SIAPA yang tak takut kehilangan bahasa ibu atau bahasa daerahnya? Tak ada orang yang ingin kehilangan bahasanya karena pada bahasa juga melekat identitas diri pengguna bahasa.
Halnya bahasa Aceh, di samping sebagai lambang dan kebanggaan budaya Aceh, juga menjadi identitas orang Aceh sebagai pengguna bahasa tersebut. Karenanya, kehilangan bahasa sendiri (sebut saja B1) akibat masuknya bahasa lain (sebut B2) ke dalam B1 adalah sebuah ketakutan tertentu dalam tindakan berbahasa. Betapa tidak, pengaruh bahasa lain ke dalam bahasa pertama dapat berupa interferensi yang sangat mengganggu. Hal ini semisal ungkapan teurimong geunaséh yang dimaknai sebagai terjemahan dari kata terima kasih.
Kata geunaséh tidak dapat diartikan sebagai terjemahan dari kasih (memberi), melainkan kekasih atau kesayangan. Misalnya, geunaseh Allah (kekasih Allah), geunaseh poma (kesayangan ibu), geunaseh that lon keu gata (sayang sekali saya paada Anda). Karenanya, kesalahan dalam menerjemahkan dapat berakibat fatal dan mengikis salah satu bahasa.
Kegamangan terkikisnya bahasa Aceh sebagai B1 bagi masyarakat Aceh—tentunya dengan tidak mengenyampingkan bahasa-bahasa daerah lainnya di Aceh—saya jumpai di banyak acara diskusi. Bahkan, keresahan bahasa Aceh akan “punah” merambah ke media lokal terbitan Aceh. Beberapa tulisan tentang ini sempat menjadi diskusi beberapa waktu lalu di media terbitan Aceh. Contoh kegamangan terkikisnya bahasa Aceh, jika di web Aceh Institute, seperti ditulis oleh Sammy Khalifa dengan tajuk Dilema Bahasa Aneuk Nanggroe, kemudian disusul oleh Antropolog Bulman Satar dalam artikelnya Bahasa Aceh di Tengah Krisis Identitas. Keduanya sama-sama khawatir bahasa Aceh akan luntur—jika tak mau menyebutnya punah—karena sukanya masyarakat Aceh menggunakan bahasa lain.
Saya sepakat dengan pendapat bahwa masyarakat Aceh mulai enggan menggunakan bahasa Aceh dengan baik dan lebih gemar berbahasa lain meskipun berdialog sesama Aceh. Akibatnya, terjadilah pencampur-adukan bahasa Aceh dengan bahasa di luar bahasa Aceh, apakah itu bahasa Indonesia, bahasa asing, atau bahkan dengan bahasa daerah lain yang ada di Aceh. Namun, di sisi lain mesti dipahami bahwa bahasa Aceh bukanlah bahasa yang sempurna sehingga transfer bahasa sudah pasti terjadi dalam bahasa Aceh.
Hal yang sama juga dapat dipastikan dialami semua bahasa di dunia. Bahwa tak ada bahasa di dunia ini yang sempurna sehingga acap terjadi adopsi atau terjemahan dari bahasa kedua adalah sebuah kemutlakan. Bahasa Inggris yang sudah menginternasional saja masih melakukan adopsi dari bahasa di luar bahasa Inggris. Bahkan, bahasa Inggris juga mengadosi kosa kata dari bahasa Melayu (Indonesia), seperti kata durian, rambutan. Ada pula kosa kata bahasa Melayu yang diadopsi oleh bahasa Inggris dengan menyesuaikan afiks semisal bamboo untuk sebutan “bambu” dan papaya ‘pepaya’. Akan tetapi, “gila nginggris” lebih bayak terjadi pada penutur kita.
Transfer Bahasa
Transfer bahasa biasa terjadi dalam tindakan kebahasaan, terutama pada kedwibahasaan. Para linguis sepakat bahwa transfer bahasa merupakan pengaruh yang dihasilkan dari persamaan dan perbedaan antara bahasa sasaran yang dipelajari oleh seorang pembelajar bahasa dengan bahasa ibunya yang sudah dia peroleh sejak kecil. Di sini dapat dipahami bahwa terjadinya transfer dikarenakan faktor pembelajaran bahasa. Biasanya, saat pembelajaran bahasa, pengaruh bahasa pertama (bahasa ibu) terbawa dalam bahasa kedua yang sedang dipelajari. Namun, hal ini bisa pula sebaliknya sehingga terjadilah pencampur-adukan bahasa pertama dengan bahasa kedua. Di sinilah kekacauan dalam bahasa terjadi.
