Kerkhof Petjut

Taufik Al Mubarak

Kerkhof Petjut, Saksi Bisu Perang Aceh

Pilihan

Seorang pria dengan cetok di tangan tampak menyemen sebuah nisan. Ia merapikan bekas plesteran pada sudut-sudut dinding nisan yang sudah patah. Sebuah topi melindungi kepalanya pada sore hari yang masih terik itu. Ia seakan tak peduli pada cuaca panas yang membuat wajahnya berpeluh. “Saya senang melakukan ini,” katanya, Senin (25/1).

Pria itu, Ampon Bit. Ia mengaku masih keturunan dari Sultan yang pernah memerintah kerajaan Aceh. Sore itu, dia menghabiskan waktu memperbaiki beberapa nisan yang rusak. Kegiatan ini dilakukannya secara sukarela. “Saya peduli dengan sesuatu yang bernilai sejarah,” ucapnya menjawab acehkini.

Nisan yang diperbaiki Ampon Bit merupakan satu dari 2.200 nisan yang berada di komplek kuburan militer Belanda, Kerkhof Petjut, Banda Aceh. Berbeda dengan nisan di sekelilingnya, nisan yang baru diperbaiki Ampon Bit itu tidak memiliki nama. Boleh jadi, sosok yang dikubur di situ bukanlah figur penting di tubuh kemiliteran Belanda sehingga tidak perlu diabadikan namanya. Saya sempat memperhatikan, ada banyak nisan tanpa nama di sana. Bentuk dan ukurannya pun berbeda-beda, tidak sama antara nisan yang satu dengan yang lain.

Ampon Bit menunjuk tanah lapang di sisi utara yang berdekatan dengan Museum Tsunami. Di sana, katanya, terdapat banyak kuburan juga tapi tidak dibangun nisan seperti yang lain. Boleh jadi yang dikubur di situ prajurit Marsose beragama Islam. Sehingga dikubur begitu saja dalam satu liang lahat, karena tidak mungkin dipasang lambang salib. “Itulah kenapa tidak ada nisan di situ,” katanya. “Bisa saja mereka dikuburkan seperti cara orang kita menguburkan korban tsunami,” lanjut pria yang aktif di Lembaga Zuriat Kesultanan Atjeh Darussalam ini.

Dia mengaku tidak setiap hari datang ke kuburan peninggalan Belanda itu. Hanya saat ada waktu senggang saja dia datang ke sana. “Tidak ada yang membayar saya melakukan pekerjaan ini,” ucapnya. “Kalau sempat saja saya datang ke sini.”

Sewaktu acehkini menyambangi Kerkhof, banyak nisan sudah bersalin rupa. Tidak lagi angker. Memang, beberapa batu nisan tampak tidak lagi berada di tempatnya: rusak dan patah. Namun, pemugaran makam dalam skala lebih kecil sering dilakukan, termasuk oleh relawan seperti dilakukan Ampon Bit.

Urusan renovasi dan pemeliharaan makam baru dilakukan setelah turun perintah dari Belanda. Semua biaya pengelolaan Kerkhof Petjut ditanggung oleh Yayasan Dana Petjut atau Stichting Petjut-Fonds yang kini diketuai Robert Jan Nix, anak seorang perwira Belanda yang lahir di Geumpang, Pidie, Aceh.

Saksi bisu Perang Aceh

Habibah Penjaga Kerkhof Petjut
Habibah Penjaga Kerkhof Petjut. Foto: Suparta/acehkini

Nur Habibah duduk menyandar ke dinding gapura. Pandangannya menatap deretan pot bunga hias yang ditaruh rapi di areal parkir. Angin pada Senin (25/2) sore itu menerpa rambutnya yang dibiarkan terurai. “Di depan ini lebih adem,” katanya saat dijumpai acehkini di areal Kerkhof.

Wanita yang sudah menetap di komplek Kerkhof Petjut sejak tahun 1980-an itu ditemani suami dan anak perempuannya. Kak Nur, demikian ia disapa, tidak ingat berapa kali Walikota berganti sejak dirinya menghuni areal kuburan. “Ka nam go gantoe Walikota, tapi lon mantong tinggai di sinoe,” katanya dalam bahasa Aceh yang kental. Ia hanya ingat, saat Walikota Baharuddin Yahya memerintah, ia sudah tinggal di sana.

Saat itu, orang tua Kak Nur bekerja di kantor Dinas Pertanian. Sehari-hari, ia memotong rumput di areal kuburan untuk pakan ternak. Dari kebiasaan memotong rumput itulah dia diajak untuk menjaga komplek. “Bapak saya bekerja di sini sejak masih digaji 50 ribu sebulan,” cerita wanita yang kini menjual bunga hias di areal kuburan.

