Referendum Aceh pernah menjadi kata paling populer di Aceh pada tahun 1999. Belakangan, seiring banyaknya pelaksanaan referendum di beberapa negara, kata ini pun seperti menemukan momentum kebangkitannya. Sayangnya, referendum hanya digunakan para politisi sebagai gertakan politik semata.
Sumber: Internet
Tanggal 1 Oktober 2017 lalu, 90 persen rakyat Catalonia, Barcelona menyatakan talak-tiga kepada Spanyol. Madrid menyatakan bahwa pelaksanaan referendum yang berakhir rusuh itu ilegal. Meski didukung mayoritas rakyat Catalan, upaya pemisahan diri tersebut bakal mendapat banyak penolakan dari negara Uni Eropa. Perancis, misalnya, langsung menyatakan menolak hasil referendum yang dimenangkan pro kemerdekaan itu. Uni Eropa pun sepertinya tidak mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Setelah referendum Catalonia itu, dua wilayah di utara Italia yang menaungi Milan dan Venice, masing-masing Lombardy dan Veneto juga menggelar referendum. Bedanya, referendum yang digelar itu hanya meminta perluasan otonomi dari pemerintah pusat. Hasil referendum di kedua wilayah itu yang digelar Partai Lega Nord memang tidak seheboh referendum di Catalonia.
Referendum memang sedang menjalari negara-negara di Eropa. Jajak pendapat dianggap sebagai medium paling demokratis saat ini, terutama untuk menyatakan sikap politik. Bahkan, proses Inggris Raya keluar dari Uni Eropa pun dilakukan melalui proses referendum atau lebih dikenal dengan Brexit. Desakan untuk keluar dari Uni Eropa melalui mekanisme referendum juga mulai disuarakan Perancis dan Belanda.
Aceh termasuk wilayah paling sial terkait dengan perjuangan referendum. Setelah Timor-Timur merdeka dari Indonesia melalui jajak pendapat pada 30 Agustus 1999, Aceh sebenarnya tinggal selangkah lagi mengikuti jejak bekas koloni Portugal itu. Sayangnya, elit politik Aceh yang tidak kompak dan konsisten memperjuangkan referendum, menyebabkan perjuangan penentuan nasib sendiri itu kandas di tengah jalan. Belum lagi, rakyat Aceh cepat sekali terlena dengan janji Presiden Abdurahman Wahid yang menjanjikan bakal memberikan peluang untuk rakyat Aceh menggelar referendum tujuh bulan lagi. Padahal waktu tujuh bulan itu digunakan Gus Dur untuk melobi negara-negara yang potensial mendukung referendum agar membatalkan rencanya, serta memberi waktu yang cukup untuk militer Indonesia melakukan operasi rahasia sehingga perjuangan referendum tidak mendapat banyak dukungan dari masyarakat.
Suatu ketika saya membuka-buka kembali koran Serambi Indonesia yang terbit sepanjang tahun 1999. Dari data-data yang saya peroleh itu terlihat bagaimana referendum yang diperjuangkan masyarakat Aceh itu serta didukung elit politik kemudian justru berakhir sebagai sebuah memori sejarah saja. Aceh bahkan cuma memperoleh status otonomi khusus, sesuatu yang dulu ditolak oleh elemen sipil maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dukungan dan Polemik Referendum
Sebuah peristiwa penting nan bersejarah terjadi pada 1999. Perjuangan referendum bergema di seluruh Aceh. Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga yang menerima mandat dari Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) bergerak cepat melakukan sosialisasi referendum kepada masyarakat Aceh, publik nasional dan juga internasional. Berbagai dukungan terhadap perjuangan referendum pun mengalir, dan mendapat simpati masyarakat. Lembaga-lembaga kemahasiswaan, dewan, dan elemen lainnya satu persatu menyatakan dukungan terhadap perjuangan referendum.
