Cut Kak dan Pliek U

Cut Meutia

Mentari pagi  menyeruak dari celah jendela kontrakanku. Warnanya yang keemasan memancing gairah setiap hamba untuk terus berpacu mengarungi hari, seakan tak peduli suatu hari nanti mentari akan berganti warna.

Tepat jam 10 pagi. Gemuruh suara pesawat Garuda menembus bilik peristirahatanku, bersama sang bayi aku pun menengadah, mencoba mengintip dari balik jeruji jendela kontrakanku.

“Sepertinya pesawat yang Cut Kak tumpangi  sudah datang.”  Bisik batinku.

Segera aku bangkit dan bergegas memberitahukan suamiku agar segera bersiap-siap ke Bayan Lepas untuk menjemput Cut Kak.

Jarak Bayan lepas dengan kontrakan kami tidak terlalu jauh, sekitar 15 menit waktu tempuh,  kadang-kadang bisa ditempuh dengang waktu kurang dari 15 menit. Maklum saja ini Pulau Pinang, bukan Jakarta. Pulau Pinang tidak mengenal istilah macet, sedikit bersantai sepertinya tidak masalah.

“Nak pi kat mana?”

Mak cik Anah tetangga sebelah kontrakan kami menyapa. Mak cik Anah asli orang melayu, suaminya keturunan Banglades, kesehariannya memelihara sapi perah. Sekitar 30 ekor sapi harus diurusnya setiap hari.

Setiap pagi aku pun selalu mendapatkan satu cawan susu sapi hasil perahan pak cik Anah. Walaupun ramai orang tidak suka dengan rasa dan aroma susu perahan pak cik Anah, tapi aku sangat menyenanginya. Menurutku, susu murni yang belum terkontaminasi dengan  zat kimia buatan manusia seperti susu perahan Pak Cik Anah  memiliki rasa yang sangat lezat dan bahkan lebih lezat dari susu olahan pabrik.

“Nak Pi Bayan lepas mak cik.” Suamiku menjawab pertanyaan mak cik Anah.

“Ada saudara mara datang kah?”

“Bukan saudara mak cik, dia tu istri teman saya. Dah macam saudaralah…”

Dengan dialeg melayu-Pinangnya yang pas-pasan, suamiku terus saja berbincang dengan Mak cik Anah.

“Dia punya suami kat mana? Apa pasal hang jemput dia?”

Mak Cik Anah meneruskan obrolannya.

“Suami dia kat KL mak cik, petang nanti dia datang kat sini, dia pi jemput anak istrinya.”

“Tak kena stunami kah?”

“Kena mak cik, tapi dia selamat.”

“Hang ni kapan nak balik kat Aceh?”

“Kita orang tunggu damai dulu Mak cik, pasal kat Aceh masih perang, belum damai lagi.”

“Ma cik saya nak pi dulu.”

“Ok ok, pi lah!….baek-baek kat jalan…”

Sambil pamitan kepada mak cik Anah, mobil sedan Acord keluaran tahun 1970 milik kami melaju menuju Bayan Lepas. Alhamdulillah walaupun sedan ini sudah berumur senja, tetapi tidak pernah merepotkan. Hampir setahun sedan putih itu menemani hari-hari kami di Pulau Pinang ini.

Perang telah membawa kami ke Pulau Pinang. Liku-liku kehidupan yang tidak pernah dicita-citakan,tetapi apa hendak dikata, manusia hanya berencana, Allahlah maha memutuskan.  Di Pulau Pinang ini, di kontrakan ini, aku belajar arti kesabaran, belajar makna kesederhanaan, belajar memahami doa, dan belajar mengenal Tuhan dari jarak yang sangat dekat, sesuatu  yang jarang aku lakukan ketika masih berada di kampung halaman.

Setiap detik, setiap menit hanya ada doa dan harap semoga perang itu akan segera berhenti, rasa rindu akan kampung halaman kerap datang mendobrak relung hati. Kala itu, hanya Tuhan dan air mata sahajalah tempat jiwa berserah diri.

Dari kejauhan terlihat Cut kak melambai, memberi tanda bahwa dirinya sudah datang. Setelah semua barang dan proses di Bandara Bayan Lepas selesai, kami pun berangkat kembali menuju rumah kontrakan.

Sesampainya di kontrakan aku mempersilakan Cut kak masuk dan menunjukkan bilik tempat persitirahatannya.

“Terimakasih. Jangan sibuk-sibuk.” Cut Kak berbasa basi.

Setelah memasukkan semua barang-barangnya ke bilik yang berukuran 3×3 M, tepat di sebelah kanan bilikku, Cut kak keluar kamar dan menyerahkan oleh-oleh yang dibawanya dari Aceh untukku.

“Ini, cuma ada pilek u dari kampung, Cut kak ngak bisa bawa yang lain.”