Saat ini, kata Kak Nur, mereka diberi gaji hingga Rp2 juta per bulan. Gaji itu selalu dibayar tepat waktu dan harus diambil di kantor perwakilan Yayasan yang ada di Aceh. Menurutnya, gaji untuk para pengelola dikirim langsung dari Belanda. Ya, sejak tahun 1976, pengelolaan Kerkhof Petjut berada di bawah Stichting Petjut-Fonds atau Yayasan Dana Petjut.

Kerkhof Petjut mulai menjadi lokasi kuburan untuk para korban perang dimulai sejak tahun 1874, tak lama setelah Belanda memulai kampanye perang terhadap Kerajaan Aceh. Perang yang berlangsung mulai dari 1873 hingga 1942 menuntut banyak sekali korban. Tidak semua korban perang itu dipulangkan ke Batavia atau negeri Belanda. Sebagian dari mereka dikuburkan di tanah lapang, tempat di mana Meurah Pupok, putra Iskandar Muda, dikuburkan. Sejak itu, areal yang berada tak jauh dari Meuligoe Aceh itu pun menjadi kuburan bagi serdadu Belanda yang gugur di medan perang.

Pembangunan komplek kuburan secara resmi mulai dilakukan pada 1893. Ditandai dengan pembuatan tembok melengkung seperti terlihat hari ini. Di tembok yang dihias dengan marmer itu, nama semua para prajurit yang gugur di medan perang dicatat. Langkah ini tidak terlepas dari andil Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk van Oranje-Nassau atau Raja Willem III.

Raja Willem, mangkat 17 tahun setelah Kerajaan Belanda memaklumkan perang terhadap kerajaan Aceh, dikenal sangat peduli dengan nasib prajurit. Di negeri Belanda, misalnya, ia merintis pembangunan Museum Perang, Bronbeek, di Arhem untuk mengenang pasukan setianya, KNIL. Hingga hari ini, di museum itu, kita bisa menemukan mantan veteran perang, sebagian dari mereka diperkerjakan sebagai tukang sapu, penjaga dan interpreter bagi para pengunjung museum.

Dikepung Prajurit Belanda

Makam putra Iskandar Muda
Makam putra Iskandar Muda. Foto: Suparta/acehkini

Makam Meurah Pupok tampak kontras dibanding makam lain di areal Kerkhof Petjut. Dibangun lebih tinggi dari

makam para prajurit marsose yang tewas dalam Perang Aceh. Makam Meurah Pupok dipayungi sebatang pohon laban (bak mane) yang rindang. Ada tiga makam di dalam komplek yang dipugar dengan jeruji besi seukuran lengan orang dewasa.

Dari pintu masuk, makam Meurah Pupok berada di blok bagian kiri. Tak jauh setelah nisan Mayor JHR Kohler, ada sebuah jalan kecil yang tersambung ke arah makam. Sehelai kain kuning keemasan yang diikat di batu nisan menjadi pembeda dari dua makam di sebelahnya. Bentuk batu nisan di makam Meurah Pupok menyerupai batu nisan untuk kuburan para bangsawan. “Dua makam lain, masing-masing yang satunya seorang panglima, sementara seorang lagi milik abdi dalem kerajaan,” kata Ampon Bit kepada acehkini.

Meurah Pupok adalah putra Sultan Iskandar Muda (1583-1636). Di lingkungan Istana Dalam, sang putra kesayangan yang dihukum mati itu populer dipanggil dengan sebutan Phoe-teu-tjoet atau Putra Mahkota dalam bahasa Aceh. Konon, Meurah Pupok dihukum karena berbuat serong dengan seorang istri pejabat kerajaan. Ketika menghukum anak lelakinya itu, sultan mengeluarkan sebuah petuah yang populer sampai sekarang. “Mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat ho tamita,” ucap Sultan, dan kata-katanya tersebut kini dinukilkan pada papan di depan makam.

Tidak ada keterangan resmi mengapa Meurah Pupok dimakamkan di lokasi yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Gunongan, tempat pemandian permaisuri Sultan. Menurut Ampon Bit, tempat itu merupakan arena berlatih kuda untuk putra Iskandar Muda dan anak pejabat kerajaan. “Dulunya, di lokasi ini, Meurah Pupok berlatih menunggang kuda,” kata Ampon Bit. Ketika Belanda menduduki Aceh, lokasi ini dijadikan sebagai areal pemakaman.

