Brief Encounter dengan Kawan yang Baru Pulang dari Iran

Taufik Al Mubarak

Selama Ramadan, aku selalu salat Jumat di masjid raya. Padahal, biasanya, aku sudah cukup nyaman pergi ke masjid taqwa Muhammadiyah. Selain jamaah tidak begitu ramai, salat di masjid yang berupa gedung itu lebih cepat dari masjid lain di Banda Aceh. Saking cepatnya, ketika pulang aku bisa mendengar khutbah dari masjid yang aku lewati.

Jumat terakhir di bulan ramadhan ini terasa spesial, aku bertemu dengan seorang teman lama: Syukur Hasbi. Menurut pengakuannya, dia baru tiga hari berada di Banda Aceh. Sejak enam tahun lalu di berada di Iran, untui kuliah di sana. Setiap jelang lebaran dia selalu pulang, tapi biasanya durasi kepulangannya dua tahun sekali.

Aku tiba di masjid kebanggaan masyarakat Aceh sedikit terlambat. Sehingga terpaksa memilih salat di luar masjid. Saat aku melangkah ke area masjid, Syukur menoleh ke arahku. Aku melihat ada ruang kosong di sampinnya. Aku merapat dan memilih tempat di dekatnya. Kami salat Jumat di luar masjid, di sisi menara selatan. Sejak ada payung elektrik, jamaah yang tidak punya tempat di dalam masjid memiliki banyak alternatif tempat. Di menara bagian utara dan selatan masjid.


Para jamaah patut berterima kasih kepada Abu Doto alias Zaini Abdullah. Selama dia menjadi Gubernur Aceh, pemugaran masjid raya adalah salah satu legacy yang akan selalu diingat oleh para jamaah. Di masanya, masjid yang sudah lama tidak mengalami proses rehab ditata kembali: pembangunan tempat parkir, tempat wudhu dan gerai di bawah tanah. Lalu, yang paling mencolok adalah pembangunan 12 unit payung elektrik serta memasang keramik di halaman masjid.

Kini, saat jamaah membludak seperti pada awal ramadan atau ketika salat Jumat, mereka bisa memilih salat di luar. Bahkan, warga kerap menghabiskan waktu dengan wisata religi di masjid bersejarah itu. Ada yang menyebut, ibadah di masjid kini lebih kental sisi entertainment dibandingkan upaya mendekatkan diri dengan Allah. Ketika malam pertama salat tarawih, para jamaah lebih asik ber-selfie dan mengabadikan aktivitas orang ibadah. Cahaya dari kamera smartphone tampak seperti lampu pada sejumlah boat di tengah lautan di malam hari. Lalu, di sosial media penuh dengan posting foto di arena masjid!

Hasbi memakai kopiah haji coklat, sepadan dengan warna kemeja yang dipakainya, ditambah celanan berwarna abu-abu. Andai janggut dibiarkan sedikit lebih panjang, dia benar-benar sudah mirip orang Iran. Hasbi berasal dari Teupin Raya, tetangga kampung saya. Kami dulu bergabung di lembaga yang sama: Iskada. Sebelum berangkat ke Iran, Hasbi berprofesi sebagai jurnalis sebuah harian lokal. Profesi itu terpaksa ditanggalkan demi menuntut ilmu di negeri para mullah itu.


Awalnya, Hasbi ingin agar posisinya sebagai jurnalis di harian itu tetap diakui meski berkuliah di luar negeri. Namun, kebijakan perusahaan membuatnya tak punya pilihan lain. Dia harus memilih tetap sebagai jurnalis atau menanggalkan profesi jurnalis jika berangkat ke Iran. Akhirnya, dia memilih pilihan kedua: berangkat ke Iran sekaligus menanggalkan profesi jurnalis.

Seusai salat Jumat, kami memilih tempat duduk di bawah payung. Teman kami sesama anggota Iskada, Marwidin Mustafa juga bergabung. Pertemuan singkat itu memberi banyak informasi soal Iran kepada kami. Hasbi bercerita, bagaimana Iran yang dikucilkan oleh Amerika bisa terus bertahan. Menurutnya, semakin Iran dikucilkan, rakyat di sana menjadi bertambah cinta kepada negerinya dan imam mereka, Ali Khamenei.

Masyarakat Iran, kata Syukur, memiliki sebuah pepatah yang sangat terkenal: Amriko hij galate namitune bekune. Artinya lebih kurang adalah Amerika tidak dapat berbuat salah dengan Iran! Pepatah itu, katanya, memiliki makna kira-kira jangankan berbuat hal yang benar, berbuat yang salah pun kepada Iran, Amerika tidak bakal mampu menjadikan orang Iran tunduk pada mereka.


Di Iran, perayaan hari besar kenegaraan seperti tanggal 17 Agustus di tempat kita hanya dirayakan oleh militer dan garda pengawal revolusi. Sementara rakyat mereka biasanya menggelar demo pada hari itu. Dan, dalam setiap demo mereka pasti mengecam Amerika yang disebutnya setan besar.

