bonus demografi

Kependudukan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Aceh

Taufik Al Mubarak

Pasca-gempa dan tsunami, 26 Desember 2004, Aceh menghadapi pelbagai permasalahan yang mendesak dipikirkan penyelesaiannya. Di antara yang mengemuka saat itu adalah masalah administrasi kependudukan, relokasi masyarakat ke tempat yang lebih aman, serta masalah kesenjangan sosial yang muncul setelah Aceh masuk dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami.

Dukungan lembaga donor, kesiapan pemerintah serta kondisi keamanan Aceh yang terus membaik, terutama setelah perdamaian tercipta, Aceh secara perlahan mulai memperlihatkan perbaikan dan kemajuan. Pembenahan di segala lini dilakukan. Di masa-masa itu, keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh begitu menentukan dalam mewujudkan arah pembangunan Aceh ke depan. Meskipun muncul suara-suara miring saat itu, bahwa BRR lebih menitikberatkan pembangunan Aceh dari sisi fisik, BRR menuntaskan mandatnya dengan hasil yang menggembirakan.

Di masa-masa awal rehab-rekons itu, Aceh juga memasuki fase baru dengan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, yang di sebagian besar daerah dimenangkan oleh calon dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), termasuk posisi Gubernur-Wakil Gubernur Aceh; Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Kondisi ini secara umum memberi harapan, bahwa Aceh akan dikelola dan dibangun dengan citarasa nanggroe, yang lebih menyentuh aspek substansial yang selama ini abai dilakukan: mewujudkan kesejahteraan dan menjamin tersedianya lapangan kerja untuk masyarakat Aceh. Pun begitu, setelah hampir sepuluh tahun Aceh dipimpin oleh eks pejuang GAM, perubahan secara signifikan belum benar-benar terlihat.

Sementara sekarang ini, kita di Aceh, seperti halnya di Indonesia secara umum, dihadapkan pada masalah bonus demografi dan dampak yang menyertainya, seperti terbaca dalam laporan Biro Pusat Statistik (BPS) Aceh beberapa waktu lalu, bahwa angka pengangguran di Aceh cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Ini perkara serius yang perlu mendapat perhatian kita. Sebab, jika tak pandai-pandai mempersiapkan diri, Aceh akan mengalami masalah besar di masa-masa mendatang. Karenanya, tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas tentang bonus demografi dalam kaitannya dengan aspek Kependudukan, Tenaga kerja dan Transmigrasi di Aceh.

Bonus Demografi dan dampaknya

Saat ini, Indonesia memiliki jumlah penduduk 253,60 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Indonesia berada di posisi empat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, setelah Cina (1,3 miliar), India (1,2 miliar) dan Amerika (318 juta). Indonesia hanya berselisih sekitar 51 juta jiwa dengan jumlah penduduk Brazil yang berada di peringkat kelima (202 juta).

Dari 253 juta jumlah tersebut, Indonesia memiliki penduduk dengan usia produktif (penduduk berusia 15-64 tahun) sekitar 44,98 persen. Diperkirakan, jumlah penduduk usia produktif ini akan terus meningkat, hingga tahun 2025-2035, di mana Indonesia akan menikmati bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari jumlah penduduk nonproduktif.

Di satu sisi, besarnya jumlah penduduk usia produktif ini sebagai berkah dan potensi bagi pembangunan bangsa. Tapi, di sisi lain, jika tak pandai dikelola dan diantisipasi, kondisi ini justru menjadi musibah dan membawa dampak sosial yang lebih hebat. Karena, tingkat penduduk usia produktif yang menanggung penduduk nonproduktif (usia tua dan anak-anak) akan sangat rendah, 44 per 100 penduduk produktif. Sementara kemampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan juga masih rendah, belum lagi dari sisi kualitas penduduk usia produktif yang sangat buruk.