Nama Phoe-teu-tjoet itu di kemudian hari berubah menjadi Peutjut, nama resmi komplek pemakaman militer Belanda ini. Kerkoff Petjut. Bagi orang Aceh, keberadaan makam Meurah Pupok di antara kuburan prajurit Belanda itu seperti mengonfirmasi kebenaran kata-kata Sultan. Mate aneuk meupat jeurat. Atau anak yang sudah meninggal jelas di mana kuburnya.

Mantan marsose menemukan Kerkhof

Tidak sulit menemukan Kerkhof Petjut. Lokasinya berada di tengah kota dan hanya sepelemparan batu dari Museum Tsunami. Dari Masjid Raya Baiturrahman, kuburan yang mulai dibangun permanen sekitar tahun 1893 itu hanya berjarak satu kilometer atau 10 menit dengan berjalan kaki. Kerkhof dibuka setiap hari, dari pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB. Meski dekat dengan Lapangan Blang Padang, tidak banyak warga Banda Aceh yang tertarik mengunjungi tempat ini.

“Pukul 18.00 kami tutup pintu pagar,” kata Nur Habibah. Kalau ada pengunjung yang ingin masuk, mereka bisa membuka sendiri pintunya. Selama ini, katanya, jarang ada yang berkunjung malam hari ke kuburan. “Kan kuburan, mana ada yang mau datang malam-malam,” tambahnya. Pintu pagar itu baru digembok total pukul 20.00.

Pada Senin (25/2) sore, hanya ada enam orang di areal makam, termasuk Ampon Bit dan seorang pengurus dari Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis) yang sedang merehab makam. Beberapa pengunjung terlihat berswafoto di areal makam. Gapura yang berisi nama-nama prajurit menjadi lokasi favorit mereka selain nisan Mayor JHR Kohler.

Kerkhof Petjut sudah jauh berubah. Sejumlah nisan yang dulu hancur karena gempa dan tsunami 26 Desember 2004 sudah dipugar kembali. Memang, ada sejumlah nisan dibiarkan terbengkalai, rusak dan tidak dicat sama sekali. Umumnya menimpa nisan yang tidak memiliki nama dan berada jauh dari pintu masuk dan berada di sudut. Di beberapa batu nisan, simbol-simbol kuno seperti bintang David atau simbol Free Mason sudah tidak terbaca lagi, tergerus oleh waktu.

Rerumputan di areal makam sudah dipotong rapi. Keluarga Nur Habibah, misalnya, kebagian tugas membersihkan areal yang berada di sisi sebelah kiri. Sementara sisi lain ditangani langsung oleh petugas dari Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala. “Kami hanya kebagian satu blok itu saja,” ujar Kak Nur menunjuk areal sisi kiri makam.

Upaya merawat dan memugar Kerkhof Petjut tak lepas dari andil Johann Brendgen (1903-1985), seorang bekas Kolonel Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger). Tahun 1970-an, Brendgen yang sudah pensiun dari dinas kemiliteran, datang ke Aceh. Itu adalah kunjungan pertamanya setelah Indonesia merdeka tahun 1945 (Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 atau setelah Konferensi Meja Bundar). Sebagai prajurit yang lama bertugas di Korps Marechaussee (Marsose), ia rindu pada Aceh. Brendgen muda pernah dikirim ke Aceh, ketika Belanda masih berperang melawan pejuang Aceh.

Tiba di Banda Aceh, hati Brendgen begitu terpukul. Sebagai mantan pasukan Marsose, ia cukup kecewa melihat kondisi Kerkhof Petjut, kuburan teman-temannya di masa perang. Pemakaman militer itu terlihat begitu buruk. Banyak kuburan sudah hancur dan sejumlah batu nisan tidak lagi berada di tempatnya. Ia sedih melihat situs bersejarah itu berubah menjadi padang rumput dan menjadi tempat gembala kambing dan kandang ayam.

Berbagai upaya dilakukan seperti menjalin kerja-sama dengan Pemerintah di Aceh, dan mencari donor dari Belanda. Ia ingin memugar makam mantan teman-temannya, para pasukan Marsose, yang pernah berperang di Aceh. Memang, tak semua yang dikuburkan di situ prajurit Belanda, tapi ada dari Bugis, Jawa, Batak, Ambon dan Manado. Itu, misalnya, bisa diperiksa pada daftar nama di pagar gapura.

Dukungan dari pihak berwenang di Aceh dan bantuan dari negeri Belanda, Kolonel Brendgen pun mulai memugar Kerkhof Petjut. Dan, pada tahun 1976, lahirlah Stichting Petjut-Fonds atau Yayasan Dana Petjut. Salah satu tujuan lembaga ini adalah pemulihan dan pemeliharaan kuburan Petjut, yang kini jadi Cagar Budaya Indonesia.[]