Diyus

Semangkuk Sup Grong-Grong dalam Riwayat Para Pengingkar

Perjalanan penghiburan kami berakhir usai bersantap siang di rumah si Pan. Aku sempat tertidur di rumahnya usai makan siang, tapi tak ingat berapa lama. Setelah bersalaman tanpa cipika-cipiki, rombongan bergerak menuju kebun Yasir Buloh di Buloh Blang Ara, sebelum meluncur ke Banda Aceh. Hampir 50 buah durian kami santap beramai-ramai. Seingatku, sudah 3 tahun aku tak makan durian. Aku tak gemar, tapi juga tak anti durian.

Belasan buah durian tersisa saat masing-masing dari kami sudah merasakan kenyang dan eneg. Ruang bagasi mobil yang kutumpangi lebih luas, sehingga derita itu kami tanggung: membawa sisa durian untuk diantar ke rumah si Pan. Bersyukurlah jika tak pernah mengalami sensasi selaknat ini. Aroma parfum yang berpadu dengan kulit pelapis jok mobil saja sudah bikin aku mual. Hari ini aku mendapatkan tambahan latihan kesabaran, menerima aroma durian bercampur atmosfer parfum mobil dan aroma lateks pelapis jok. Semoga Tuhan menjauhkan kalian dari siksaan sekeji ini… Aamien…

Melalui telfon, Pojant meminta si Pan ke tepi jalan untuk mengambil durian agar kami tak perlu lagi masuk ke gang rumahnya. Setelah menurunkan sumber pusingku selama 30 menit terakhir itu, kami meluncur menuju Kutaraja. Di sepanjang perjalanan, terungkitlah kembali kisah Sup Grong-Grong yang pernah kuriwayatkan di keberangkatan kami. Bukoum masih menolak percaya. Aku maklum saja. Ia adalah kaum pengingkar. Golongan yang menolak kebenaran yang dibawa para nabi di masa lampau. Sudah bisa kubayangkan macam mana tampangnya setelah ia menyelami empirisme sup Grong-Grong di ⅓ malam paling akhir. Di ‘suluh ketiga’, kalau kata Pojant.

Saat kami masih di Sigli, sebuah panggilan telpon dari Rahmat Hidroponik masuk, mengabarkan bahwa mereka telah tiba di Grong-Grong. Ia menanyakan nama warungnya. Si Bukoum yang menerima panggilan telpon meneruskan pertanyaan padaku. “Lupa aku nama warungnya, liat aja warung yang pelataran parkirnya banyak L300,” jawabku.
Bukoum menyampaikan penjelasanku kepada Rahmat Hidroponik di seberang sana. Panggilan telpon berakhir. Belum sampai semenit, si Rahmat menelpon lagi. Warung yang kusebut ada, tapi supnya tak ada. Wajah si Bukoum penuh kemenangan. Aku tetap anteng.

Setelah rasa sup Grong-Grong bersabda di lidah Para Pengingkar

“Kalau nggak yakin, tunggu kita sampek aja!” jawabku dengan nada malas. Perut sudah mual karena memang sudah lewat waktu santap malam menurut jam di tubuhku.

10 menit kemudian kami tiba di TeKaPe. Aku melangkah masuk, kuliat Hafidh Polem, Zulham, Rahmat Hidroponik dan Fadh sudah menyantap semangkuk sup bersama, menatapku penuh pengakuan, setelah sebelumnya meragukan ceritaku. Aku cuma menanggapi ekspresi mereka dengan mengangkat alis dan bertanya, “Pakiban? Macam mana sensasi menyantap sup di ⅓ malam paling akhir?”

Meski telah lapar, aku lebih memilih menyambangi mereka untuk memastikan paras para pengingkar itu setelah mengalami sendiri nikmat bersantap sup saat mual berkuasa di tubuh, setelah menempuh perjalanan jauh.

Saat berbalik ke arah rak, kutengok si Bookrak sudah tersenyum cengengesan memegang sebuah mangkuk kosong, menanti sang pedagang menyendokkan sebuah centong jumbo. Volume-nya pas untuk satu mangkuk. Ia memastikan bahwa seluruh rukun penghidangan dan penyantapan sup di ⅓ malam yang paling akhir telah sesuai kisahku.