Dari data UNDP (2011) seperti dikutip situs BKKBN, rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 5,8 tahun, yang berarti rata-rata penduduk Indonesia tidak sampai menyelesaikan jenjang pendidikan SD. Kondisi ini cukup memiriskan hati, karena angkatan kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD. Padahal pada 2015 nanti, kita akan menghadapi zona perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Fre Trade Area- AFTA). Kondisi Indonesia tidak akan sama lagi seperti sekarang. Indonesia akan kebanjiran para pekerja dari luar negeri, yang tentu saja memiliki talenta dan keterampilan yang jauh di atas rata-rata penduduk kita, yang kebanyakan didominasi lulusan SD itu. Tenaga kerja kita jelas tak akan siap bersaing dengan mereka yang memiliki skil di atas rata-rata.

Apalagi, seperti selama ini, tenaga kerja kita di luar negeri paling banter hanya jadi pembantu. Kita belum mampu menyediakan tenaga kerja yang profesional dan memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan negara setempat. Jadinya, kita hanya mampu ‘mengekspor’ pembantu. Hal ini pun masih menjadi masalah besar, karena sebagian mereka tak mendapatkan upah yang layak, serta banyak dari mereka diperlakukan secara tidak senonoh.

Sudah sepatutnya kita belajar pada nasib dinosaurus, yang sering kita tonton di film Jurasic Park. Dalam banyak literatur yang kita baca, dinosaurus pernah menguasai bumi ini. Lalu, kenapa bisa punah? Karena mereka lambat melakukan evolusi dan tak mampu beradaptasi ketika terjadi perubahan yang begitu cepat bahkan radikal. Akibatnya, mereka digantikan oleh makhluk yang lebih besar atau kecil, yang lebih gesit, lebih bisa beradaptasi, lebih mampu bertahan dan lebih inovatif.

Dalam waktu dekat, saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA), kita tak menyiapkan diri dengan lebih baik, nasib kita juga akan sama seperti dinosaurus. Pasalnya, begitu masuk era perdagangan bebas itu, tak ada yang dapat kita lakukan kecuali harus bertahan, gesit, dan adaptif. Jika kita tak siap, maka bersiap-siaplah digilas oleh zaman yang kian berubah ini.

James Canton dalam bukunya The Extreme Future (2010) mengingatkan skenario runtuhnya sebuah bangsa. Katanya, sebuah bangsa akan runtuh dan hancur jika angka pengangguran melonjak secara tajam, terjadi chaos di beberapa sektor, banyak talenta berbakat hengkang ke luar negeri (brain-drain), rendahnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kerjasama yang buruk antara dunia bisnis dan pemerintah, tidak adanya katalisator bagi penegakan demokrasi, pelarian modal ke luar negeri, rendahnya dukungan pendidikan, dan pertahanan yang lemah sehingga amat tergantung kekuatan asing (sekutu).

Aceh dan dana berlimpah

Saya yakin bahwa tak semua masyarakat Aceh tahu bahwa daerah mereka merupakan salah satu provinsi dengan penerimaan pemerintah perkapita tertinggi di Indonesia. Mereka juga tidak tahu bahwa Pemerintah Aceh plus Kabupaten/Kota menerima dana Rp25,5 triliun pada tahun 2013. Mereka bahkan tidak peduli jika sejak tahun 2008 hingga akhir 2013 lalu, daerah mereka menerima lebih dari Rp100 triliun dana. Mereka pun tak tertarik membicarakan keberadaan Aceh yang menduduki peringkat ke-5 terkaya dari sisi penerimaan pemerintah sebesar Rp5,5 juta, padahal penerimaan rata-rata daerah lain hanya sebesar Rp4,2 juta.