Melihat kaedah transfer yang dapat terjadi dua arah, sejatinya transfer dapat dinilai positif, selain negatif. Transfer bahasa yang bersifat positif disebut para ahli dengan istilah integrasi bahasa. Dinilai positif karena sifatnya dapat menguntungkan kedua bahasa akibat penyerapan unsur dari satu bahasa berintegrasi dengan sistem bahasa penyerap. Hal ini seperti saya contohkan di atas, ada beberapa kosa kata yang tidak dimiliki oleh suatu bahasa sehingga dapat dilakukan peminjaman dari bahasa lain. Tujuannya adalah untuk memudahkan. Misalnya, dalam bahasa Aceh sulit mencari padanan kata produksi sehingga kosa kata tersebut dapat dimasukkan untuk menyesuaikan kegramatikalan penuturan kalimat. Kendati kata produksi punya makna dalam bahasa Indonesia sebagai “hasil” sehingga kata memproduksi dapat diganti menjadi menghasilkan dan diproduksi menjadi dihasilkan, tidak demikian adanya jika dibawa ke dalam bahasa Aceh.
Kalimat semisal pupuk itu diproduksi oleh PT Iskandar Muda tidak dapat diterjemahkan menjadi pupôk nyan geuhasé lé PT Iskandar Muda (rancu), meskipun kata hasil dalam bahasa Aceh adalah hasé. Namun, kalimat itu lebih berterima ditulis/diucapkan pupôk nyan geuproduksi lé PT Iskandar Muda. Prefiks di- pada bahasa Indonesia itu menjadi geu- dalam bahasa Aceh, sedangkan kata produksi masih dapat digunakan seperti adanya.
Ini baru contoh transfer bahasa dari bahasa asing (Inggris) ke dalam bahasa Aceh. Dari bahasa Indonesia pun dapat terjadi hal yang sama semisal kalimat saya hendak membeli air buah. Tidak mungkin kalimat tersebut diterjemahkan lôn keuneuk bloe ie boh. Dengan demikian, mau tak mau, frasa air buah tetap mesti diterima/dipakai bulat-bulat dalam bahasa Aceh untuk maksud yang sama. Kalimatnya adalah lôn keuneuk bloe air buah.
Yang mesti diperhatikan adalah tatkala melakukan transfer tidak sampai mengubah makna/maksud. Hal ini biasanya terjadi dalam bentuk kalimat. Misalnya dalam bahasa Aceh kita mendengar kalimat lôn ka trép lônduek di Darussalam. Tentunya sangat salah jika diterjemahkan menjadi ‘saya sudah lama saya duduk di Darussalam’.
Kata lon- untuk “londuek” tak dapat diartikan sebagai “saya”, sebab ini merupakan proklitik. Makna yang diinginkan pun dari kalimat itu sebenarnya adalah saya sudah lama tinggal di Darussalam. Ungkapan londuek mesti diterjemahkan menjadi “tinggal” atau “menetap”. Karena itu, lôn pada lônduek ditulis serangkai.
Terakhir, bahasa kita adalah kita yang menjaganya. Kalau mencampuradukkan bahasa sendiri dengan bahasa asing menjadi kegemaran tanpa dilandasi ilmu, nantilah “kepunahan” bahasa kita. Lihat saja di Malaysia, banyak kosa kata bahasa Melayu yang sudah bercampur dengan bahasa Inggris. Semoga bahasa Aceh tidak sampai demikian. Salah satu cara menjaga kelestarian bahasa dapat dilakukan dengan menyelenggarakan lomba menulis cerita. Hal ini seperti sedang dilakukan oleh Pusat Bahasa Daerah (Pusbada) Unsyiah. Semoga bahsa Aceh tetap lestari!
Herman RN, Magister Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah