Diyus

Mencari Fase Desentralisasi Ekonomi di Masa Lalu (Penutup)

Baca Juga:

Sesunggguhnya bagian paling menggoda dari tulisan Nona Fara yang berjudul Berkenalan dengan Sentralisasi dan Desentralisasi adalah klaim bahwa desentralisasi sebanding dengan demokrasi. Hal yang menimbulkan pertanyaan mendalam bagiku. Sebab, sepengetahuanku demokrasi adalah wujud sentralisasi hak dan kedaulatan setiap orang. Sebagai uraiannya aku akan membahas mengenai kaitan antara demokrasi dengan kedaulatan.

Itu sebab tanggapan terhadap catatan Nona Fara tersebut kutulis dalam beberapa bagian. Di bagian terakhir ini aku akan membahas mengenai konsep desentralisasi di masa lalu.

Kupikir, gagasan yang paling segar dalam senarai Nona Fara adalah soal desentralisasi kedaulatan yang dikaitkan dengan desentralisasi sistem moneter cryptocurrency. Trend desentralisasi kedaulatan mata uang digital yang menginspirasi beliauw untuk mengulik sebuah sistem kedaulatan yang dianut di Indonesia hingga kini, Demokrasi.

Meski diterjemahkan sebagai “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, Demokrasi bukanlah bentuk yang tepat untuk disandingkan dengan desentralisasi. Sebab, demokrasi adalah sentralisasi itu sendiri. Konsep demokrasi beranggapan bahwa setiap orang dilahirkan dengan membawa hak dan kedaulatan. Jadi, demokrasi melandasi konsepnya dengan kedaulatan individu. Sampai di sini semua masih tampak baik-baik saja dan sesuai dengan konsep desentralisasi. Sebab, frasa “setiap orang dilahirkan dengan membawa hak dan kedaulatan” sangat tegas menunjukkan pola terpilah atau tersebar (desentralisasi).

Konkretnya, setiap orang yang lahir memiliki kedaulatan sebagai presiden, anggota parlemen, hakim, polisi dan jaksa. Juga kewenangan di ranah birokrasi dan administrasi pemerintahan. Kewenangan tersebut lantas secara fiksi (bukan fiktif) dianggap telah terwakilkan atau terdelegasikan dalam tiga pilar utama demokrasi; eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Masalah sesungguhnya timbul ketika demokrasi cuma mengenal istilah pemilihan anggota legislatif atau pemilihan presiden, tapi tidak lengkap dengan penurunan anggota legislatif atau penurunan presiden. Artinya, kewenangan rakyat cuma untuk memilih bukan menurunkan penghuni kursi legislatif atau eksekutif. Berdasarkan uraian di paragraf ini; Dimanakah letak desentralisasi dari demokrasi? Atau, kuajukan pertanyaan yang lebih mendasar lagi; Adakah desentralisasi dalam demokrasi.

Sebelum kalian menjawab dalam hati, kuulangi lagi, “Demokrasi cuma membuka peluang untuk mendelegasikan kewenangan (memilih kandidat) tetapi tidak memberi ruang penurunan atau pemecatan kandidat oleh rakyat yang telah memilihnya.”

Jadi, tanpa disadari ketika tiap orang lahir dia sudah harus menerima ‘realitas negara’ yang terberi atau diberikan begitu saja (given). Realitas yang mesti diterima, dipahami dan dilaksanakan. Kedaulatan yang semula menyebar pada tiap orang tersebut lantas didelegasikan dalam bentuk penyaluran hak pilih terhadap anggota eksekutif dan legislatif. Artinya, saat tiap orang memilih kandidat legislatif dan eksekutif, mereka telah mendelegasikan tiap kedaulatannya yang didapat saat lahir.

Kewenangan eksekutif menjelma menjadi birokrasi, perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Sementara kewenangan eksekutif mewujud menjadi seperangkat aturan. Fakta inilah yang membuat aku tidak sepakat dengan pandangan Nona Fara; demokrasi = desentralisasi.