Dalam setiap demo, rakyat di sana akan berseru satu kata “Murbar Amerika”. Kata itu laksana pekikan “merdeka” di tempat kita. Rakyat Iran melafalkan kata-kata itu seperti sebuah kewajiban. Sepertinya sejak kecil, masyarakat di sana sudah dididik untuk membenci sesuatu yang berbau Amerika.

Salat Jumat di sana bisa menjadi forum yang gaduh. Para khatib biasanya menyampaikan khutbah tentang hukum, fiqih atau tauhid atau tema-tema agama dalam pesan khutbah. Setelah mengulang khutbah dan saat pada penyampaian pesan di antara dua khutbah, mulailah khatib Jumat menyerang Amerika, Israel dan Inggris.

Apa yang disampaikan para khatib itu selalu membangkitkan amarah berlebih orang Iran kepada Amerika. Setiap khutbah yang mengecam Amerika dan sekutunya, sang khatib akan menyediakan jeda beberapa detik memberi waktu kepada jamaah untuk meneriakkan yel-yel: murbar Amerika!

Banyak hal yang sebelumnya tidak aku dengar tentang Iran, tapi diceritakan oleh Syukur. Mulai soal nikah mut’ah, perekonomian masyarakat, kecepatan internet dan kehidupan masyarakat secara umum. Apa yang diterangkan sang teman yang baru pulang dari Iran itu benar-benar membuka mata saya.

Soal nikah mut’ah selama ini keliru dipahami. Seolah-olah kawin mut’ah itu sesuatu yang gampang dilakukan. Padahal, katanya, ketika seseorang memutuskan nikah mut’ah ada sejumlah syarat seperti nikah biasa yang harus dipenuhi. Semua syarat nikah itu harus dipenuhi dalam nikah mut’ah. “Ini untuk menjaga kesakralan sebuah pernikahan, dan menjaga nasab atau keturunan,” jelasnya.

Di Iran, lanjutnya, menikah itu sangat mudah. Beda dengan di tempat kita. Di tempat kita, menikah itu begitu banyak syarat dan terkesan berat. Sementara bercerai begitu gampang dilakukan. “Di sana, menikah mudah tapi bercerai yang susah,” kata dia. Dia mencontohkan, sebelum memutuskan menjatuhkan talaq kepada istri, sang suami tidak boleh berhubungan selama 3 bulan dengan istri. “Ketika seorang istri dicerai, maka dia haruslah benar-benar suci,” tambahnya.

Dalam hal kebebasan internet, Iran seperti di negara timur tengah. Beberapa situs seperti Youtube, Facebook atau Twitter diblokir. “Tapi, biasanya kami akan menggunakan filter berupa layanan VPN untuk membuka akses ke website yang diblokir tadi,” kata alumni IAIN Ar Raniry ini. Saat VPN itu terdeteksi oleh pemerintah, maka para mahasiswa asing di sana akan mencari filter baru.


Seperti kita tahu, Iran terkenal sebagai negara yang begitu mengagungkan keturunan Nabi. Hal ini kemudian diatur juga dalam hal berpakaian. Pemakaian amamah atau sejenis surban, dibedakan antara keturunan Nabi dengan masyarakat biasa. “Amamah untuk said atau keturunan nabi berwarna hitam, sementara orang biasa berwarna putih,” kata mahasiswa yang mengambil konsentrasi Logika Filsafat.

Untuk masuk ke Iran, katanya, sedikit lebih longgar dibanding masuk ke Eropa. Bagi orang yang pernah berpergian ke Eropa atau Amerika, saat masuk ke Iran, akan diteliti lebih ketat dengan orang yang tidak pernah mendapat cap Eropa atau Amerika. “Kalau saya sekarang malah tidak pernah ditanya lagi tiap masuk ke Iran. Mungkin karena wajah saya sudah mirip orang Iran,” kata dia setengah tertawa.

Ada satu hal yang membuat dia kecewa. Sejak April 2018 lalu, Air Asia berhenti melayani rute ke Teheran. Di balik penghentian rute itu, katanya, ada andil Amerika di dalamnya. “Warga di sana menduga kalau maskapai asal Malaysia itu kena semprot sama Trump,” pungkas mantan jurnalis Tabloid Gema Baiturrahman itu.

Setelah terlibat obrolan hingga dua jam itu, kami pun bubar. Aku dan Marwidin langsung kembali ke rumah, sementara Syukur Hasbi memilih menyambangi kantor Gema Baiturrahman di belakang masjid. “Kalau bukan puasa, kita bisa lanjutkan dengan menyeruput kopi atau makan di warung itu,” katanya menunjuk sebuah warung makan di Jalan TA Djalil, warung di mana dulu kami sering makan di sana. []

Leave a Comment