Apa pentingnya angka-angka di atas ketika dihadapkan pada kondisi terkini, terutama perkembangan ‘sosial’ yang terjadi di kantor Gubernur Aceh tiap musim meugang tiba atau saat menagih bantuan proposal seperti terjadi 2013 lalu? Bayangkan ratusan orang rela berdesak-desakan, ‘mengemis’ serta menunggu berjam-jam untuk mendapatkan ‘bantuan proposal’ dari Pemerintah Aceh. Entah siapa yang ‘memprovokasi’ masyarakat untuk menagih ‘dana’ dari Pemerintah Aceh, kita tidak tahu pasti. Tapi fenomena tersebut menunjukkan ada yang salah dari visi pembangunan Aceh selama ini. Jelas bukan, bahwa angka-angka di atas menjadi tak bermakna!

Aceh boleh saja kaya dengan mengelola dana yang cukup besar, terutama setelah tsunami dan damai tercipta. Namun, di balik dana yang besar itu justru melahirkan masyarakat yang ‘sakit’ (secara sosial). Kejadian di kantor Gubernur, misalnya (termasuk juga fenomena tiap menjelang Meugang, Idul Fitri, dan Idul Adha), menunjukkan gejala ‘sakit’ kini mengidap di sebagian besar masyarakat Aceh. Budaya royal dengan membagi-bagi uang, yang sebelumnya dilakukan politisi menjelang Pemilu, kini dilakoni oleh Pemerintah, sekalipun itu tak dapat disebut kebijakan. Budaya ini jelas membuat masyarakat jadi ‘manja’ serta membuat mereka lupa bekerja, karena uang begitu mudahnya didapat: cukup bawa KTP atau proposal, mereka sudah bisa membawa pulang uang jutaan rupiah.

Lalu, bagaimana kita harus menjawab andai ada orang iseng-iseng bertanya: apa yang sudah berubah setelah 9 tahun usia perdamaian Aceh dan 10 tahun tsunami berlalu? Saya sendiri, terus-terang, akan menggelengkan kepala. Padahal, sekilas, ini hanya pertanyaan sederhana yang tak membutuhkan waktu berjam-jam memikirkan jawabannya. Tapi, saya yakin tak mudah menjawab pertanyaan ini, terutama setelah dihadapkan pada sejumlah fenomena seperti di atas. Soalnya, ada beragam soal yang harus kita bedah, mulai dari aspek politik, ekonomi, hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, sumber daya alam, infrastruktur dan sebagainya. Masing-masing aspek itu tak dapat diurai secara terpisah, melainkan saling terkait satu-sama lain.

Kita boleh saja mengatakan bahwa kebebasan dalam bidang politik sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya, tetapi tetap saja meninggalkan banyak pertanyaan susulan. Kita juga boleh menyebutkan bahwa akses ekonomi sekarang ini lebih mudah, tapi kembali dihadapkan pada pertanyaan lain: akses oleh dan untuk siapa? Begitu juga soal hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Tak ada jawaban paripurna untuk pertanyaan di atas. Artinya, memang tak mudah menjawab apalagi sekadar mengatakan sudah banyak hal yang sudah berubah setelah usia perdamaian menginjak 9 tahun atau setelah 10 tahun tsunami berlalu. Sebab, fakta sering menunjukkan keadaan sebaliknya, bukan?

Tak percaya? Silakan simak analisis Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) tentang hasil analisis belanja hibah/bansos Aceh tahun 2013, di mana ternyata belanja hibah/bansos yang bertujuan untuk pemerataan dan asas persamaan ekonomi termasuk untuk meredam potensi konflik, belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Aceh secara riil. Padahal, kata peneliti PECAPP Renaldi Safriansyah, belanja tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, misalnya, dana hibah/bansos Aceh hanya Rp159 miliar dan menjadi Rp1,3 triliun pada tahun 2011. Sementara Tahun 2013, kata dia, menjadi Rp1,8 triliun, tujuh kali lipat dibanding 2007.

Kita boleh saja mendebat hasil analisis tersebut, terutama membandingkan kondisi ekonomi masyarakat (khususnya di perkotaan) yang lebih menggeliat di banding sebelumnya. Belum lagi jika kita menggunakan tolak ukur daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah kendaraan bermotor maupun kondisi warung kopi yang selalu penuh. Tapi, apakah benar demikian? Bukankah itu hanya ‘kemewahan’ yang cuma dinikmati segelintir orang saja.

