Suatu ketika aku berkesempatan bertemu langsung dengan PYM Bookrak. Seorang lelaki yang kenakalan pikirnya membuat aku mendapuknya sebagai panutan. Sebuah kehormatan bagiku menemuinya di sela waktunya yang padat dan berharga.
Sebagai sesama Steemian yang telah saling mengenal sebelum Steemit lahir, kami berdua mempercakapkan topik yang satu itu. Meski secara umum Steemit adalah wahana konten, kami berdua menempati kekhususan di bidang tulis-temulis; sesuatu yang aku dan PYM Bookrak coba oprek sebagai kategori produk konten yang kami pilih.
“Selama ada Steemit ini, aku udah makin rajin nulis, Bang” ujarnya.
“Aku juga,” balasku sambil tertawa. Ia pun tertawa. Mungkin isi batok kepala kami sama. Menertawakan ke-matre-an diri yang tumbuh seiring hadirnya platform media sosial berupah itu. Iapun mengungkap kekagetannya yang lain tentang kehadiran Steemit. Ia tak menyangka kawan-kawan di sekitarnya memiliki kemampuan menulis bebas.
Nama-Nama seperti Only.Home, Senja.Jingga, Fooart, Homalamba dan Pieasant muncul sebagai bukti kagetnya. Ia tak menyangka samasekali bahwa kawan-kawan yang dikenalnya itu memiliki bakat terpendam. Nama-Nama yang disebut oleh PYM Bookrak pada dasarnya memang insan kreatif. Mereka mampu bermusik, menulis lagu, berpuisi, melukis dan menulis. Tapi baru lewat Steemit-lah PYM Bookrak menemukan bakat lain dalam diri mereka. Pernyataannya yang membuatku makin curiga; sesungguhnya tiap orang bisa menulis!
Obrolan lantas meluncur seputar konten tulisan yang begitu beragam. “Tulisan kawan-kawan di sini nggak kalah dengan yang pernah kulihat di luar, Bang,” ujarnya. Menyusul penjelasan mengenai perjalanannya ke Bali dan Yogyakarta ketika menghadiri helat seni dan pameran buku beberapa waktu lalu. Ia tak menemukan hal yang bombastis dalam tulisan yang dipamerkan tersebut. Menurutnya, kelebihan orang luar ada pada tingkat kepercayaan diri.
“Di pameran buku itu, orang bisa pilih buku yang dijilid khusus. Mereka memilah naskah esai atau cerpen mana yang disukai, lalu membawanya ke meja kasir. Kasir menjilid langsung dengan sampul sesuai keinginan si pembeli. Jadi, tiap orang bawa buku yang khas saat mereka keluar dari arena pameran,” paparnya. Aku terpana mendengar pengalamannya. Sungguh tak salah aku memilih idola!
Otakku dipenuhi perdebatan mengenai kepercayaan diri. Sementara fakta yang dibawa oleh PYM Bookrak telah menunjukkan,para penulis di Aceh yang berkiprah di Steemit tak kalah hebat dengan penulis di luar. Sebab, ternyata tak perlu isi tulisan yang luarbiasa. Mungkin saja pembaca menginginkan konten yang biasa-biasa saja. Atau, mungkin sebuah pengalaman biasa yang dicatat oleh seorang penulis adalah hal baru dan mungkin luarbiasa bagi pembacanya di luar sana!
Konten yang mungkin memiliki keterkaitan dalam keseharian mereka. Mungkin orang-orang sudah jenuh dengan faktor-wow! dalam sebuah catatan. Jenis jenuh yang mustajab diusir dengan sesuatu yang biasa-biasa saja. Kisah mengenai keseharian yang tak berlumur petualangan semacam mengurai embik kambing di kandang tetangga atau bunyi cicak yang tengah horny mengejar betina. Atau senarai nakal Rio de Jak Siuroe yang mengisahkan ia tak punya postingan malam ini.