Di berbagai tempat di seluruh Aceh, spanduk referendum dipajang di tempat-tempat umum seperti pasar, pusat perbelanjaan, dan di simpang jalan. Sementara grafiti referendum dilukis di badan jalan yang dilalui kendaraan. Sepanjang jalan Medan-Banda Aceh tak sulit menemukan tulisan referendum. Saat itu, banyak yang bergurau bahwa tulisan referendum terpanjang di dunia berada di Aceh.
Dukungan terhadap perjuangan referendum juga datang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Kabupaten/Kota. DPRD Aceh Selatan, misalnya, memutuskan mendukung dan siap memperjuangkan referendum setelah melalui serangkaian dialog dengan mahasiswa dan pemuda serta melalui demonstrasi yang digelar masyarakat. Dukungan lembaga wakil rakyat itu menunjukkan bahwa referendum tak hanya dituntut oleh mahasiswa, pemuda dan masyarakat, melainkan juga para elit yang selama ini hampir tak terdengar gaungnya.(1)
Dukungan terhadap perjuangan referendum yang dituntut mahasiswa dan pemuda juga disuarakan Bupati Aceh Tengah (saat itu), H. Mustafa Tamy yang meminta agar aksi atau gerakan yang dilakukan masyarakat tidak menjurus kepada aksi-aksi makar yang menimbulkan keresahan. Mustafa menyerahkan tuntutan referendum kepada masyarakat. “Kita serahkan yang terbaik bagi rakyat,” katanya.(2)
Untuk menghindari aksi-aksi yang menjurus ke arah anarkis, Kapolda Aceh H Bahrumsyah Kasman ikut turun tangan. Secara tegas, Kapolda membolehkan pawai yang sedang marak dilakukan di tiap Kabupaten/kota.(3) Langkah serupa juga dilakukan oleh DPRD Pidie yang menyatakan setuju pawai referendum damai seperti digagas para tokoh mahasiswa di Pidie. Dewan Pidie hanya meminta agar pawai itu benar-benar berlangsung damai dan tertib serta tidak anarkis.(4)
Menjelang pelaksanaan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh yang bakal digelar pada 9 November 1999, dukungan dari masyarakat dan lembaga terus mengalir. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh dan DPRD Aceh menyatakan dukungan terhadap acara yang digelar oleh SIRA tersebut. Kedua lembaga ini kompak meminta masyarakat Aceh berdoa agar SU MPR berlangsung rukun, aman dan damai.(5)
Dukungan dari MUI dan DPRA sepertinya menjadi spirit dan energi baru bagi masyarakat dan mahasiswa untuk terus memperjuangkan referendum. Buktinya, ketika SU-MPR Aceh digelar, Serambi mengklaim dua juta masyarakat Aceh menggelorakan referendum di Masjid Raya Banda Aceh. Kita bisa saja berdebat soal jumlah yang hadir saat SUMPR digelar, tapi besarnya gaung referendum tersebut terbaca dalam pemberitaan yang menjadi headline di koran lokal itu.(6) Halaman depan Serambi Indonesia hari itu penuh dengan berita tentang SU MPR dan diback-up dalam beberapa berita di halaman dalam dan juga foto.
Kehadiran massa dalam jumlah besar tersebut memaksa presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sedang melakukan kunjungan negeri ke Kamboja menyatakan persetujuannya terhadap referendum. Beberapa hari setelah pernyataan Gus Dur tersebut, Serambi Indonesia menurunkan berita foto tentang sebuah baliho yang dipajang di Banda Aceh yang mengutip pernyataan Gus Dur saat melawat ke Phnom Penh, Kamboja yang isinya: “Kalau boleh ada referendum di Tim-Tim kenapa di Aceh nggak boleh. Itu tidak adil namanya.”(7) Dua hari berikutnya Serambi kembali menurunkan berita tentang sinyal yang diberikan Gus Dur tentang perlu tidaknya pelaksanaan referendum di Aceh. Bahkan Presiden yang juga mantan Ketua PBNU itu menjanjikan pelaksanaan referendum tujuh bulan lagi.(8)
Jurus ‘mabuk’ Gus Dur yang kelihatannya seperti pernyataan orang yang sedang panik itu rupanya mendapat sambutan. Koordinator Presidium SIRA Muhammad Nazar menyebut Gus Dus sebagai seorang demokrat.(9) Mengamini pernyataan Gus Dur, sikap SIRA kemudian mulai melunak dengan meminta masyarakat dan jaringan SIRA di daerah untuk menghentikan pawai referendum, biar tidak disusupi provokator. Saya pikir, inilah kemenangan politik diplomasi Gus Dur terhadap Aceh, yang mengakibatkan perjuangan referendum Aceh melunak.