Namun, tunggu dulu. Kita tak boleh mendasarkan penilaian hanya berdasarkan fenomena semata, yang kerap sering menyembunyikan keadaan sebenarnya. Sebab, dari data terbaru Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012, misalnya, tentu membuat kita terkejut. Bayangkan, penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat dibandingkan data per Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa (acehkita, 2/7). Artinya, pemerintahan Aceh yang lahir pasca-perdamaian (juga tsunami) ternyata belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.

Tak berlebihan, kalau peneliti PECAPP mengatakan, bahwa belanja hibah dan bantuan sosial yang terus meningkat sama sekali tak berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan (belanjapublikaceh.org). Angka kemiskinan di Aceh yang sebesar 19,5 persen (2012) itu ternyata menempatkan Aceh di peringkat kelima secara nasional, yang memiliki rata-rata sebesar 11,9 persen. Sementara di tahun sebelumnya (2011), peringkat kemiskinan Aceh berada di posisi keenam secara nasional. Mencengangkan, bukan?

Lebih memiriskan lagi, ternyata, selain upaya percepatan kesejahteraan yang masih jalan di tempat, kita juga dihadapkan pada masalah sosial yang tak kalah penting: jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Aceh juga tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Aceh tahun 2012, misalnya, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen (dihitung dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas). Bahkan, angka gangguan jiwa di Aceh ini berada di atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen. Kita tidak tahu apakah ada hubungannya antara tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, dengan peningkatan jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa. Untuk yang satu ini perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.

Tenaga Kerja dan pengangguran

Akhir tahun lalu, kita kembali disuguhkan fakta yang membuat kita tercengang. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Aceh menunjukkan, jumlah pengangguran di Aceh hingga Agustus 2015 bertambah 26 ribu orang dibandingkan Agustus 2014 lalu, sehingga menjadi 217.000 orang. Padahal, pada Agustus 2014, jumlah pengangguran di Aceh hanya 191 ribu orang. Bertambahnya jumlah pengangguran ini salah satunya karena sempitnya lapangan kerja di Aceh, sehingga banyak tenaga kerja tidak terserap. Akibatnya jumlah penduduk yang menganggur jadi meningkat tajam.

Jumlah angkatan kerja di tahun 2015 memang meningkat. Pada Agustus 2015, jumlah angkatan kerja mencapai 2,183 juta orang, bertambah sekitar 60 ribu orang dibandingkan Agustus 2014 sebesar 2,123 juta orang. Masalahnya, daya tampung tenaga kerja di Aceh selama periode itu hanya 34 ribu orang dari jumlah 60 ribu orang yang siap bekerja. Akibatnya, 26 ribu orang lebih yang sudah siap bekerja menjadi tidak tertampung.

Secara persentase, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2015 sebesar 9,93 persen, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan Agustus 2014 sebesar 9,02 persen. Moratorium penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberlakukan pemerintah turut memberi kontribusi peningkatan jumlah angkatan kerja yang terpaksa menganggur ini.

Kondisi ini tak pelak membuat para lulusan sarjana di Aceh menjadi resah dan galau, karena sempitnya peluang kerja yang tersedia, terutama yang memasang target jadi PNS setelah selesai kuliah. Kondisi kegalauan itu menimpa banyak lulusan baru atau fresh graduate yang tengah mencari kerja di berbagai sektor. Ini menjadi dilema, sebenarnya. Pasalnya, jumlah lulusan yang ditelurkan perguruan tinggi setiap tahunnya tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang ada. Kondisi ini membuat banyak lulusan sarjana terjebak menganggur.

Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, pernah merilis data pada 2014 lalu, jumlah pencari kerja di Aceh yang terdaftar mencapai 147.006 orang. Di antaranya berasal dari kalangan sarjana S1,S2 dan S3 sebanyak 12.460 orang. Selebihnya, tamatan SD, SLTP, SLTA dan sarjana muda. Di sisi lain sempitnya lapangan kerja semakin membuat para pencari kerja harus bersaing ketat di tengah membludaknya jumlah angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja di Aceh yang diukur dari usia 15 tahun ke atas mencapai 2.123.000 jiwa.

Kondisi ini bakal menjadi bom waktu di tahun-tahun mendatang, karena peningkatan jumlah pengangguran dari kalangan usia muda. Hal ini akan mendorong munculnya masalah lain, yaitu bonus demografi, seperti disinggung di atas.

Bayangkan, setelah tsunami dan perdamaian tercipta, di mana Aceh menikmati limpahan dana yang tidak terbatas, Aceh justru tak mampu membuat perencanaan secara lebih matang. Pemerintah belum mampu menciptakan lapangan kerja yang bisa menyerap lebih banyak angkatan kerja, terutama setelah moratorium PNS diberlakukan. Akibatnya, kita pun tersedak tiap kali disuguhi data dan fakta bahwa tingkat pengangguran di Aceh menjadi yang tertinggi di Indonesia. Data Sosial Ekonomi BPS menunjukkan tingkat pengangguran di Aceh periode Agustus 2015 tertinggi di Indonesia bersama dengan Maluku. Tiga provinsi dengan Tingkat Pengangguran Tertinggi (TPT) masing-masing yaitu; Aceh sebesar 9,93 persen, Maluku 9,93 persen, dan Banten 9,55 persen. Sedangkan TPT terendah terjadi di Provinsi Bali dan Sulawesi Barat masing-masing sebesar 1,99 persen dan 3,35 persen.

Publikasi BPS Aceh triwulan III 2015 pada 5 November 2015 juga menunjukkan angka pengangguran terus bertambah, di atas rata-rata nasional sebesar 6,18 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh per Agustus 2015 mencapai 217 ribu atau 9,93 persen, mengalami peningkatan sebesar 26 ribu dibandingkan dengan keadaan Agustus 2014 yaitu 191 ribu (9,02 persen) dan lebih tinggi 2,2 persen dari TPT Februari 2015 sebesar 7,73 persen.

Kondisi ini sangat ironis bagi pembangunan Aceh ke depan. Apalagi bila dibandingkan dengan Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima Aceh sejak tahun 2008 sampai 2015 telah mencapai Rp42,2 triliun. Berlimpahnya dana Otsus ternyata belum mampu menekan tingginya angka pengangguran di Aceh.

Bahkan, bila Dana Otsus tidak dikelola dengan profesional dan tepat sasaran ke depannya, maka akan berdampak lebih buruk terhadap masa depan ekonomi Aceh karena alokasi Dana Otsus hanya tinggal 12 tahun lagi dari total 20 tahun yang akan diterima Aceh (2008 – 2027).

Masalah transmigrasi

Setelah cukup lama meredup, pemerintah akhirnya kembali memulai program transmigrasi, tak terkecuali Provinsi Aceh salah satu daerah yang memiliki keistimewaan yakni status otonomi khusus. Seperti ramai diberitakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simeulue telah menggagas program transmigrasi yang dimulai masuk pada akhir Desember 2015 lalu. Tidak tanggung-tanggung, setidaknya 1.100 kepala keluarga (KK) diusulkan menjadi warga transmigrasi di Pulau Simeulue, Aceh. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah menyiapkan lahan satu hektar untuk masing-masing kepala keluarga (KK).

Lalu, masalah pun muncul. Ide pemerintah Simeulue itu ditolak mentah-mentah oleh masyarakat di sana. Terbukti, beberapa kali masyarakat dan mahasiswa menggelar demonstrasi menolak transmigrasi. Penolakan ini mengingatkan kita pada kasus pengusiran masyarakat transmigran dari Jawa saat Aceh masih dibalut konflik. Perkampungan dan lahan milik masyarakat trans dijarah, dan menghasilkan eksodus keluar Aceh secara besar-besaran.

