Jawa Juga Gempa? (Cerpen Spontan)

Rio Pauleta

Setelah sepi berhari-hari, berbulan, bertahun tak sampai selebai itu akhirnya kelas FAMe Pidie diadakan lagi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, legend di dunia per-cerpen-an diundang. Maka dari itu saya semangat lagi menulis setelah sudah empat hari tidak memainkan tuts keyboard. Bang Mus mengatakan dalam menulis itu harus dimulai dari satu kalimat dulu. Satu kalimat akan memancing kalimat lainnya. Lalu kalimat lainnya itu memicu lagi kalimat selanjutnya. Walaupun seharian itu takada ava-ava fi kepala. Makanya hari ini itu yang akan saya coba, apakah bisa, mari kita simak saja. Aku pikirkan dulu sebuah judul… aku sedang memikirkan sebuah judul, rencananya cerpen ini tentang kisah masa lalu, dengan kenangan-kenangan, tapi belum dapat judulnya apa.

(source)

Mungkin aku menggambarkan dulu suasananya. Di hari yang hujan anak-anak bermain di derasnya hujan. Sedangkan sebuah rumah tampak suram, pagar kayunya bergoyang-goyang diterpa angin, cat rumah terkelupas, dan rumput di taman tumbuh liar. Walaupun air dari atap rumah turun deras seperti air terjun kecil, anak-anak yang sedang mandi hujan, taka da yang berani mendekati rumah itu.

Jreng..jreng…
Di taman rumah terlihat beberapa bola kaki, dan beberapa juga bola kasti yang lusuh. Sengeri apa sehingga anak-anak yang menjatuhkan bola ke pekarangan rumah ini tak berani megambilnya? Sengeri apa? Mari kita temui nara sumber kita untuk menanyakannya. Aku lalu bertemu seorang yang sudah tua, berjalan ditopang tongkat dan berjalan tak basah di hujan, rupanya bukan tak basah, tapi hujannya sudah berhenti di lampu merah.

Aku yang pasya kuyup menannyakan pada kakek itu, “kenapa dengan rumah ini kek?”
Dia lalu memandang wajahku dan bersuara “siapa kamu?”
“Saya Mubarak Taufik bin Muhammad Amin Kek” Jawabku
“oh… Anak Pak Amin!” dia memukul bahuku,
“ayo kita duduk di sana saja, biar kakek cerita”
Aku mengikuti kakek itu ke sebuah bangku di bawah pohon seri. Di depan sebuah rumah yang ada kios di depannya.

(source)

Kakek itu susah payah duduk dan setelah beberapa hari baru bisa duduk tanpa bergetar tongkatnya. (kalimat cacat logika, tapi duduknya benar)
Kemudian kakek itu menatapku serius…
Anak kuda! Katanya setengah berteriak…
Anak kuda siapa kek?” tanyaku heran,
“Maksud kakek, anak mudaaaa, kamu tak tahu gempa Jawa?”
Hah? Kapan kek?
Dasar kamu tak melek teknologi!
“Saya tak punya hape kek!”
Sudah bertahun lalu loh! Dasar kamu anak muda gak gaul. Jadi ..uhuk…uhuk.. (Terlalu marah kakek jadi terbatuk-batuk)
“Jawa Gempa besar, 10 skala Liter, semua warga banyak yang tak selamat dan banyak rumah-rumah yang tak lagi berpenghuni. Awalnya banyak yang bilang sebab gempa karena banyak sekali pembuat hoax, riba, zina dan pemalsuan-pemalsuan di sana, ada pemalsu muka dan pemalsu produk, makanya gempa. “

“Ada juga yang bilang karena lempengan bumi bergeser, dan jawa sudah dibawah Mdpl, jadi air laut naik dan menenggelamkan kota, banyak sekali yang meninggal Nak!”
“berapa orang yang meninggal Kek”
“5 orang nak!” kakek itu menunjuk rumah bola tinggal tadi dia mengatakan anaknya 3 orang dan orangtuanya dua orang. Meninggal saat Tsunami Jawa.
Aku sudah lima tahun tak keluar gua tempat aku bersemedi, katanya kalau bersemedi akan dapat ilmu yang kebal dan bisa jadi orang sakti. Tapi tak kuduga, aku cuma ketinggalan informasi.

 

Leave a Comment