ACEHPUNGO.COM – Ketika tahu Perusahaan Listrik Negara (PLN) Aceh tidak mendapatkan anugerah Banda Aceh Madani Award dari Pemerintah Kota Banda Aceh, saya termasuk orang yang paling kecewa dan marah. Bagaimana mungkin Bunda Eli (demikian warga kota memanggil walikota kesayangannya) melupakan PLN yang setengah berhasil mewujudkan mimpi Banda Aceh sebagai model kota Madani?
Saya yakin, tiap kali PLN memadamkan listrik pas masuk waktu Salat Magrib, orang-orang PLN melakukannya dengan sadar. Sangat sadar. Jauh dari niat “galak-galak kutak sigo” seperti slogan situs yang sedang Anda baca ini. Selalu ada alasan di balik pemadaman listrik jelang masuk waktu Magrib, dan alasan itu hanya mampu dipahami oleh mereka-mereka yang memiliki derajat kesufian mumpuni. Salah satunya, agar orang-orang yang sedang nongkrong magrib-magrib di warung kopi segera pulang, dan berkumpul dengan keluarga di rumah dalam suasana gelap-gelapan: menikmati gelap bersama keluarga tercinta! Apalagi, salat magrib di rumah bersama keluarga dalam suasana gelap, kusyuknya luar-biasa.
Apakah cuma itu? Tentu saja tidak. Melalui rutinitas pemadaman listrik, PLN sebenarnya ingin membantu pemimpin di Banda Aceh mengingat kembali suasana di Kota Madinah saat dipimpin Rasulullah dan 4 khalifah sesudahnya, yang oleh Bunda dijadikan patron dalam menakhodai kota tercinta ini. Salah satu momen yang hendak diingatkan oleh orang-orang di PLN adalah saat Bilal bin Rabbah mengumandangkan adzan dari menara masjid yang suaranya menggelegar karena ketika itu belum hadir toa atau mikrofon seperti sekarang. Orang-orang yang sudah terbiasa mendengar adzan dari corong masjid akan kembali bernostalgia ke masa Rasulullah. Mereka bisa merasakan suasana syahdu tersebut, mendengar adzan langsung dari mulut muadzin yang belum terkontaminasi teknologi mikrofon itu.
Sesekali, PLN bahkan memadamkan listrik saat prosesi salat Jumat berlangsung atau ketika khatib menyampaikan khutbah. Melalui cara ini, PLN hendak mengajak kita semua menyimak nasihat khutbah seperti para sahabat Nabi mendengar Rasulullah menyampaikan khutbah yang mediumnya juga belum secanggih sekarang: menggunakan mikrofon atau pengeras suara. Dengan demikian kita akan mengenang kembali bagaimana khutbah disampaikan dengan cara-cara alami, dan umat begitu tersentuh karenanya. Pasalnya, Rasulullah berbicara dari hati-ke-hati.
Pelajaran lainnya dari tindakan ‘terpuji’ PLN memadamkan listrik adalah hendak mendidik kita menjadi manusia sabar. Bayangkan, saat listrik padam dan gadget sedang lowbat, kita begitu sabar menanti sambil berharap listrik cepat menyala. Hanya satu-dua-orang saja yang merepet tak karuan di media sosial yang kebetulan cadangan arus di powerbank miliknya juga low. Intinya, PLN mengajari kita bagaimana menjadi manusia penyabar. Agama kita bahkan menyebutkan sabar sebagai salah-satu ciri orang beriman, dan hal inilah yang ingin diuji oleh orang-orang di PLN. Apakah di kota Madani masih lebih banyak orang beriman atau tidak? Sebab, ketika orang beriman berkurang di kota ini, maka lakab kota Madani menjadi pudar dengan sendirinya, dan hal ini tidak diinginkan oleh orang-orang PLN yang paling beriman itu.
Satu lagi yang ingin diuji dari kita di kota Madani dari prosesi pemadaman listrik adalah soal marah. Sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa marah salah satu sifat setan. Ciri-ciri orang bertaqwa adalah mampu menahan amarahnya. Nah, jika kita marah karena listrik di kota Madani padam berarti kita belum termasuk orang yang bertaqwa. Puasa-puasa yang kita jalani sebelumnya sebagai salah satu sarana mewujudkan manusia bertaqwa belum menampakkan hasilnya. Dengan banyak warga kota Madani yang marah karena listrik padam, berarti warga kota Madani belum benar-benar bertaqwa, dan program Bunda mewujudkan kota Madani yang salah satu indikatornya semakin banyak muncul manusia bertaqwa telah gagal. Untuk menguji itu, Bunda merasa perlu menggunakan jasa PLN, meski secara tidak langsung tentunya.
Pun begitu, ada satu pengalaman yang membuat saya bergembira, terutama setelah pemadaman listrik dua malam berturut-turut, bahwa listrik padam justru memunculkan banyak manusia-manusia yang bersyukur. Saya ingat seingat-ingatnya, pada malam di saat listrik kembali menyala, beberapa tetangga mengucapkan “Alhamdulillah” setengah berteriak. Saking senang dan bahagianya. Coba tunjukkan kepada saya kata apalagi yang lebih tinggi derajatnya sebagai bentuk syukur selain kata Alhamdulillah? Jadi, berterima kasihlah pada PLN! []
Cantek kaliiii lah tulisan abang.. PLN memang ruarrr biasa
Terima kasih katadunia sudah mampir ke sini. Hahaha
Positive thinking yg perlu diasah…. Mantap bang
Terima kasih…daripada merepet tidak perlu mending menulis saja utk menghibur diri. Tks dah mampir
Man bereh tulesan droe neuh aduen taufik, salam dari saya pemain blog lama 😀
Teurimong geunaseh ka neusawue keunoe. Saleum cit keu droneuh pemain blog lama. Geuthei barang