Sejarah program transmigrasi Aceh dimulai 1964, diawali dengan penempatan 100 KK warga transmigran di Blang Peutek Padang Tiji, Pidie. Namun, warga transmigran di kawasan kaki Gunung Seulawah itu tidak bertahan lama. Karena setahun kemudian, 1965, terjadi tragedi nasional dengan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia. Program transmigrasi di Pidie itu pun bubar. Lalu, sejumlah warga transmigran di situ meninggalkan UPT Blang Peutek, dan mereka pun eksodus dan mencari penghidupan baru di Saree Aceh Besar. Sebagian di antaranya bahkan bekerja di PT Socfindo di Aceh Barat.

Transmigrasi di Aceh, setelah Blang Peutek, tidak lantas berhenti. Pada 1973 pembukaan kawasan baru pun dirintis di Aceh Utara. Lalu, pada tahun 1975/1976 program transmigrasi kembali hadir di Aceh dengan ditempatkan 300 KK warga transmigran di Cot Girek. Iskandar Hoesin merupakan Ka KUPT dan merangkap pimpro pertama di kawasan itu. Iskandar Hoesin pernah menjadi Kakanwil Deptrans Aceh, Ketua Umum Persiraja Banda Aceh, Kakanwil Deptrans Kalbar, dan pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh. Dia juga pernah menjadi pejabat eselon I di Kementerian Hukum dan HAM semasa Hasballah Saad menjadi Menteri Hukum dan HAM.

Bermodal dukungan dan pemberian pemerintah berupa lahan pekarangan (LP) seluas 0,25 Ha, lahan usaha 1 (LU-1) 0,75, Ha, dan LU-2 seluas 1 Ha, ditambah bantuan lainnya, antara lain berupa jaminan hidup (jadup), transmigran memacu diri melawan kerasnya tantangan alam untuk membangun hidup yang lebih baik.

Kehadiran program transmigrasi di Aceh telah memacu lahirnya sentra sentra produksi dan sentra ekonomi baru. Ini adalah dampak sangat positif akibat keterpaduan pembangunan multisektor di sebuah daerah. Lahirnya kawasan ekonomi Patek Aceh Jaya, Jantho Aceh Besar, Jagong Jeget Aceh Tengah, Trumon Aceh Selatan, Peunaron Aceh Timur, Subulussalam Kota Subulussalam, dan lain-lain merupakan kemajuan akibat hentakan pembangunan transmigrasi di berbagai kawasan itu.

Saat konflik Aceh berkecamuk pada akhir 1998, telah membuat mundur transmigrasi di daerah ini. Kawasan transmigrasi yang sudah maju itu pun kemudian meredup. Warga transmigran pun banyak yang harus berangkat meninggalkan tanah harapan itu. Mereka umumnya, kemudian menjadi eksodan (masyarakat eksodus) asal Aceh, dan hidup terlunta lunta di sepanjang Sumatra. Yang lebih beruntung, sebagian dari mereka dapat kembali ke daerah asalnya di Jambal (Jawa, Madura, Bali, dan Lombok) setelah menjadi transmigran di bumi Aceh.

Apa yang harus dilakukan Aceh?

Kondisi seperti disinggung di atas jelas menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera mendapat perhatian dari Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Sisa setahun tahun lebih masa pemerintahan perlu ‘dihibahkan’ untuk menuntaskan masalah tersebut, masalah kependudukan, tenaga kerja dan transmigrasi.