Sambil tersenyum Cut Kak menyerahkan bungkusan  kresek warna hitam yang berisikan plike u ke tanganku. Aku menerimanya dengan senang hati, karena kebetulan Pliek U merupakan makanan kesukaanku. Mendapatkan pliek u yang bagus dan tidak bau tengik di perantauan seperti ini laksana mendapatkan mutiara di kolam berlumpur, begitu berharganya pliek u di perantauan.

Aku sangat berterima kasih kepada Cut kak, karna  mau bersusah payah membawa pliek u untukku, mengingat  aroma pliek u yang begitu menyengat dan sangat kampungan, menjadi alasan tersendiri kenapa pliek u enggan dijadikan oleh-oleh dari kampung halaman, padahal pliek u sangat digemari oleh para perantau  Aceh.

Hanya semalam Cut Kak menginap di kontrakan kami, mungkin aroma kotoran lembu yang berasal dari kandang Pak cik Anah menjadikan Cut kak engan berlama-lama di kontarakan kami.  Keesokan harinya, Cut kak  yang sudah dijemput oleh suaminya langsung berangkat ke KL  (Kuala Lumpur). Setelah hari itu aku tidak pernah lagi bertemu Cut Kak. Suamiku bilang  Cut Kak telah kembali ke Aceh, setelah suaminya berangkat ke Helsinki untuk urusan perdamaian Aceh.

Terminal B bandara Soekarno Hatta

Ditemani barang bawaan kiri kanan dan sebuah novel Perempuan Suci karangan Qaisra Shahraz,  aku santai menanti waktu take off tiba. Aku terus saja membaca lembara-lembaran novel yang menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan Hindustan yang terkekang karena adat dan budaya di daerahnya.

“Sepertinya itu Cut kak dengan anak-anaknya!”.

Keseriusanku buyar ketika tiba-tiba suamiku bersuara sambil menunjuk ke arah perempuan berbaju  hitam dengan tiga orang anak perempuan dan dua orang perempuan lainnya.

“Iya itu Cut Kak, tapi dia sudah cantik sekali.” Jawabku.

Aku pun menghentikan bacaan sambil menutup novelku, berharap bisa berbasa basi dengan  Cut kak yang sudah sekian lama tidak bertemu dan secara kebetulan bisa bersua kembali di Bandara Soekarno Hatta ini.

Namun Cut kak yang aku kenal di Pulau Pinang dulu bukanlah Cut kak yang saat ini berada di hadapanku. Cut Kak yang pernah menginap di kontrakanku  dulu adalah istri seorang buronan, pemberontak Republik ini, tepatnya istri salah satu petinggi Gerakan Aceh Merdeka, sedangkan Cut kak yang berada di hadapanku kini adalah Istri seorang petinggi Aceh saat ini.

Menghadapi realitas ini, lagi-lagi aku harus tunduk di bawah kehendak Tuhan. Dalam hitungan menit apapun bisa terjadi. Jika mengenang masa lalu, sepertinya apa yang  ada di hadapanku saat ini tidak mungkin bisa terjadi. Perjanjian Helsinki telah memutar-balikkan kehidupan Cut kak. Dari istri seorang buronan menjadi istri pejabat tinggi yang dihormati dan disanjung, Subhanallah, inilah hidup!.

Belum habis basa basi dan tegur sapa di antara kami, panggilan agar  para penumpang dipersilakan masuk kepesawat pun terdengar. Aku pun berdiri  sambil mengumpulkan plastik-plastik belanjaan yang berserakan di kiri kanananku.

“Kenapa mau sih…capek-capek bawa barang dengan kantong plastik begitu? Bukannya beli satu tas masukkan dan suruh siapa saja untuk membawanya!” Tiba-tiba Cut kak menyela.

Aku menatap Cut Kak, antara percaya dan tidak. Aku masih saja larut dengan pikiranku sendiri, sepertinya benar, saran yang baru saja masuk ke gendang telingaku benar-benar saran yang berasal dari suara Cut Kak.

Ya…ya…ya. Itukan suara kritikan perempuan berkelas? Cut Kak sekarang kan kelasnya sudah sangat jauh dariku?  Seakan baru tersadar dari mimpi. Kesadaran yang membuat aku tersenyum, senyum yang dipenuhi seribu alasan dan jawaban atas celotehan Cut kak..

“Cut kak, sadarlah! Aku ini masih perempuan yang Cut kak kenal waktu di Pinang dulu, menjinjing kantong plastik seperti ini masih biasa dan wajar bagiku, tidak merepotkan dan tidak pula memalukan.” Kataku sambil terus berjalan dalam barisan mengikuti antrian,  kalbuku terus berbicara, senyumku semakin melebar ketika tiba-tiba satu pertanyaan singgah di benakku: Kemana ya? Cut kak yang pernah menjinjing Pliek U dengan kresek berwarna hitam, disertai aroma tengik yang membosankan itu?

Note:Pliek U (bumbu masakan khas Aceh yang terbuat dari hasil fermentasi kelapa)

Limpoek, 20 Desember 2011