agama Islam Negeri (IAIN Ar Raniry-kini UIN Ar Raniry), empat calon mahasiswa dari Aceh Utara memilih mencari rumah kost yang dekat dengan kampus. Kebetulan di seputaran Jalan Lingkar Kampus, terdapat sebuah rumah permanen dua tingkat. Rumah ini memiliki beberapa kamar: di lantai satu dan dua. Terlalu mahal untuk dikontrak oleh empat orang. Entah bagaimana ceritanya, para mahasiswa dari Aceh Utara itu mengajak dua orang lagi untuk bersama-sama mengontrak rumah di sana. Alasannya sudah tentu biar masing-masing orang membayar uang sewa lebih murah.
Awalnya saya tidak mengenal satu pun dari keenam pengontrak rumah itu. Maklum, kami sama-sama mahasiswa baru, dan belum banyak berinteraksi satu-sama lain. Ketika masa kuliah matrikulasi dimulai, saya kebagian ruang kuliah di Fakultas Adab. Setiap kali proses kuliah berakhir, saya sering mendengar mahasiswa dari ruang sebelah bernyanyi dan berbicara keras-keras. Belakangan, dari teman satu ruang kuliah saya tahu nama mahasiswa itu: Fuadi Abdullah. Teman satu ruang kuliah matrikulasi dengan saya, T Fakhrizal, kebetulan satu rumah kontrakan dengan mahasiswa ‘heboh’ itu.
Sejak itu, pelan-pelan, kami mulai mengenal satu-sama lain, hingga kuliah matrikulasi selesai dan dikembalikan ke jurusan masing-masing. Kami pun menjadi jarang bertemu karena perbedaan Fakultas. Satu di Fakultas Syariah, satu di Fakultas Adab, dan saya sendiri kebagian di Fakultas Dakwah. Kesibukan masing-masing membuat kami jarang bertemu.
Suatu kali, saya mendaftar basic training Ikatan Siswa Kader Dakwah (Iskada) yang kebetulan proses pelatihannya berlangsung dalam bulan Ramadan. Mahasiswa Fakultas Dakwah seperti punya ‘kewajiban’ untuk mengikuti training Iskada, karena sebagian dosennya merupakan Alumni Iskada dan kakak leting pun banyak yang anggota Iskada. Dalam training itulah, saya mulai berkenalan dengan Muhammad MTA. Saya kenal MTA sejak masa orientasi kampus, karena dia termasuk mahasiswa yang cukup vokal ketika itu. Pertemuan kami itu seperti berkah dan takdir sejarah, dan dalam beberapa urusan gerakan di kampus kami menjadi duet serasi: satu seorang orator, dan satu lagi seorang konseptor. Setidaknya, begitu pandangan kawan-kawan ketika itu.
Setelah selesai masa training Iskada, MTA mengajak saya bermain ke kontrakan dia di seputaran jalan Lingkar Kampus. Di rumah kontrakan itu, saya pun menjumpai para mahasiswa asal Aceh Utara yang ketika kuliah matrikulasi begitu berisik. Selain Fuadi Abdullah, saya bertemu dengan Teuku Fakhrizal, Furqan, Ardian, dan Munawir. Rupanya mereka semua penghuni rumah kontrakan tersebut. Sejak itu, hubungan kami semua menjadi akrab. Lebih-lebih setelah kami terlibat dalam gerakan kampus dengan membentuk “Aksi Aneuk 2000”. Untuk diketahui, Aksi Aneuk 2000 ini adalah cikal-bakal lahirnya organisasi “Penyambung Aspirasi untuk Keadilan (PERAK)”, “Himpunan Aktivis Antimiliterisme (HANTAM)” dan kemudian beberapa dari kami terlibat dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ar Raniry Post.