Aku, usai memberi bimbingan boga pada Para Pengingkar…

Si Bukoum tak mau ketinggalan, meski ia malu mengakui kemenanganku, tak sanggup dirinya menahan gedoran dari lambung yang diperparah aroma sup dari mangkuk Bookrak. Mangkuk yang mengebulkan uap beraroma rempah Nusantara. Di permukaan mangkuk tersebar bawang goreng dan daun sup sebagai garnish.

“Semangkok berdua aja, ya…” ujar Bukoum mengimbau kawan-kawan. Aku tak paham, imbauannya berkaitan dengan budget, atau karena khawatir kalau semangkuk seorang bakal tak habis kami santap. Aku tersenyum. Tak yakin dengan segala imbauannya itu. Ke-gereuda-annya pasti tak ‘kan terpuaskan dengan semangkuk sup berbagi dua. Polem memperagakan semua rukun makan sup yang kubocorkan padanya;

  1. Perhatikan saat si penjual menyendok sup dari dandang, pastikan ia mengaduk kuah terlebih dahulu agar ampas dan pati rempah menguar dan menjadi bagian dari sup yang ada di mangkukmu. Kejernihan kuah adalah kabar buruk saat menyantap semangkuk sup;
  2. Pastikan ia menaburkan bawang goreng dan rajangan seledri;
  3. Cukup 3 potong jeruk nipis, jangan kurang, jangan pula lebih;
  4. Bubuhkan kecap manis ke dalam sup, 2 kali putaran saja;
  5. Pastikan tak ada biji di potongan jeruk nipis agar tak mengalami turbulensi rasa saat bersantap;
  6. Sebelum memerasnya, bayangkanlah kontur 3 potong jeruk nipis masing-masing sebagai representasi dari pinggul Catherine Zeta-Jones, Monica Bellucci dan Jenifer Lopez agar kau mampu menyalurkan seluruh gemas saat memerasnya ke dalam gelimang sup di mangkuk. Sosok ketiga boleh diganti sesuai selera masing-masing;
  7. Bubuhkan sambal cabe rawit mentah sesuai daya-tahan. Dosisku 1,5 sendok makan;
  8. Jangan langsung melahap, hidu dahulu aromanya dari sendokan pertama, lalu sruputlah hingga suara “Slurrrppp…” menggema. Hayatilah rasa dari sruputan pertama, rekam dalam kenang. Jangan ucapkan apapun, biarkan rempah berkisah lewat rasa yang kau cecap di lidah;
  9. Meski kepedasan usai bersantap, jangan langsung minum. Biarkan gema lada dan para rempah lain mendentam di rongga mulut, agar engkau dapat mengenangnya sebagai Kisah Klasik untuk Masa Depan (SO7);
  10. Minumlah saat rasa pedas telah sirna. Kurekomendasikan untuk memparipurnakan momen makan sup Grong-Grong dengan sebuah sedotan panjang pada segelas es kosong.

“Bang, tambah semangkok lagi, ya…” seru Bukoum saat aku tengah asyik memandu Hafidh Polem menjalankan rukun makan sup. Aku nyaris terbahak, Polem mengedikkan dagu ke arahku, tanda ia turut menertawakan kekalahan si Bukoum malam ini. Pengingkar yang satu itu tengah khusyuk menyantap sup dari mangkuk kedua.

Pojant tengah khusyu’ bersantap

“Aku yang bawa Diyus pertama ke mari waktu kami ke Tamiang,” ujarnya lantang dan tak tau malu. Aku tak sanggup menahan tawa. Padahal, jelas sekali sebelumnya dialah yang menentang keberadaan warung sup ini. “Mana ada orang jual sup malam-malam, Bang…” ujarnya kemarin malam. Sekarang sudah lain pula cakapnya.

“Dasar pengingkar!” seruku penuh kemenangan. Sisa pedas lada dan sambel cabe rawit masih lindap mengendap dalam rongga rasa. Segelas es kosong telah siaga di hadapan, menanti momentum sirnanya jejak citarasa rempah di mulut. Sungguh, mensyukuri nikmat ini lebih penting bagiku ketimbang menikmati kemenangan atas para pengingkar itu. Kemenangan yang terlalu mudah, seperti merebut permen dari bayi di tempat penitipan anak…


Leave a Comment