Zulfan terlahir sebagai penghibur. Ia berjenis kelamin laki-laki. Setidaknya demikianlah pengakuannya dalam setiap dokumen kependudukan dan administrasi perkuliahan. Demikian pula dengan pakaian yang selalu ia kenakan. Rokok yang ia hisap dan pasangan yang ia pilih sebagai kekasih. Ia selalu tampak mesra dengan perempuan. Kuanggaplah ia lelaki. Fakta empiris terakhir untuk memeriksa isi cawatnya tak pernah tebersit ingin kulakukan.
Begitu yang kutau selama ini. Sebagai lelaki, aku tak memiliki kepentingan untuk memastikan kelelakiannya. Kuanggap saja ia lelaki. Toh aku tak berkepentingan soal kelaminnya. Selama kuliah, ia dermawan berbagi racun denganku. Kami sesama penyuka lagu Iwan Fals, Boomerang, Powerslaves, God Bless dan band-band metal ’70-’90-an. Semangat dalam lirik dan hentakan musiknya yang menularkan kemarahan pada para penindas. Khusus bagi si Pan, ia menyerapnya menjadi ide lagu yang kemudian menyublim dalam Amroe and Pane Band.
Sesekali ia memang menyebalkan. Terutama saat ia benar. Sungguh sukar menerima kebenaran dari seorang kawan yang sehari-hari kutau fi’il-nya.
“Malam ini gerhana, ya?” cetus Pojant dengan nada suara setengah bertanya. Membuyarkan lamun di benakku, mengenang kawan yang saat ini tengah berstatus ahli musibah.
“Ya… kudengar ‘gitu,” jawabku.
Aku langsung teringat sebuah momen gerhana yang kulalui bersama Zulfan dan Rahmat Yani di Pantai Lampuuk. Jika tak salah aku mengingat, peristiwa itu berlangsung tahun 2000-an awal. Akupun langsung mengisahkan pada Pojant. “Aku pernah dengar shalat gerhana rukuknya 2 kali,” ujarnya berkomentar.
“Waktu itu macam mana kau shalat?” tanya Pojant.
“Nggak ingat aku, Genk…” jawabku. “Aku cuma ingat waktu itu si Pan yang jadi imam,” jawabku. Aku mulai ragu dengan peristiwa belasan tahun silam itu.
“Berarti itu PR kita. Nanti kau ingatkan pas di sana. Kau tanya lagi sama si Pan. Apakah waktu itu 2 kali rukuk dalam satu raka’at…” ujar Pojant. Aku menjawab dengan anggukan. Ternyata, di mobil ini, cuma aku yang pernah shalat gerhana. Padahal, Pojant-lah satu-satunya orang yang aktif belajar fiqih di pengajian dayah. Kacaunya lagi, aku tak ingat pasti rukunnya.
Zulfan adalah sisa-sisa generasi ‘70-’80-an. Bandel, tapi tetap bisa mengaji dan menjalankan rukun shalat. Ia terlahir gagap, dengan sejumput tompel di puncak pipi kanannya. Sifat dan sikapnya periang, usil dan kreatif. “Ini cara Tuhan menandai aku,” ujarnya kepada kami, kawan-kawannya yang kerap menghabiskan malam bersama di kampus.
“Jadi, kalau nggak ada tompel itu kau bakal hilang dari pantauan Tuhan?!” tanyaku dengan nada menuntut.
“Ng… ng… nggak. Mak… maksudku, Tuhan udah kasi aku tanda khusus. Kalian jangan irilah…” ujarnya dengan nada penuh kemenangan, dan sebentang senyum yang membuat ujung bibirnya hampir menyentuh telinga.
Belasan lelaki seumuranku yang malam itu (seperti juga ribuan malam lain) begadang di kampus terbahak mendengar penjelasannya. Mungkin banyak orang merasa minder jika berada di posisinnya, tapi tidak si Pan. Ia menganggap segala yang diterimanya adalah anugrah, menerimanya dengan berbahagia dan membagikan kebahagiaan yang ia terima, apapun bentuknya.
Benakku terus saja menggali kenangan mengenai kawanku yang satu itu. Bahkan hingga tiba di tujuan. Pendakian yang pernah kami lakukan bersama, pendidikan dasar, masa orientasi kuliah, hingga seorang perempuan yang sama kami sukai. Bukan rumahnya yang pertama kami sambangi. Melalui sebuah pesan ia mengarahkan kami untuk berkumpul di sebuah warung kopi yang terletak 100 meter dari bibir gang menuju rumahnya.
Aku tiba paling akhir ke dalam warkop. Duka tak berjejak di wajahnya, tak juga kutemukan di kelopak matanya. Ia seperti biasa, tertawa lebar, mengenakan baju koko lengan pendek berwarna krim. Kujambak jenggot dan rambutnya sebelum kujabat tangan kawan yang kukenal 19 tahun silam itu.
Sepertinya misi penghiburan kami tak terlalu berat. Sebab kulihat ia tetap mampu melemparkan kelakar. Di saat-saat terakhir, ketika Mamaknya sakit parah, Zulfan mendapat kesempatan mengurusi segala keperluan dan keinginan Almarhumah, sebab para kakak dan para adiknya telah bekerja, sementara ia masih ehm… kuliah! Kupikir ia cukup puas mendapat kesempatan tersebut. Di pergelangan kanannya kulihat melingkar sebuah ikat rambut berwarna hijau-pucuk-pisang. Aku langsung menggoda.
“Ha… ini barang bukti, kau tidur sama perempuan mana tadi malam?” tanyaku. Seluruh rombongan memandang ke arahnya, bersiap untuk mengeroyoknya dengan perolokan susulan.
Ia tersenyum bangga sebelum menjawab, “Ini ikat rambut terakhir yang dipakek Mamak sebelum ‘pergi’,” ujarnya lirih. Wajahku dan kawan sekerumunan kaget. Tapi Zulfan tak menunjukkan tampang kesal, ia malah bangga dengan benda terakhir yang mengikat rambut almarhumah Mamaknya. Menatapnya beberapa kali dan tersenyum saat matanya mengurai jejak kisah dengan perempuan yang melahirkannya.
PS: Saat hendak memposting tulisan ini, baru kusadari bahwa kami belum pernah berfoto berdua meski sudah berkawan selama 19 tahun September nanti.
Sumber foto: Facebook si Pan