Untuk mengurainya, kita perlu memahami bersama mengenai ideologi, bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Banyak literatur akan menyebutkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan. Artikel ini akan lebih panjang dan membosankan jika kuurai satu persatu. Saranku, coba googling saja. Hahahahahaha…

Sejatinya demokrasi adalah mekanisme penentuan pemimpin atau metode pengambilan keputusan semata. Jadi, seolah-olah rakyat telah mendaulat (menyerahkan kuasa) para kandidat (eksekutif dan legislatif) untuk menjalankan roda pemerintahan. Di sinilah ilusi pertama demokrasi yang mengesankan desentralisasi. Padahal sesungguhnya ia adalah bentuk lain dari sentralisasi.

Bentuk peralihan kekuasaan dalam sistem demokrasi dianggap paling “wow!” karena Polybius menghilangkan mekanisme kepemimpin di masa komunal primitif. Polybius atau Polybios menyusun sebuah siklus pergantian kepemimpinan dalam tatanan masyarakat. Siklus ini dianggap sebagai fase pergantian sistem pemilihan pemimpin yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia.

Secara umum, Polybius beranggapan ada 3 bentuk kepemimpinan yang pernah digunakan manusia ditambah dengan 3 bentuk penyelewengan kekuasaan. Jadi secara keseluruhan ada 6 bentuk gejala kekuasaan dengan ilustrasi perubahan fase sebagai berikut:

  1. Monarki: Kepemimpinan tunggal oleh raja yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Suksesi (pergantian kepemimpinannya) dilakukan berdasarkan keturunan karena anggapan raja yang baik dianggap akan melahirkan keturunan yang baik pula.
  2. Tirani: Kepemimpinan tunggal oleh raja yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaan. Fase ini timbul karena beberapa faktor: Kebanyakan anak para raja tidak mendapat pendidikan tata pemerintahan yang memadai dan diperlakukan secara manja, terlalu mendengar bisikan orang di sekitar yang menggerogoti tata-kelola pemerintahan, intrik para selir, guna-guna istri muda dan macam model kendala lainnya;
  3. Aristokrasi: Sekelompok orang cerdas dan bijaksana mengambil-alih kekuasaan seorang Tiran dan membentuk kekuasaan baru. Pemegang kekuasaannya adalah sekelompok orang yang dianggap bijaksana dan memiliki kemampuan di bidang tata pemerintahan;
  4. Oligarki: Sekelompok kecil orang yang dianggap bijaksana tersebut ternyata mengelola pemerintahan secara sewenang-wenang dan cenderung mementingkan kelompoknya saja;
  5. Demokrasi: Perlawanan terhadap sekelompok orang cerdas dan menindas tersebut melahirkan sebuah konsep baru yang disebut demokrasi. Setiap pemimpin yang akan menjalankan roda pemerintahan mesti dipilih langsung oleh rakyat;
  6. Okhlokrasi: Pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat tetapi melaksanakan pemerintahan dan pengelolaan negara secara sewenang-wenang.

(6 fase di atas adalah ilustrasi yang bercampur dengan definisi)

Lantas, apakah ada fase di masa lalu yang dapat menjadi landasan historis konsep desentralisasi? Syukurlah. Ternyata ada. Sudah kusebut di awal tanggapanku berupa fase hidup komunal primitif. Ketika setiap orang masih hidup dan memenuhi kebutuhan hidup bergantung pada hasil alam. Saat manusia masih memandang bahwa kepemimpinan dan pendelegasian kewenangan adalah hal yang tidak dipandang krusial untuk dilakukan. Saat pergantian kepemimpinan semata dilandasi oleh kompetensi, tanpa intrik busuk yang memuakkan.

Pandangan yang ingin mengembalikan kedaulatan manusia secara terdesentralisasi bukanlah hal baru. Paham anarkisme dan segala mazhab turunannya adalah kaum yang mengusung kampanye untuk kembali mendesentralisasi kekuasaan manusia. Mereka mengusung tatanan masyarakat tanpa negara. Anarkisme sangat padan dengan konsep desentralisasi, dalam pembahasan kita, desentralisasi moneter yang diterapkan dalam cryptocurrency.