Menyadari hal itu, Muhammad Nazar tak mau begitu saja termakan dengan pernyataan Gus Dur yang dikenal sangat ‘royal’ mengeluarkan statement dalam memberikan pernyataan di media. Nazar meminta agar pernyataan Gus Dur tersebut diikuti dengan pernyataan resmi pemerintah sehingga tidak terjadi konflik baru di Aceh. Ulama dayah pun ikut mendukung pernyataan Nazar agar dukungan terhadap referendum Aceh oleh Gus Dur menjadi sikap resmi pemerintah. Menurut para ulama, referendum sebagai solusi penyelesaian Aceh sudah final.(10)
Ketakutan kalangan ulama dayah dan juga SIRA terhadap pernyataan Gus Dur terbukti. Sikap Gus Dur tidak didukung oleh anggota kabinetnya sendiri, seperti tercermin dalam pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Dia menyatakan jika referendum dilaksanakan maka pilihannya bukan merdeka melainkan Aceh menjadi daerah yang melaksanakan Syariat Islam secara khusus. Pernyataan Menteri Pertahanan RI ini membuat pemimpin SIRA geram, dan menanggapi dengan keras pernyataan tersebut. Dalam salah satu pernyataannya, Muhammad Nazar menyatakan bahwa jika referendum dilaksanakan di Aceh tetapi opsinya bukan merdeka maka itu sama saja dengan sandiwara dan lawakan politik.(11) Bahkan secara tegas SIRA menyatakan tanpa referendum tak akan ada dialog.(12) SIRA secara lebih tegas menyatakan, bahwa opsi merdeka dalam referendum tidak melanggar hukum. Pernyataan yang menyatakan bahwa referendum Aceh dengan opsi merdeka dianggap melanggar hukum tidak dapat diterima akal sehat.(13)
Mengantisipasi gagalnya referendum Aceh menjadi agenda nasional seperti dukungan yang ditunjukkan lewat pernyataan Gus Dur, SIRA sendiri mulai menyiapkan format dan mekanisme pelaksanaan referendum. Langkah itu diambil SIRA jika ternyata pemerintah tidak menyetujui pelaksanaan referendum. Serambi Indonesia memadukan pernyataan Ketua DPR Akbar Tandjung yang memandang gerakan kemerdekaan tidak dapat ditolerir, dengan pernyataan SIRA yang menyatakan akan menggelar referendum sendiri.(14)
GAM Dukung Referendum
Keinginan SIRA menggelar referendum sendiri tak terlepas dari dukungan yang diberikan terhadap SIRA selama ini, seperti suksesnya SU MPR yang menghadirkan massa jutaan orang sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia. Bahkan, Dewan Mahasiswa Universitas Iskandar Muda (Demui) mendesak SIRA membentuk Dewan Pelaksana Referendum. Desakan itu sebagai langkah jaga-jaga jika sekiranya pemerintah tidak menyetujui pelaksanaan referendum Aceh.(15) Sementara Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah (Ikafensyi) mendesak SIRA melaksanakan Sidang Dewan Perjuangan Referendum Aceh (DPR Aceh) sebagai tindak lanjut SU MPR. Desakan tersebut dimuat Serambi Indonesia berjudul SIRA Didesak Segera Laksanakan “DPR Aceh” (Rabu, 22/12/1999).
