Akhir Juli 2010, saya dan teman-teman mengunjungi beberapa negara Eropa, dan sempat singgah di Belanda dalam tour singkat itu. Selagi berkeliling di jalan ‘Oudezijds Achterburgwal di kawasan de Wallen, Amsterdam, aroma ganja begitu menyengat. Bau yang sangat khas itu menguar dari sebuah cafe di kawasan yang cukup familiar di kalangan turis.
Husaini (bukan nama sebenarnya), pemuda asal Bireuen yang sudah lama menetap di Denmark, itu tidak tahan dengan aroma yang segera membuatnya rindu pada tanah indatu. Ia bergegas masuk ke dalam cafe, dan begitu keluar tangannya sudah memegang dua batang rokok berisi ganja.
“Ini harganya 2 euro,” katanya. Husaini sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Amsterdam untuk menikmati ganja. Di balkon flat-nya di Denmark, ia sudah menanam dua batang ganja yang benihnya asli dari Aceh. Sayangnya, pohon ganja itu belum bisa dipanen, karena masih kecil.
Husaini beruntung singgah di Belanda, negara yang pernah menjadi boneka Spanyol. Seperti kita tahu, Belanda adalah salah satu negara yang sudah melegalkan ganja. Di kafe-kafe di kawasan de Wallen ini banyak menjual ganja, dan para pembeli bebas menghisap ganja di mana saja di kawasan itu.
Bagi yang belum pernah ke Belanda, kawasan de Wallen termasuk tak sulit ditemukan. Lokasi yang terkenal dengan Red Light-nya itu adalah kawasan favorit para turis. Ia berada di pusat kota, dan kerap disebut sebagai surga dunia karena bisnis esek-eseknya.
Kami tidak bisa memastikan apakah ganja yang dijual di cafe-cafe di area Dam Square itu berasal dari Aceh atau dari tempat lain. Namun, dalam laporan TEMPO “Menggelar DOM, Memanen Ganja”, ganja Aceh begitu terkenal di kawasan Seadeck, Amsterdam.
“Di ‘sepotong surga’ yang memperbolehkan orang bebas mengonsumsi narkotik itu, daun-daun kering pembawa nikmat dari Tanah Rencong ini dihargai paling mahal dalam daftar menu mariyuana,” begitu ditulis dalam laporan investigasi TEMPO edisi 9 Desember 1999.
Ganja yang dijual bebas itu kebanyakan berasal dari Blangkejeren, Gayo Lues. Konon, ganja di kawasan ini dikenal paling tinggi memiliki kadar tetrahydrocannabinol (THC), zat yang menyebabkan pemakainya “melayang”. Kini, hampir semua ganja dari Aceh disebut berkualitas super.
Kisah ganja Aceh sampai ke negeri bekas penjajah itu tentu saja tidak seharum aromanya. Berdasarkan laporan TEMPO, cerita bagaimana ganja bisa keluar dari Aceh bisa membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Bagaimana tidak, saat Daerah Operasi Militer (DOM) masih berlaku di Aceh, tentara adalah pemilik segala kedaulatan dan kemewahan, termasuk dalam urusan bisnis ganja.
Para oknum tentara kerap memasok ganja ke luar Aceh melalui jalan darat. Mereka tak perlu risau dengan razia dari polisi. Oknum yang membawa ganja cukup mengeluarkan potongan kepala manusia. Bukan isapan jempol, jika selama DOM banyak masyarakat yang dituduh GAM kehilangan kepalanya. Dulu, sempat beredar sebuah foto yang memperlihatkan oknum ABRI dari Kopassus menenteng kepala seorang gerilyawan GAM seusai dipotong.
Seusai memperlihatkan potongan kepala manusia, polisi tidak bakal banyak cincong lagi, dan kendaraan pengangkut dengan “paspor” luar biasa ini akan melenggang menuju Medan. Saat itu dan hingga kini, Medan selalu menjadi gerbang utama ganja Aceh untuk terbang ke penjuru dunia, salah satunya ke negeri Belanda. []
Image: CNNIndonesia.com