Kita harus selalu saling mengingatkan, bahwa perdamaian Aceh tak diraih dengan modal kosong, melainkan melibatkan nyawa dan darah, ditambah dengan penderitaan akibat gempa dan tsunami. Pemerintah perlu memikirkan bagaima mengatasi problem yang muncul karena bertambahnya angkatan kerja, peningkatan pengangguran dan problem transmigrasi. Semua harus dalam upaya memajukan Aceh menjadi lebih baik. Rasa-rasanya penderitaan masyarakat Aceh di masa lalu tak perlu ditambah lagi dengan kesalahan mengurus Aceh, dalam arti Pemerintah Aceh tak memiliki visi mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh untuk aneuk nanggroe Aceh ini. Jika itu terjadi, kita semua memiliki ‘saham’ yang tak kecil menghancurkan kembali Aceh kesekian kalinya.

Apa yang harus dilakukan?
Menghadapi kondisi dan dampak dari bonus demografi di atas, muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?

1. Benahi sektor pendidikan
Pendidikan selalu menjadi sektor penting menghadapi perubahan zaman. Pemerintah perlu terus-menerus memperbaiki kurikulum pendidikan yang up to date terutama dengan memasukkan mata pelajaran sains terbaru di sekolah menengah dan kejuruan. Sehingga lulusan kita mampu bersaing dengan lulusan dari negara lain.

2. Perbanyak program insentif
Pemerintah perlu memperbanyak program insentif baru untuk mendorong generasi muda menjadi ilmuwan, insinyur, wirausahawan yang melek teknologi. Dunia nantinya akan semakin canggih, jika kita tidak terus-menerus memperbaharui diri dengan pengetahuan terbaru, kita akan ketinggalan zaman. Pemerintah perlu memperhatikan kelompok muda seperti ini dengan memberikan penghargaan dan imbalan yang setimpal. Hal ini juga untuk menghindari larinya talenta-talenta muda kita ke negara lain yang lebih menghargai karya mereka.

3. Generasi inovatif dan bermental enterpreneur
Karena kita akan menghadapi perdagangan bebas, di mana dunia menjadi begitu sempit, maka yang perlu dilakukan adalah memperbanyak pengajaran di bidang inovasi dan menggalakkan mental enterpreneurship bagi setiap orang. Hal ini sangat mudah dilakukan karena generasi muda kita sangat menyukai inovasi. Mereka sudah mulai akrab dengan dunia enterpreneurship. Hal ini sangat gampang diketahui dengan menjamurnya situs e-commerce dan blog-blog yang menjajakan berbagai produk anak negeri. Yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan memperluas jangkauan internet hingga ke pelosok desa, yang hingga kini belum merata seluruhnya.

4. Perlunya perlindungan hak kekayaan intelektual
Kita akui cukup banyak produk dan hasil penelitian anak negeri yang bernilai pengetahuan tinggi. Pemerintah perlu melindunginya dengan mempermudah akses bagi pengurusan hak atas kekayaan intelektual, serta penegakan hukum secara tegas terhadap pencurian atas hak kekayaan intelektual ini.

5. Perkecil angka pemuda putus asa
Salah satu dampak dari bonus demografi adalah besarnya beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif terhadap kelompok usia tidak produktif. Jika pemerintah tak menyiasatinya dengan memperbanyak lapangan kerja, mereka-mereka ini akan berubah menjadi penduduk yang berputus asa: tidak punya kerja tetap, tidak kreatif serta bermasalah dengan keuangan. Pemerintah perlu membuka peluang dan kesempatan bagi mereka mengembangkan diri agar memiliki kebebasan finansial. Jika tidak, maka ini juga akan mendatangkan dampak sosial yang lebih serius: generasi yang berputus asa. Kalau kondisi ini yang terjadi, jelas mereka bukanlah generasi yang siap menghadapi masa depan yang lebih bebas.

Di atas segalanya, dalam menghadapi bonus demografi, pemerintah perlu memperbanyak program pelatihan dan memperluas akses pendidikan (termasuk untuk masyarakat kurang mampu) untuk menciptakan tenaga kerja bertalenta dan memiliki keterampilan. Dengan demikian, kita bukan hanya menikmati berkah dari bonus demografi melainkan juga siap menghadapi dunia yang kian berubah!

Banda Aceh, Juni 2015

Leave a Comment