Besarnya gema referendum di Aceh, sampai-sampai Cable News Network (CNN) menggelar jajak pendapat untuk mengetahui keinginan masyarakat Aceh. Hasilnya sungguh mencengangkan, karena sekitar 59 persen masyarakat Aceh menginginkan merdeka, 41 persen tetap bersama NKRI dari total 1380 responden. Serambi menurunkan hasil jajak pendapat CNN tersebut di halaman depan dengan judul Jajak Pendapat “CNN” Soal Aceh, 59 Persen Merdeka.
Pasca jajak pendapat yang digelar CNN tersebut, semakin jelas bahwa sebagian besar masyarakat Aceh ingin merdeka seperti yang diperjuangkan Wali Negara Aceh Hasan Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Malah, beberapa hari setelah jajak pendapat CNN, Serambi menurunkan berita yang berisi pernyataan Hasan Tiro yang mendesak referendum Aceh segera dilaksanakan.(16)
Dukungan GAM terhadap referendum Aceh sebenarnya sudah pernah dinyatakan oleh Panglima GAM Tgk Abdullah Syafie. “Yang pasti seluruh rakyat Aceh menuntut merdeka. Namun, caranya yang berbeda-beda,” katanya.(17) Panglima GAM yang sangat karismatik itu menyatakan tuntutan referendum oleh mahasiswa itu sebagai perjuangan damai dan perlu dihormati. Abdullah Syafie pun mengecam jika para pejuang referendum itu dikasari apalagi sampai dibunuh.
Tahun 1999, rakyat Aceh benar-benar larut dalam euphoria referendum. Seolah-olah tak ada kata lain yang paling sering disuarakan masyarakat Aceh kala itu, kecuali kata referendum. Bahkan, pada akhir tahun 1999, Serambi Indonesia menurunkan catatan akhir tahun dengan membuat sebuah kesimpulan yang sangat berani: Referendum, Kata Paling Populer.(18) Kesimpulan itu memang tak mudah diverifikasi, namun dari catatan yang ada menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk Aceh yang berjumlah empat juta orang jiwa itu pasti pernah mendengar, melihat tulisan, ataupun mengucapkan kata-kata referendum.
Kata-kata itu pula yang kini coba dihidupkan lagi sebagai gertakan politik, terutama terkait dibonsainya beberapa kewenangan Aceh. Karena hanya sebagai gertakan politik, apalagi karena menjelang masuk tahun politik, ancaman dengan referendum itu menjadi tak menakutkan. Memang, di belahan lain dunia, orang-orang mulai melihat referendum sebagai jalan tengah bahkan solusi menyelesaikan berbagai persoalan yang mengganjal. Tapi, jika referendum disuarakan karena embel-embel kepentingan personal di dalamnya, apalagi sampai ada desakan agar Aceh mendukung hasil referendum di Catalonia, saya pikir itu benar-benar sebuah sikap salah kaprah.
Benar, orang Aceh memiliki memori terkait perjuangan referendum. Memori itu bahkan pernah coba dihapus dari ingatan orang Aceh melalui masifnya operasi militer ketika Aceh berstatus Darurat Militer, namun tak akan membuat orang Aceh melupakan sejarah manis perjuangan referendum yang bikin gentar Indonesia. Jika wacana referendum dihidupkan lagi sebagai memori bersama silakan saja, apalagi tahun ini merupakan peringatan 18 tahun perjuangan referendum. Silakan produksi kata referendum sepantasnya saja, agar perjuangan referendum tidak dianggap dongeng sebelum tidur. Tapi, jika wacana itu dapat menjadi bahan tertawaan, ya sudahi saja.
Orang Aceh tidak akan kenyang disuapi sesuatu yang cuma utopia belaka.[]
NOTE: tulisan ini hanya review kliping koran SI semata, dan sudah tayang di Steemit