Sebentar, sebelum maju lebih jauh, kata anarkisme selama ini identik dengan kekerasan. Padahal, anarkisme cuma ideologi lainnya. Sama seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan isme-isme lain yang melandasi sebuah tatanan masyarakat. Selama ini media massa dan/atau penulis telah menggunakan pilihan kata (diksi) yang salah saat menjelaskan kekerasan. Kekerasan adalah kekerasan, sebab apapun ideologinya, tiap penganutnya isme tertentu berpotensi melakukan kekerasan. Jadi, anarkisme bukanlah kekerasan.

Kehendak kaum anarkis untuk membangun sebuah tatanan masyarakat tanpa negara dilandasi kesadaran yang layak kita perhatikan; kebanyakan tatanan pemerintahan hari ini (negara ataupun kerajaan) dianggap gagal memenuhi kewajiban saat menerima delegasi kekuasaan. Faktor utamanya adalah luas wilayah dan kompleksitas sektor yang ada di dalam sebuah negara.

Kaum anarkis percaya, jika kewenangan rakyat didesentralisasi sesuai dengan teritori dan sektor produksi, keberadaan negara tidak diperlukan. Tiap kelompok masyarakat (sesederhana apapun corak produksinya) dianggap mampu mengatur hajat hidupnya dan mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Sebagai sebuah paham, anarkisme juga memiliki mazhab yang bervariasi. Silahkah gali sendiri literatur yang bertebaran di Jagad Internet.

Kesimpulan

Poin kesimpulan akan kuisi dengan menjawab beberapa pertanyaan di akhir tulisanku sebelumnya:

T: Benarkah rasio Nona Fara mengenai contoh desentralisasi di masa lalu yang menggunakan acuan feudalisme dan monarki dengan demokrasi tepat adanya?

J: Tulisanku sudah menjawab.

T: Apakah benar teknologi Blockchain adalah sistem desentralisasi informasi teraman?

J: Belum tentu. Hampir setiap kode dan kunci yang dibuat oleh seorang manusia dapat diurai oleh manusia lain. Bahkan jika mereka hidup di zaman yang berbeda.

T: Apakah benar transaksi orang dengan orang dalam sistem Blockchain sepenuhnya aman dan cepat?

J: Lumayan benar. Birokrasinya memang cepat, tapi tiap jenjang transaksi ada potongannya. 

T: Apa saja dampak sistem transaksi orang dengan orang (akun dengan akun) di sistem Blockchain?

J: Kepastian hukum ketika terjadi penipuan, sengketa atau kesalahan sistem. Transaksi benda-benda terlarang menjadi lebih mudah dan terfasilitasi dengan teknologi ini. 

T: Apakah benar sistem penyimpanan datanya bersifat permanen (tak dapat dihapus) setelah mengalami validasi dan penyegelan?

J: Belum tentu. Segala yang pernah mengalami ada akan mengalami hilang.

Jadi, sebelum kalian semua muntah membaca tulisan yang mungkin memusingkan ini, kusudahi dahulu tanggapan dan dukunganku terhadap cita-cita dan Cinta Nona Fara terhadap desentralisasi kekuasaan. Sesungguhnya perbedaan di antara kami cuma soal ini saja. Percayalah, kami berdua lebih banyak sepakat ketimbang berdebat. Jadi, tak ada perang apapun di antara kami.

PS: Aku tak hendak mengkampanyekan paham anarkisme. Segala yang kutulis semata bertujuan memberi uraian mengenai kesesuaian desentralisasi dengan anarkisme semata; fakta yang bisa kalian temukan di pelbagai literatur. Sebab, banyak istilah yang sekarang ini kita gunakan sesungguhnya telah melenceng dari makna aslinya akibat kemalasan penulis (jurnalis maupun peneliti) untuk mencari diksi yang tepat. Akibatnya, pembaca yang malas mencari lebih jauh akan menggunakan diksi tersebut sebagai istilah yang salah dipahami dan salah terpahami.

Meski ini tulisan penutup, aku membuka diri terhadap tanggapan tulisan lain atas tulisan terakhir ini.

 

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4
  5. Image5
  6. Image6

 


Leave a Comment