Mengamati langsung perkembangan akun-akun para kreator konten di Steemit membuatku mengukuhkan pandangan tersebut. Terutama soal pandangan penulis lokal dan penulis luar. Bahkan mungkin sekat di dunia penulisan tak terkait samasekali dengan urusan batas wilayah administratif. Sebab, batas atau pembeda dari setiap tulisan kerap melintas ruang. Seseorang yang hidup di satu tempat mungkin memiliki ketertarikan menulis hal yang sama. Atau sebaliknya, beberapa orang yang berinteraksi dalam lingkup pergaulan yang sama justru memiliki ketertarikan dan gaya menulis yang berbeda.
Satu fakta penting yang kutemukan saat berinteraksi di Steemit kusebut sebagai Fenomena Oja. Ya. Aku terpana menyaksikan saudaraku Oja Atjeh begitu piawai menulis dalam bahasa daerah. Berbeda jauh dengan gaya penulisannya yang menggunakan bahasa nasional. Senarainya begitu renyah. Dan aku tak ‘kan bosan menceritakan kekagumanku terhadap karyanya yang satu itu. Karya berjudul Ek Manok, Ek Canok dan Ek Nok Meulempap’s dan Meu Arakatee.
Pada artikel tersebut, Oja membahas mengenai motivasi di Steemit. Dengan gamblang ia mengurai bahwa orang yang mengatakan ber-Steemit semata untuk menjalin pertemanan adalah hal yang patut dipertanyakan. Blak-blakan sekali ia berkata bahwa motifnya meracik konten di Steemit adalah karena manfaat finansial adanya, meski bukan satu-satunya. Intinya, Oja bermaksud menyatakan bahwa pengingkaran fakta motif finansial dalam merajut asa di Steemit adalah omong-kosong adanya.
Namun, aku tak menampik sebuah fakta Steemit lainnya, mendapat kawan baru. Nama-Nama seperti Aan Orcheva, Adzilikram, Fara, Ihan, Ichsan Maulana, Seniman Bisu, Maya Maulida, Dody Bireuen, Kaki Lasak, Win Ruhdi Batin, OK Indra Perdana, Yamin, Yaisar Dinarto, Rahmanovic, Tu-ngang Iskandar, Better Person, Mariska Lubis, Happy Arbi, Dr Razak, Harock, Hendra Fauzi, Kems, Levycore hingga Aiqa Brago. Mungkin kalau aku serius menghitung, bakal muncul sekurangnya 50 nama kawan baru. Sebuah pencapaian penting bagiku. Selebihnya adalah nama-nama yang sudah bertahun-tahun bercokol dalam hidup.
***
“Kalau Abang sendiri, apa motivasi di Steemit selain uang?” tanya PYM Bookrak memecah lamunanku.
“Aku mau nabung tulisan. Siapa tau bisa jadi buku,” jawabku. “Tapi tak kupungkiri, STEEM dan SBD menjadi motivasi awal aku bikin akun Steemit,” tambahku lagi.
Saat ia bertanya, aku telah merekap seluruh tulisan yang saat itu masih berjumlah 50-an. Sudah ada 50 ribu kata yang berhasil kucuapkan sebagai gagasan. Sekedar celoteh yang beberapa di antaranya menimbulkan kepuasan jiwa bagiku. Sesuatu yang berasal dari perenungan mengenai beragam hal yang kutemui.
Aku tak lagi peduli tentang berapa penting isinya, siapa yang sudi membacanya, atau akan adakah yang membelinya. Tugasku menulis, setelah ia mewujud, kuserahkan kewenangan membaca sepenuhnya pada orang lain. Berdasarkan uraian PYM Bookrak pula, aku baru ngeh, ternyata buku bertajuk Judul di Belakang adalah kumpulan tulisan kawan-kawan Steemian yang kerap bercokol di Komunitas Kanot Bu. Menurutnya, JdB adalah buku berbasis Steemit pertama di Bumi. Krak!