Baca juga: Ketika Darurat Militer Diumumkan dan Hari-hari Setelahnya
Sudah menjadi takdir, perjumpaan orang dari Pidie dan Pase, pasti akan melahirkan gerakan yang akan menggemparkan Aceh. Begitulah yang terjadi pada kami, yang menjadi ruh lahirnya beberapa lembaga seperti disebutkan di atas. Malah, beberapa diskusi tentang gerakan yang akan kami dilakukan di kampus, lebih dulu diawali dengan diskusi di rumah kontrakan itu. Belum lagi, kami yang tersebar di beberapa Fakultas, tapi berhimpun di organisasi yang sama, membuat kami cukup kuat dan solid. Hal itu membuka jalan untuk masuk ke lingkungan organisasi kampus, dan bahkan langsung bisa memimpin Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Solidaritas Aksi Layanan Masyarakat (SALAM). Padahal, sebagai mahasiswa baru, paling banter kami hanya bisa menjadi anggota UKM lebih dulu. Sebagian dari anggota kami juga bergabung dengan UKM lain, dan mulai menjadi penghuni tetap Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) IAIN Ar Raniry, dan sering menghabiskan waktu di Kantin Aktivis BEMA Cafe di belakang PKM.
Beberapa nama yang patut dicatat dalam kolaborasi orang-orang ‘rusak’ di kampus IAIN ini adalah Muhammad MTA, Taufik Al Mubarak, Fuadi Abdullah, Asmara Diah Saputara, T Fakhrizal, Ardian, Furqan, Munawir, M Rizal Falevi, Mistaruddin, Ilyas, Habibie, Imam Juaini, Abdillah, Fahrul Riza, Syahrul Huda, Ardiansyah, Muhammad Iqbal, Askalani, Misdarul Ihsan, Miksalmina, Junaidi Hanafiah, Malik Ridwan dan beberapa perempuan yang tidak dapat ditulis semuanya di sini.
RUMAH kontrakan di bilang jalan Lingkar Kampus itu istimewa di banding kontrakan lain. Tak hanya karena letaknya persis di pinggir jalan dan dekat dengan Gedung Rektorat, melainkan memiliki dua lantai. Tak sulit menemukan koran bergambar foto anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditempel di dinding. Hal ini cukup wajar, mereka semua masuk kuliah saat euphoria perjuangan Aceh Merdeka lagi memuncak, plus gerakan referendum yang berbasis di kampus Darussalam (Unsyiah dan IAIN Ar Raniry). Saat itu begitu mudah menemukan tiang bendera yang dipasang bendera putih bertulisan kata Referendum berwarna biru. Padahal, tiang itu dimaksudkan untuk mengibarkan bendera merah putih. Saat orientasi kampus, kami pun wajib memakai slayer bertulisan “Freedom for Aceh”. Benar-benar sebuah kampus perjuangan.
Di dinding rumah kontrakan itu, selain dipenuhi koran dengan foto gerakan Aceh Merdeka, juga banyak sekali coretan yang berisi gugatan terhadap Indonesia. Beberapa lembar bendera bulan bintang (Bendera Aceh) juga bisa ditemui di sana. Belakangan, semakin seringnya aparat keamanan masuk kampus, bendera itu disembunyikan di loteng. Saya yang tidak tinggal di rumah kontrakan itu sering mendapat omelan tiap kali muncul siaran pers dari PeRAK atau HANTAM. “Sigo dimuat siaran pers, sigo sijuek awak lon di rumoh,” kata beberapa penghuni kontrakan itu. Menurut mereka, tiap kali ada pernyataan dari PERAK atau HANTAM, mobil berkaca gelap sering kali berseliweran di kawasan kontrakan itu. Pun begitu, pernyataan pers dari PERAK atau HANTAM yang mengecam tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat tidak berhenti sama sekali.
Kini, dua orang yang pernah menghuni rumah kontrakan itu terpilih sebagai Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi – KKR Aceh: Muhammad MTA dan Fuadi Abdullah. Sementara T Fakhrizal menjadi PR di sebuah perusahaan asing di Aceh Utara, Furqan (guru di Aceh Utara), Ardian (pengusaha tambak), dan Munawir (kabarnya jadi PNS di Aceh Timur). Kalau saja rumah kontrakan itu masih ada (saya tak yakin rumah itu selamat dari terjangan tsunami), sepatutnya mereka semua bernapak-tilas ke sana. Tak hanya karena di sanalah mereka tertempa menjadi pribadi tangguh, melainkan juga mereka tak boleh lupa pada kontrakan “Sweden Kost”, seperti nama yang mereka berikan. Pungo kali, kan?