Harlan

Amnesty International cabut penghargaan untuk Aung San Suu Kyi

ACEHPUNGO.COM – Lembaga pembela hak asasi manusia, Amnesty International, memutuskan mencabut penghargaan tertinggi yang pernah diberikan kepada pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada 2009 lalu.

Lembaga itu menyebut Suu Kyi tak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan pembelaan terhadap HAM seperti yang dia lakukan sebelum menjadi pejabat pemerintah.

Salah satu kekecewaan Amnesty International terletak pada kenihilan aksi Suu Kyi ketika kaum minoritas Muslim Rohingya dibunuh dan disiksa oleh militer Myanmar sehingga 700.000 orang Rohingya kabur ke Bangladesh.

“Pengingkarannya tentang keseriusan dan cakupan kekejaman (terhadap kaum Rohingya) berarti prospek situasinya membaik tergolong kecil,” sebut Sekjen Amnesty International, Kumi Naidoo.

Pengumuman pencabutan penghargaan Amnesty Internasional terhadap Suu Kyi dikemukakan pada delapan tahun bebasnya perempuan tersebut dari tahanan rumah.

Saat dia bebas pada 2009, Amnesty memberikan penghargaan Duta Nurani kepada Suu Kyi.

Langkah Amnesty sejalan dengan tindakan sejumlah kota dan lembaga lain yang mencabut penghargaan terhadap Suu Kyi.

Tekanan internasional
Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin de facto pemerintahan sipil Myanmar pada 2016.

Sejak saat itu dia menghadapi tekanan internasional untuk mengecam aksi militer terhadap Rohingya. Namun, dia terus menolaknya.

Dia juga melontarkan pembelaan ketika dua wartawan kantor berita Reuters dipenjara lantaran tengah menyelidiki pembunuhan kaum Rohingya.

Suu Kyi terakhir kali berbicara kepada BBC pada April 2017. Saat itu dia mengomentari laporan PBB yang menyebut telah terjadi upaya genosida terhadap etnik Rohingya.

“Saya pikir pernyataan pembersihan etnik terlalu kuat untuk menggambarkan apa yang terjadi,” ujarnya.

Dalam perkembangan terkini, pemerintah Myanmar pekan ini akan menerima kelompok pertama pengungsi Rohinga dari Bangladesh.

Namun, pelapor khusus hak asasi manusia PBB untuk Myanmar memperingatkan pengungsi Rohingya menghadapi “risiko tinggi penganiayaan” apabila mereka pulang ke negara bagian Rakhine, Myanmar.

BBC


Leave a Comment